Review Buku Tentang (Dari Hal yang Biasa Menata Asa dan Rasa) karya Noni Lestari
Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) is more like a bunch of self reminder. Saya merasa sedang membaca buku harian. Begitu intim dan intens.
Menulis memang bisa menjadi kegiatan meditatif sekaligus eksploratif. Tulisan-tulisan Noni Lestari di buku ini pun memang sarat dengan muatan reflektif.
Belum lagi, yang penulis katakan sebagai ‘hal biasa’ justru jadi bahan bakar bukunya. Penulis piawai mengeksplorasi ‘hal biasa’ itu menjelma sesuatu yang sarat makna.
Untuk tahu lebih dalam isi buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa), mari simak ulasan berikut.
Baca Juga: Review Buku Goresan Jiwa
Judul buku: Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa)
Penulis: Noni Lestari
Penerbit: MDP Media
Tahun terbit: Mei, 2023
Halaman: 112 halaman
Tentu saja, penyaluran emosi tersebut dilakukan secara sadar dan terstruktur. Hal senada juga diungkapkan oleh Dee Lestari, salah satu penulis perempuan Indonesia. Menurutnya, menulis dan meditasi memiliki esensi yang sama yaitu melatih kesadaran pikiran.
Esensi meditasi dalam menulis, amat tercermin pada buku karya Noni Lestari. Tulisan dalam buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) merupakan sebuah tulisan yang penuh kesadaran. Penulis membuka diri terhadap berbagai perasaan.
Penulis pun tidak takut terhadap ketidaktahuan. Di buku ini, ada beberapa tulisan berisi pernyataan pendek yang justru diakhiri pertanyaan.
Penulis membiarkan pembaca berpikir bersamanya. Ia sadar bahwa ‘misi’-nya dalam buku ini bukanlah memberikan jawaban terhadap segala sesuatu melainkan memberikan jalan untuk menemukan ‘sesuatu’.
Topik yang cukup sering dibahas oleh penulis dalam buku ini yaitu tentang egoisme manusia. Tulisan berjudul ‘Aku’ memberikan gambaran cukup jelas soal ini. Betapa manusia seringkali merasa bahwa dunia berporos pada dirinya. Semua hal hanya tentang; aku, aku, aku!
Tulisan ini cukup memorable bagi saya. Pasalnya, penulis menandai hal yang cukup relatable bagi kehidupan pekerjaan.
Selain egoisme, penulis juga membahas tentang relasi manusia. Relasi yang disinggung bukan hanya hubungan manusia dengan orang lain, melainkan juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dua jenis relasi tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pesan penulis mengenai relasi manusia sangat hangat dan menenangkan. Pada tulisan ‘Self Reminder’ penulis mengingatkan pembaca untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain. Pasalnya, semakin banyak kita membandingkan diri, semakin kita kehilangan diri sendiri.
Tak ada manusia yang sama. Percuma saja menginginkan apa yang orang lain miliki. Sebagaimana yang dikatakan dalam tulisan berjudul ‘Reminder’,
Semakin dalam membaca buku ini, semakin banyak kesadaran saya untuk lebih memaknai hidup. Tuhan tidak pernah memberikan hal ‘biasa saja’ kepada kita. Barangkali perasaan terbiasa terhadap hal-hal itu membuat kita menganggapnya biasa.
Tulisan-tulisan Noni Lestari sungguh kontemplatif. Ia berhasil mengeksplorasi sisi lain batinnya. Perenungannya akan ‘hal biasa’ berpendar jauh ke dalam jiwa pembaca.
Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan untuk mereka sembah. Sebuah Tuhan Agung. Tuhan yang bahkan terlalu luhur untuk ibadah manusia yang amat biasa.
Oleh karena konsep Tuhan pertama itu begitu jauh, manusia menciptakan Tuhan yang lebih mudah dijangkau. Kita kemudian mengenal Tuhan itu sebagai dewa dengan nama-nama tertentu. Karen Armstrong memandang hal tersebut sebagai wujud kerinduan manusia kepada Tuhan.
Berkaitan dengan teori penciptaan Tuhan dalam masyarakat kuno, sebetulnya, keterikatan manusia dengan spiritualisme telah dibahas dalam Al-Quran.
Al-Quran mendefinisikan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki sebagian kecil milik Tuhan yang ditiupkan kepada dirinya, yaitu ruh. Keterikatan manusia dengan Tuhan pada alam ruh tersebut membuat manusia selalu ingin kembali kepada penciptanya.
Muatan spiritualisme dalam buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) cukup mendalam. Misalnya, pada tulisan berjudul ‘Pemula’. Pembaca diingatkan untuk selalu menyandarkan segala hal kepada Allah.
Pada tulisan ini penulis menyebut dirinya sebagai ‘pemula’ dalam segala sesuatu. Ia begitu tak tahu apa-apa sehingga baginya Sang Maha Tahu-lah satu-satunya tempat memohon petunjuk.
Meski begitu, tak sedikit manusia yang justru lebih takut mengecewakan manusia dibandingkan dengan mengecewakan Allah. Padahal, sejatinya, tanpa Allah, manusia hanyalah seonggok daging yang tidak berdaya. Hal tersebut dibahas oleh penulis dalam tulisan berjudul ‘Rasa Takut’.
Melalui kedua tulisan di atas, penulis menunjukkan betapa dirinya amat terikat kepada Sang Pencipta. Penulis mengajak pembaca untuk merenungi itu dalam tulisan berjudul ‘Jangan Salah Tempat untuk Berlari’. Begini ujarnya…
Manusia yang senantiasa ingin mengatur segala hal dalam kekuasaanya. Padahal, sebagai dikatakan penulis, kita hanya perlu melakukan yang kita bisa dan kita mampu. Sisanya? Biarkan Tuhan melakukan bagian-Nya.
Manusia memang makhluk yang penuh paradoks. Kita mengingat sekaligus melupakan Tuhan. Kita meminta sekaligus mengatur Tuhan. Kita merindukan sekaligus membenci-Nya.
Apa sebenarnya yang dimaui oleh manusia?
Ada sebuah pertanyaan menyentil di buku ini perihal paradoksial manusia. Pertanyaan yang menurut saya jadi bagian paling menohok pada buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa).
Penulis bertanya…
Membaca petuah-petuah dari Noni Lestari perihal Tuhan, saya jadi terenyuh. Saya mengingat-ingat kembali, bagaimana manusia dulu mencari dan menciptakan Tuhan dengan susah payah. Sedangkan saat ini, ketika Tuhan telah hadir di dalam semestanya, Ia dilupakan mentah-mentah.
Modernisme tampaknya telah sedikit demi sedikit mengikis rasa terikat kita kepada ‘ruh’ Tuhan. Kita mungkin seolah tampak lebih ‘memegang kendali. Namun, tetap saja, ada yang tak bisa kita kelabui—mengutip kata Karen Armstrong—kehampaan pada “lubang yang pernah diisi Tuhan”.
Walau bagaimanapun, gagasan spiritualisme dan ketuhanan telah memainkan peran krusial bahkan merupakan salah satu gagasan terbesar dalam sejarah umat manusia.
Untuk memahami apa yang hilang dari kita—jika itu memang telah hilang—kita perlu melihat, memaknai apa yang dilakukan manusia ketika mulai menyembah Tuhan.
Buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) bagi saya adalah sebuah jalan. Penulis menuntun pembaca berjalan menuju kesadaran spiritualitas.
Review Buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) Karya Noni Lestari
Identitas bukuJudul buku: Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa)
Penulis: Noni Lestari
Penerbit: MDP Media
Tahun terbit: Mei, 2023
Halaman: 112 halaman
Gambaran Umum Buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa)
Buku ini merupakan buku kedua karya Noni Lestari. Isi bukunya hanya tulisan pendek dan kutipan-kutipan. Di dalam buku setebal 112 halaman ini, pembaca bisa memanen banyak sekali petuah-petuah bijak.Menulis sebagai Meditasi
Dr. Fahruddin Faiz, dalam sebuah sesi Ngaji Filsafat mengutarakan bahwa menulis dapat menjadi alat meditasi diri. Menulis dapat memfasilitasi penyaluran emosi.Tentu saja, penyaluran emosi tersebut dilakukan secara sadar dan terstruktur. Hal senada juga diungkapkan oleh Dee Lestari, salah satu penulis perempuan Indonesia. Menurutnya, menulis dan meditasi memiliki esensi yang sama yaitu melatih kesadaran pikiran.
Esensi meditasi dalam menulis, amat tercermin pada buku karya Noni Lestari. Tulisan dalam buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) merupakan sebuah tulisan yang penuh kesadaran. Penulis membuka diri terhadap berbagai perasaan.
Penulis pun tidak takut terhadap ketidaktahuan. Di buku ini, ada beberapa tulisan berisi pernyataan pendek yang justru diakhiri pertanyaan.
Penulis membiarkan pembaca berpikir bersamanya. Ia sadar bahwa ‘misi’-nya dalam buku ini bukanlah memberikan jawaban terhadap segala sesuatu melainkan memberikan jalan untuk menemukan ‘sesuatu’.
Topik yang cukup sering dibahas oleh penulis dalam buku ini yaitu tentang egoisme manusia. Tulisan berjudul ‘Aku’ memberikan gambaran cukup jelas soal ini. Betapa manusia seringkali merasa bahwa dunia berporos pada dirinya. Semua hal hanya tentang; aku, aku, aku!
Jika semuanya kamu hanya ingin tentang aku, aku, dan aku lagi. Belajar mengerti, memperbaiki ego, dan memperdalam pikiran di kepala yang begitu dangkal.Egoisme manusia seringkali membuat manusia menjadi nir empati. Kepeduliannya terhadap sekitar semakin berkurang. Ini diungkapkan penulis dalam judul tulisan ‘Hal Kecil yang Terlupakan’.
Tulisan ini cukup memorable bagi saya. Pasalnya, penulis menandai hal yang cukup relatable bagi kehidupan pekerjaan.
Selain egoisme, penulis juga membahas tentang relasi manusia. Relasi yang disinggung bukan hanya hubungan manusia dengan orang lain, melainkan juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dua jenis relasi tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pesan penulis mengenai relasi manusia sangat hangat dan menenangkan. Pada tulisan ‘Self Reminder’ penulis mengingatkan pembaca untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain. Pasalnya, semakin banyak kita membandingkan diri, semakin kita kehilangan diri sendiri.
Tak ada manusia yang sama. Percuma saja menginginkan apa yang orang lain miliki. Sebagaimana yang dikatakan dalam tulisan berjudul ‘Reminder’,
Tidak semua pencapaian orang lain harus menjadi pencapaian kita juga, dan tidak semua kesuksesan orang lain menjadi kesuksesan kita, tolong setelah ini jangan lagi merasa minder bahkan tidak yakin diri sendiri.Jika telah mampu menghargai diri sendiri, bukan mustahil seseorang akan lebih baik dalam memahami orang lain. Cukup banyak tulisan yang membahas tentang ini. Beberapa di antaranya yaitu, ‘Tentang Memahami’, ‘Teman’, ‘Berpikir Baik’, ‘Katanya Orang yang Tak Mengerti Cinta’, dan lain-lain.
Semakin dalam membaca buku ini, semakin banyak kesadaran saya untuk lebih memaknai hidup. Tuhan tidak pernah memberikan hal ‘biasa saja’ kepada kita. Barangkali perasaan terbiasa terhadap hal-hal itu membuat kita menganggapnya biasa.
Tulisan-tulisan Noni Lestari sungguh kontemplatif. Ia berhasil mengeksplorasi sisi lain batinnya. Perenungannya akan ‘hal biasa’ berpendar jauh ke dalam jiwa pembaca.
Manusia dan Spiritualisme
Pada buku Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong, dikatakan, praktik spiritualisme manusia tumbuh perlahan di dunia kuno Timur Tengah. Tepatnya sekitar 1400 tahun silam.Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan untuk mereka sembah. Sebuah Tuhan Agung. Tuhan yang bahkan terlalu luhur untuk ibadah manusia yang amat biasa.
Oleh karena konsep Tuhan pertama itu begitu jauh, manusia menciptakan Tuhan yang lebih mudah dijangkau. Kita kemudian mengenal Tuhan itu sebagai dewa dengan nama-nama tertentu. Karen Armstrong memandang hal tersebut sebagai wujud kerinduan manusia kepada Tuhan.
Berkaitan dengan teori penciptaan Tuhan dalam masyarakat kuno, sebetulnya, keterikatan manusia dengan spiritualisme telah dibahas dalam Al-Quran.
Al-Quran mendefinisikan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki sebagian kecil milik Tuhan yang ditiupkan kepada dirinya, yaitu ruh. Keterikatan manusia dengan Tuhan pada alam ruh tersebut membuat manusia selalu ingin kembali kepada penciptanya.
Muatan spiritualisme dalam buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) cukup mendalam. Misalnya, pada tulisan berjudul ‘Pemula’. Pembaca diingatkan untuk selalu menyandarkan segala hal kepada Allah.
Pada tulisan ini penulis menyebut dirinya sebagai ‘pemula’ dalam segala sesuatu. Ia begitu tak tahu apa-apa sehingga baginya Sang Maha Tahu-lah satu-satunya tempat memohon petunjuk.
Meski begitu, tak sedikit manusia yang justru lebih takut mengecewakan manusia dibandingkan dengan mengecewakan Allah. Padahal, sejatinya, tanpa Allah, manusia hanyalah seonggok daging yang tidak berdaya. Hal tersebut dibahas oleh penulis dalam tulisan berjudul ‘Rasa Takut’.
Melalui kedua tulisan di atas, penulis menunjukkan betapa dirinya amat terikat kepada Sang Pencipta. Penulis mengajak pembaca untuk merenungi itu dalam tulisan berjudul ‘Jangan Salah Tempat untuk Berlari’. Begini ujarnya…
Semoga kita tak salah tempat untuk mengadu selain kepada-Nya.Pesan tersebut diperkuat penulis pada tulisan berjudul Berserah. Penulis secara implisit menyentil obsesi manusia.
Manusia yang senantiasa ingin mengatur segala hal dalam kekuasaanya. Padahal, sebagai dikatakan penulis, kita hanya perlu melakukan yang kita bisa dan kita mampu. Sisanya? Biarkan Tuhan melakukan bagian-Nya.
Manusia memang makhluk yang penuh paradoks. Kita mengingat sekaligus melupakan Tuhan. Kita meminta sekaligus mengatur Tuhan. Kita merindukan sekaligus membenci-Nya.
Apa sebenarnya yang dimaui oleh manusia?
Ada sebuah pertanyaan menyentil di buku ini perihal paradoksial manusia. Pertanyaan yang menurut saya jadi bagian paling menohok pada buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa).
Penulis bertanya…
Kalau ada kesempatan untuk tak beribadah dan mengerjakan dosa, apa yang akan kamu lakukan?Sungguh pertanyaan yang sarat dengan muatan filosofis. Membacanya saja, saya merinding. Pasalnya, tanpa diberikan kesempatan itu pun perbuatan dosa saya sudah begitu begitu banyak! Tetapi, lihatlah! Tuhan masih saja bersikap sangat baik.
Membaca petuah-petuah dari Noni Lestari perihal Tuhan, saya jadi terenyuh. Saya mengingat-ingat kembali, bagaimana manusia dulu mencari dan menciptakan Tuhan dengan susah payah. Sedangkan saat ini, ketika Tuhan telah hadir di dalam semestanya, Ia dilupakan mentah-mentah.
Modernisme tampaknya telah sedikit demi sedikit mengikis rasa terikat kita kepada ‘ruh’ Tuhan. Kita mungkin seolah tampak lebih ‘memegang kendali. Namun, tetap saja, ada yang tak bisa kita kelabui—mengutip kata Karen Armstrong—kehampaan pada “lubang yang pernah diisi Tuhan”.
Walau bagaimanapun, gagasan spiritualisme dan ketuhanan telah memainkan peran krusial bahkan merupakan salah satu gagasan terbesar dalam sejarah umat manusia.
Untuk memahami apa yang hilang dari kita—jika itu memang telah hilang—kita perlu melihat, memaknai apa yang dilakukan manusia ketika mulai menyembah Tuhan.
Buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) bagi saya adalah sebuah jalan. Penulis menuntun pembaca berjalan menuju kesadaran spiritualitas.
Baca Juga: Review Novel Si Burung Penyendiri
Kesadaran ini pun menulari saya. Saya merasa lebih mampu menghargai hal kecil dan segala ketidaksempurnaan dalam hidup saya.
Penulis memiliki cara pandang berbeda pada sebuah peristiwa. Ini berdampak juga kepada pembaca. Dalam biodatanya, Noni Lestari mengatakan bahwa ia tidak begitu menyukai keramaian.
Saya berasumsi, kecintaan penulis pada suasana tenang memberikan efek meditatif dalam setiap tulisannya. Secara tidak langsung, tulisan Noni Lestari menjadi stress release tersendiri bagi pembaca, khususnya bagi saya.
Tak ada embel-embel motivasi Islami di buku ini. Akan tetapi, saya justru menemukan Tuhan di sana. Entah bagaimana caranya, Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) memberi sentuhan spiritual tak terduga.
Barangkali tak akan sama bagi setiap pembaca. Itu tak jadi soal. Hal terpenting yakni, buku ini telah membuktikan dirinya sebagai penghubung kebaikan.
Saya selalu yakin, sebuah buku memiliki takdirnya sendiri. Ia akan datang kepada seseorang yang tepat. Jika kelak buku ini sampai kepada pembaca lainnya, saya berharap siapa pun itu dapat menemukan kedamaian diri usai membacanya.
Noni Lestari: Jujur saya tidak ada waktu khusus atau ritual apapun ketika mau memulai nulis, lebih singkatnya tergantung mood dan perasaan yg dirasakan saja. Tp saya sangat menyukai tempat yg jauh dari keramaian, saya lebih suka ruang sepi tenang dan adem, oh iya kemanapun saya berpergian saya tidk pernah melupakan 1 buku ( judulny gado2 jadi semua yg saya temui saya tulis)
Reviewer: Kak, saya benar-benar merinding saat membaca pertanyaan ‘Kalau ada kesempatan untuk tak beribadah dan mengerjakan dosa, apa yang akan kamu lakukan?’Apa sebenarnya filosofi yang pengen Kakak sampaikan lewat pertanyaan ini? Boleh dijelaskan lebih lanjut agar pembaca kami semakin memaknai buku ini?
Noni Lestari: Tidak ada filosofi hanya saja dari sudut pandang pribadi ya kak mohon maaf jika salah, kebanyakan tanpa kita sadari kita itu kadang sedikit menunda bahkan pura2 tidak tahu, dan bahkan ada yg sengaja tidak mengerjakan contoh ibadah shalat 5 waktu terkadang orang mengerjakan shalat itu dia hampir mau balapan dengan shalat berikutnya yg akan datang( shalat dimenit akhir akan datang shalat berikutnya).
Pandangan Reviewer tentang Buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa)
Saya teringat tuturan Jalaludin Rumi dalam buku Terapi Masnawi.Keadaan setiap hari tidak akan sama dengan hari sebelumnya. Bagaikan sungai, keadaan-keadaan mengalir dan pergi. Tidak akan ada yang mampu menghentikan maupun mengibahkannya. Kesenangan yang terjadi tiap hari akan berbeda. Tak akan sama pengaruh dari pikiran yang tumbuh pada setiap harinyaKutipan tersebut menurut saya sangat relatable dengan buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa). Buku ini menunjukkan betapa penulis amat menghargai setiap kejadian yang ia alami sehari-hari.
Kesadaran ini pun menulari saya. Saya merasa lebih mampu menghargai hal kecil dan segala ketidaksempurnaan dalam hidup saya.
Penulis memiliki cara pandang berbeda pada sebuah peristiwa. Ini berdampak juga kepada pembaca. Dalam biodatanya, Noni Lestari mengatakan bahwa ia tidak begitu menyukai keramaian.
Saya berasumsi, kecintaan penulis pada suasana tenang memberikan efek meditatif dalam setiap tulisannya. Secara tidak langsung, tulisan Noni Lestari menjadi stress release tersendiri bagi pembaca, khususnya bagi saya.
Tak ada embel-embel motivasi Islami di buku ini. Akan tetapi, saya justru menemukan Tuhan di sana. Entah bagaimana caranya, Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) memberi sentuhan spiritual tak terduga.
Barangkali tak akan sama bagi setiap pembaca. Itu tak jadi soal. Hal terpenting yakni, buku ini telah membuktikan dirinya sebagai penghubung kebaikan.
Saya selalu yakin, sebuah buku memiliki takdirnya sendiri. Ia akan datang kepada seseorang yang tepat. Jika kelak buku ini sampai kepada pembaca lainnya, saya berharap siapa pun itu dapat menemukan kedamaian diri usai membacanya.
Wawancara dengan Noni Lestari (Coming Soon)
Reviewer: Halo, Kak Noni! Saya seneng banget berkesempatan membaca buku Kakak. Pengalaman yang menenangkan. Ya, menenangkan. Makanya, saya penasaran banget. Apakah Kakak punya ritual khusus saat menulis buku ini hingga vibe tulisan Kakak bisa se-calming itu buat saya sebagai pembaca? Mungkin Kakak bisa sharing buat pembaca kami yang lagi belajar nulis juga.Noni Lestari: Jujur saya tidak ada waktu khusus atau ritual apapun ketika mau memulai nulis, lebih singkatnya tergantung mood dan perasaan yg dirasakan saja. Tp saya sangat menyukai tempat yg jauh dari keramaian, saya lebih suka ruang sepi tenang dan adem, oh iya kemanapun saya berpergian saya tidk pernah melupakan 1 buku ( judulny gado2 jadi semua yg saya temui saya tulis)
Reviewer: Kak, saya benar-benar merinding saat membaca pertanyaan ‘Kalau ada kesempatan untuk tak beribadah dan mengerjakan dosa, apa yang akan kamu lakukan?’Apa sebenarnya filosofi yang pengen Kakak sampaikan lewat pertanyaan ini? Boleh dijelaskan lebih lanjut agar pembaca kami semakin memaknai buku ini?
Noni Lestari: Tidak ada filosofi hanya saja dari sudut pandang pribadi ya kak mohon maaf jika salah, kebanyakan tanpa kita sadari kita itu kadang sedikit menunda bahkan pura2 tidak tahu, dan bahkan ada yg sengaja tidak mengerjakan contoh ibadah shalat 5 waktu terkadang orang mengerjakan shalat itu dia hampir mau balapan dengan shalat berikutnya yg akan datang( shalat dimenit akhir akan datang shalat berikutnya).
Terkadang juga tidak mengerjakan sama sekali, ini shalat wajib bukan sunnah. Artinya kita mash merasa kurang atas kesempatan 24 jam yg diksh Allah itu sedangkan shalat 5 waktu
Reviewer: Jujur aja, semua tulisan di buku Kak Noni ngasih impact yang besar buat saya terutama soal cara saya menghargai diri sendiri dan keberadaan Tuhan. Dalam proses kreatifnya, bagaimana pengaruh buku ini terhadap Kakak?
Noni Lestari: Buku ini hanyalah berisi quote receh yg harapan saya diantara quote receh di dalam buku ini bisa membawa kebaikan untuk org lain.
Reviewer: Ada kutipan yang cukup unik pada judul ‘Tentang Hujan’. Selama ini ‘kan banyak orang yang bilang kalau hujan itu 1%-nya air dan 99%-nya kenangan. Tapi, di tulisan Kakak, apa alasan Kakak mengatakan ‘Hujan, tanpa kita sadari 2% air dan 98% adalah do’a’. Ini sih dalem banget.
Noni Lestari: Hujan selain proses kondensasi uap air di atmosfer, kita ga sadar sebenerny datang ny hujan itu adalah doa yg cepat bahkan kita ada bacaan doa ketika hujan turun artinya turunnya hujan bukan hanya berbentuk air tp bernilai doa dan berkah untuk kita semua, selain keberkahan menyuburkan tanah air juga kebutuhan utama makhluk hidup (manusia, tumbuhan, hewan).
Shalat 5 waktu yg kita kerjakan kalau di total tidk menghabiskan 2 jam dalam mengerjakan artinya tersisa 22 jam untuk berleha tp apa kita selalu kurang. Sekarang kita balik kalau ada kesempatan selama sehari-semalam penuh tidak beribadah makan apa yg akan kamu lakukan?
Reviewer: Jujur aja, semua tulisan di buku Kak Noni ngasih impact yang besar buat saya terutama soal cara saya menghargai diri sendiri dan keberadaan Tuhan. Dalam proses kreatifnya, bagaimana pengaruh buku ini terhadap Kakak?
Noni Lestari: Buku ini hanyalah berisi quote receh yg harapan saya diantara quote receh di dalam buku ini bisa membawa kebaikan untuk org lain.
Reviewer: Ada kutipan yang cukup unik pada judul ‘Tentang Hujan’. Selama ini ‘kan banyak orang yang bilang kalau hujan itu 1%-nya air dan 99%-nya kenangan. Tapi, di tulisan Kakak, apa alasan Kakak mengatakan ‘Hujan, tanpa kita sadari 2% air dan 98% adalah do’a’. Ini sih dalem banget.
Noni Lestari: Hujan selain proses kondensasi uap air di atmosfer, kita ga sadar sebenerny datang ny hujan itu adalah doa yg cepat bahkan kita ada bacaan doa ketika hujan turun artinya turunnya hujan bukan hanya berbentuk air tp bernilai doa dan berkah untuk kita semua, selain keberkahan menyuburkan tanah air juga kebutuhan utama makhluk hidup (manusia, tumbuhan, hewan).
Bahkan ada yg mengatakan salah satu doa yg mustajab selain ketika menjelang shalat ,adalah saat hujan turun. Di Alquran juga di jelaskan beberapa surat.
Reviewer: Di Instagram, saya lihat Kakak telah menerbitkan buku pertama berjudul ‘Percakapan Sederhana’. Dari buku sebelumnya, menurut Kakak, hal spesial apa yang ada pada buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) yang tidak akan pembaca temukan di buku pertama Kakak?
Noni Lestari: "Perbincangan Sederhana" Buku motivasi non-fiksi ( yang isinya full tulisan mngkin bagi yg membaca dia menyukainya). Tp untuk pemula yg mau memulai menyukai membaca lebih ke buku " tentang" Iya walaupun isi ny singkat tp memiliki makna berbeda. Dan di buku pertama tidak semua isinya quote2 seperti di buku ke-2.
-
Penulis buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) dapat disapa di laman Instagram @nonilestarii.
Reviewer: Lupy Agustina
Reviewer: Di Instagram, saya lihat Kakak telah menerbitkan buku pertama berjudul ‘Percakapan Sederhana’. Dari buku sebelumnya, menurut Kakak, hal spesial apa yang ada pada buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) yang tidak akan pembaca temukan di buku pertama Kakak?
Noni Lestari: "Perbincangan Sederhana" Buku motivasi non-fiksi ( yang isinya full tulisan mngkin bagi yg membaca dia menyukainya). Tp untuk pemula yg mau memulai menyukai membaca lebih ke buku " tentang" Iya walaupun isi ny singkat tp memiliki makna berbeda. Dan di buku pertama tidak semua isinya quote2 seperti di buku ke-2.
-
Penulis buku Tentang (Dari Hal Yang Biasa Menata Asa dan Rasa) dapat disapa di laman Instagram @nonilestarii.
Reviewer: Lupy Agustina
BACA JUGA: Review Novel Dua Sejiwa karya Hyu