Review Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang karya Dhorothea Triarsari

Review Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang karya Dhorothea Triarsari

Sebagai salah satu negara maju di Asia—bahkan di dunia—Jepang kerap menjadi incaran banyak orang. Baik itu untuk menuntut ilmu maupun berkarier guna menghasilkan pundi-pundi uang.

Jepang terkenal juga sebagai negara dengan standar biaya hidup yang tinggi. Maka, tidak heran apabila harga paket wisata ke Negeri Sakura lebih mahal dibanding dengan negara-negara Asia di sekitarnya.

Dalam buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang, sang penulis bernama lengkap Dhorothea Triarsari mengakui bahwa biaya hidup di Jepang memang mahal. Namun, sekali mencoba liburan ke negara ini, perasaan dirinya selalu ingin balik dan balik lagi.

Pertanyaannya, apakah kamu penasaran mengapa penulis bisa ketagihan ke Jepang? Terus, apakah sobat misqueen dengan pendapatan pas-pasan dapat liburan ke negara Matahari Terbit ini?

Untuk mengetahui jawaban dari kedua pertanyaan tersebut, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Buku Tentang

Review Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang karya Dhorothea Triarsari

Identitas Buku

Judul: Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang
Penerbit: CV One Peach Media
Pengarang: Dhorothea Triarsari
Tahun: 2023
Isi: 307 hal
ISBN: 978-623-483-154-2

Gambaran Umum Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang

Buku dengan tebal 307 halaman ini diawali dengan cerita pengalaman penulis dan kawan-kawannya yang merasa seperti kena pelet setelah sekali mencoba liburan ke Jepang. Mereka ketagihan untuk datang dan datang lagi ke Negeri Sakura ini.

Ya gimana nggak ketagihan coba?

Melalui penuturan penulis, jurus andalan Jepang dalam melayani para turis ada pada omotenashi. Atau secara harfiah, artinya keramahtamahan. Penulis mengalami momen seperti diantar oleh salah seorang penduduk Jepang sampai ke lokasi tujuan saat kehilangan arah atau tersesat.

Selain itu, Jepang negara nyaman, serba teratur, dan memiliki empat musim yang indah. Lewat buku ini, penulis membahas keseruan di keempat musim tersebut.

Nah, ada hal lain yang akan menambah wawasan pembaca pada 100 halaman pertama, yaitu penjelasan penulis bahwa Jepang tidak melulu homogen. Artinya, banyak hal yang khas dan berbeda di setiap daerah di Jepang. Salah satunya adalah dialek.

Tentang Sobat Misqueen

Dhorothea Triarsari, dulu adalah seorang mahasiswa program pertukaran. Modal hidupnya di Jepang hanya dari beasiswa yang ditransfer tiap bulan. Besaran beasiswanya tidak banyak, namun terbilang cukup sehingga lumayan bisa hidup dengan layak.

Di negara kelahirannya, Indonesia, ia merupakan mahasiswa miskin yang indekos di sebuah rumah di gang sempit di perkampungan padat dekat kampus UGM. Ia tidak mengharapkan kiriman uang dari orang tuanya, sebab ayahnya sudah meninggal dan ibunya hidup pas-pasan.

Ia mendapat sedikit beasiswa karena menjadi asisten dosen, dan menjadi penerjemah di sebuah penyewaan komputer.

Pada saat itu, saldo tabungan penulis sekitar Rp 500.000. Saldo segitu harus disertakan bersama surat keterangan dari bank sebagai persyaratan pengurusan visa di Jepang.

Reaksi petugas customer service saat melihat saldo penulis sangat skeptis, katanya, “Memang uang segini cukup buat pergi ke Jepang?”. Namun nyatanya, Dhorothea Triarsari bisa mendapat visa dan berangkat ke Jepang berkat rekomendasi dari kampus.

Banyak cerita menggelitik saat pertama kali penulis menginjakan kaki di Jepang sebagai mahasiswa pertukaran. Mulai dari meminjam uang dari kakaknya, menempati sebuah kamar yang sempit, hingga deg-degan karena takut uang beasiswanya tidak cukup mengaver hidup sehari-hari.

Singkat cerita, setelah lulus kuliah, ia berprofesi sebagai jurnalis media cetak. Dan meskipun profesinya tidak bergelimang harta, sobat misqueen yang satu ini tetap bisa liburan keluar negeri. Beberapa negara di Asia Tenggara pernah dijelajahinya. Ia pun sempat liburan lebih dari dua pekan ke Eropa.

Hebatnya lagi, banyak orang heran kepada penulis karena dalam setahun, ia bisa dua kali bolak-balik ke Jepang.

Kehebatan penulis saat berlibur, tentu saja tidak terlepas dari kepandaiannya mencari uang tambahan dan mengatur keuangan.

Baca Juga: Review Buku Goresan Jiwa

Tips-Tips Perjalanan

Melalui buku ini, penulis banyak berbagi tips perjalanan yang katakanlah bisa diaplikasikan oleh para sobat misqueen di luar sana.

Tips menyiapkan biaya wisata? Ada.

Ingin tahu seputar naik kereta, subway, dan bus saat ke Tokyo? Ada tipsnya.

Tips bertransportasi, misal naik bus di Kyoto, ada juga tipsnya.

Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang bukan hanya sekadar cerita-cerita mengapa penulis ketagihan banget ke Jepang, namun ia nge-share juga tips-tips perjalanan yang dapat menambah insight pembaca.

Yah, siapa tahu kita kelak dapat ke Jepang. Sehingga, buku ini bisa kita jadikan panduan.

Pandangan Reviewer mengenai Buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang

To be honest, pertama kali saya mendapati buku ini berawal dari stalking akun Instagram salah satu penerbit indie. Terus, saya perhatikan satu per satu buku yang judulnya unik. Ketemulah sama buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang. Dan, bagaimana? Bukankah judul buku ini unik, kan?

Bukan hanya dari judul, isi buku juga sangat unik. Penulis tidak malu, bahkan terus terang kepada pembaca bahwa dirinya seorang sobat misqueen, tetapi bisa bolak-balik ke Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa kita bisa lho ke Jepang, bukan hanya berangan-angan saja.

Ditinjau dari gaya penulisan, berhubung penulis pernah bekerja sebagai jurnalis, maka kualitas tulisan tentu rapi banget dan enak dibaca. Lebih dari itu, pengalaman-pengalaman yang ia tulis dalam banget.

Kemudian, saya suka kalimat-kalimat sindiran penulis ke orang-orang yang bertanya seperti, “Apa nggak bosen liburan tiap tahun ke Jepang mulu?”.

Lalu penulis bilang bahwa orang yang bertanya seperti itu pasti belum pernah ke Jepang, jadi maklum saja katanya. Dan bukan hanya satu-dua sindiran, tapi banyak. Terlebih, saya suka juga ketika penulis membuat perumpamaan Tokyo dan sekitarnya dengan wilayah Jabodetabek.

Overall, buku ini betul-betul recommended untuk orang-orang yang ingin ke Jepang. Sekaligus recommended juga buat kamu yang ingin membaca buku bertema travelling dengan gaya tulisan kekinian.

Wawancara dengan Dhorothea Triarsari (Kak Tria)

Reviewer: Selamat pagi, Kak Tria. Mohon maaf, ini nggak kuat pengen nanya-nanya di jam segini setelah mengkhatamkan buku 'Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang'.

Jujur, saya speechless membaca buku ini. Sangat dalam sekali pembahasannya. Memang kalau berangkat dari pengalaman pribadi mah ke pembaca juga jadi terasa banget vibesnya, ya.

Nah, masuk ke pertanyaan pertama.

Saya penasaran, tolong diceritakan awal mula bisa bekerja sebagai jurnalis di Tabloid HaloJepang? 7 tahun loh, ya. Bukan waktu yang sebentar. Saya cari situsnya di Google, apa ya? Apa pake bahasa Jepang kah tabloidnya atau memang nggak ada situs webnya?

Jadi, gimana awal mula bisa bekerja sebagai jurnalis di Tabloid HaloJepang?

Kak Tria: Tabloid yang itu terbit 2013 sampai 2018. Tabloid gratis berbahasa Indonesia yang diterbitkan koran Jakarta Shimbun, koran warga Jepang di Indonesia.

Saya bisa kerja di HaloJepang karena saya punyanya pengetahuan tentang Jepang yang dinilai cukup oleh bos Jepang. Dia malas ngajarin dari nol.

Saya punya pengetahuan budaya dan bahasa Jepang karena pernah ikut pertukaran mahasiswa di Jepang. Di situ ada mata kuliah bahasa dan budaya Jepang.

7 tahun di HaloJepang bikin pengetahuan saya makjn nambah. Bisa dibilang buku Sobat Misqueen ini merupakan pengetahuan yang saya kompilasi jadi buku.

Reviewer: Kedua, dengan pengalaman Kak Tria sebagai jurnalis, memang kualitas tulisan Kak Tria enak dibaca banget.

Nah, kenapa naskah buku ini lebih memilih diterbitkan di penerbit indie? Padahal, kalau dikirimkan ke penerbit mayor, saya rasa potensi diterimanya besar. Ada alasan tersendiri kah ke penerbit indie? Mengingat Kak Tria sepak terjang di dunia kepenulisannya udah oke banget gitu.

Kak Tria: Saya tanya ke banyak teman yang udah menerbitkan buku. Mereka tidak menyarankan penerbit besar. Selain lama prosesnya, hasil yang didapat penulis juga kecil. Terus penulis juga diharapkan promosi dan jualan sendiri. Yah sama aja dong dengan penerbit indie.

Ada satu teman yang rekomen ke One Peach Media. Saya liat instagramnya. Buku-bukunya keren-keren. Desain sampulnya cakep. Ya udah saya mantap submit ke penerbit ini.

Reviewer: Ketiga, saya ingin bertanya ke pertanyaan yang sebenarnya standar sih, ya. Hehe.

Apa motivasi kakak menulis buku ini, khususnya kepada pembaca? Apa ada kaitannya dengan 'mimpi' bahwa mimpi bisa ke Jepang itu boleh, buktinya dengan budget kakak segitu bisa kok ke Jepang. Apa begitu, kah? Atau ada motivasi lain?

Kak Tria: Di kalangan teman-teman, brand liburan Jepang itu udah lekat di saya. Mereka sering nanya-nanya apa dan gimana liburan ke Jepang. Daripada mengulang-ngulang cerita yang sama, mending saya tulis aja.

Terus saya juga senang memotivasi anak-anak muda untuk berani maju. Jangan mimpi doang, segera wujudkan mimpi. Take action.

Reviewer: Keempat, kota-kota di Jepang itu sangat unik, beda, dan memiliki keindahan tersendiri.

Nah, dari berbagai kota yang pernah Kak Tria pijaki, saya minta satu kota yang paling kakak sukai? Dan alasannya kenapa?

Saya harap, memang mungkin menurut Kak Tria semua kota di Jepang itu memorable ya, tapi saya minta satu kota saja yang paling kakak sukai banget gitu. Sehingga ketagihan ke kota tersebut.

Kak Tria: Saya rasa Tokyo ya. Tadinya saya takut pergi ke kota besar dan orang Tokyo angkuh. Ternyata enggak juga. Banyak orang baik. Banyak tempat keren di sini. Selalu ada yang baru di Tokyo. Sekarang gedung tertinggi ada di Tokyo. Mereka punya theme park Harry Potter yang baru dibuka.

Reviewer: Kelima dan terakhir, ini lebih ke pertanyaan personal, sekaligus pertanyaan yang bikin saya penasaran banget. Kak Tria setelah balik ke Indonesia, sekarang berkarir di bidang apa?

Saya lihat di Instagram merambah ke bisnis aksesoris ya, Kak?

Maaf, setelah 2021 atau setelah bekerja sebagai jurnalis, kakak saat ini melanjutkan sebagai jurnalis lagi tidak di Indonesia? Misal ada keinginan bekerja sebagai jurnalis gitu di media Indonesia? Atau gimana...

Kak Tria: Saya masih nulis, tapi freelance. Sekarang lagi mikirin konsep buku selanjutnya. Selain itu, bisa lebih fokus menekuni hobi crafting aneka rajutan.

Saya pertama jadi jurnalis media cetak. Jadi terbiasa gaya penulisan yabg dalam. Sekarang media cetak mati. Media online mementingkan kecepatan dan topik remeh. Pembahasan juga nggak dalam.

Kayaknya nggak bakal balik deh ke jurnalisme. Saya sekarang malah memperdalam bahasa Jepang. Bisa ngajar level dasar.

Oh iya satu lagi, saya juga ingin ajak anak-anak muda untuk nggak hanya kagum sama Jepang, tapi juga meniru disiplin dan kerja keras. Sikap nggak buang sampah sembarangan juga. Masa untuk buang sampah aja sampe harus diajarin orang Jepang, Di Jakarta ada Jakarta Osoji Club yang misinya bersi-bersih di Jakarta.

-

Penulis buku Sobat Misqueen Ketagihan ke Jepang dapat disapa melalui laman Instagram @dhorotheatriarsari.

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url