Review Novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa karya Ismailia Jenie
Dalam novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa, cerita Mira dengan Irene cukup merepresentasikan bentuk hubungan tersebut. Mereka sama-sama menghadapi kesulitan untuk bisa saling mengerti satu sama lain, sehingga tak jarang konflik-konflik kecil terjadi.
Untuk mengetahui gambaran umum cerita Mira, simak ulasan berikut.
Baca Juga: Review Buku Goresan Jiwa
Review Novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa karya Ismailia Jenie
Identitas BukuJudul: Mira dan hari-harinya yang biasa
Penerbit: Ellunar Publisher
Pengarang: Ismailia Jenie
Tahun: 2023
Isi: 173 halaman
ISBN: 978-623-385-403-0
Gambaran Umum Novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa
Pada halaman awal, pembaca akan dikenalkan dengan Mira’s starter pack ketika berangkat sekolah.Mira yang baru duduk di kelas delapan selalu membawa kantong bergambar daun-daun yang berisi glucometer, jetrekan tusukan, tiga jarum kecil cadangan, tiga kapas beralkohol, suntikan insulin, dan dua jarum cadangan lagi. Dilengkapi juga dengan buku catatan kecil sebagai track record gula darah, plus sebungkus permen.
Memangnya, Mira kenapa?
Anak berambut keriting ini terdiagnosa diabetes tipe 1. Gula darahnya tinggi, tepatnya tujuh ratus mg/dl. Kata dokter, pankreas Mira tidak mampu menghasilkan insulin untuk mengurai gula darah.
Kendati demikian, Mira dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Juga, ia memiliki dua sahabat yang lucu.
Bagian I
Tokoh-Tokoh yang Memeriahkan Cerita Mira
Opa
Sedari kecil, Mira tinggal dengan Opa (kakeknya) dan juga ibunya.Kakeknya Mira seorang dosen bahasa Indonesia. Ia bertampang galak. Lalu badannya tegap dan gagah, tidak seperti kakek-kakek pada umumnya. Opanya Mira ini dosen yang disegani sekaligus dikagumi oleh dosen lain maupun mahasiswanya.
Bagi Mira dan ibunya, Opa adalah segalanya. Dan by the way, Dek Mira ini tidak tahu keberadaan ayahnya.
Irene
Irene adalah sosok ibu yang misterius. Panggilan Mira kepada ibunya ialah ‘Mama’.Kata Mira, misteriusnya kehidupan Mama sama seperti kehidupan Kak Ros dalam serial Upin & Ipin.
Mira tidak tahu bagaimana Mamanya dulu sekolah. Mamanya ini anak yang seperti apa? Apakah ia memiliki geng dengan teman-teman perempuannya? Terus, eskul semasa Mamanya sekolah apa?
Mira bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, karena ia tidak tahu banyak tentang Mamanya.
FYI, Irene berprofesi sebagai seorang pengajar.
Cecil & Pandu
Di sekolah, Mira memiliki dua sahabat yang tergabung dalam Geng Micin. Geng ini singkatan dari Mi-Mira, Ce-Cecil, N-Ndu, Pandu.Terbentuknya Geng Micin hanya karena mereka makan yamin, dan makan yamin katanya tidak enak kalau tanpa micin.
Cecil sendiri anak yang pintar. Ia jago matematika dan bahasa Inggris. Jago juga memasukkan jarum glucometer Mira. Dialah yang suka membantu Mira memasukkan jarum.
Pandu adalah anak berkacamata yang pendiam. Kesukaannya baca komik, terus jago menggambar.
Angku Marno, Tante Kris, Te Lena, & Om Will
Untuk mengontrol diabetesnya, Mira selalu kepada Dr. Marno atau yang ia panggil Angku Marno. Sementara itu, Tante Kris adalah murid Dr. Marno.Te Lena, ibunya Cecil. Om Will, ayahnya Cecil.
Cerita Mira di Sekolah
Sebagai siswa yang ‘berbeda’, teman sekelas sering merasa aneh ketika Mira sedang suntik insulin atau cek gula darah dengan glucometer. Keanehan itu yang membuat teman-teman Mira bernama Bimo, Andri, dan Rian (Geng Ganggu) mengejek Mira dengan ejekan “Si Juragan Pabrik Gula”.Kemudian, Mira pernah pingsan saat bermain kasti di mata pelajaran olahraga. Katanya lari saja belum, tetapi keringat berasa sebadan. Begitulah kondisi fisik anak spesial ini, mengeluh merasa lemas dan pusing pasti kerap diungkapkannya.
Selebihnya, Mira di sekolah eskul mading, mengikuti Midterm Project Week, dan sebagainya. Hari-harinya biasa saja, sama seperti anak sekolah lainnya.
O, iya, di bagian pertama cerita Mira, ia dan Cecil bauedan gitu. Namun, ah! Namanya juga anak-anak.
Konflik
Sebetulnya, hubungan Mira dengan ibunya bagaikan orang tua dengan anak pada umumnya. Apalagi Mira pengidap diabetes, perhatian Irene tentu saja luar biasa hebat. Bahkan Mira menganggap ibunya ‘si polisi nomor satu’.Namun, satu hal yang tidak disukai oleh Irene adalah ketika Mira bertanya-tanya tentang lelaki bernama lengkap Yudhistira Pradana.
Pernah di suatu hari, saat mereka lari pagi, Mira menanyakan berbagai pertanyaan kepada Mamanya. “Mama jaman kuliah, anak yang seperti apa?”, “Mama dulu temannya banyak?”, dan saat terlontar pertanyaan, “Mama kenal sama Papa pas kapan?”.
Seketika, mendengar pertanyaan tersebut, Irene terdiam. Lalu mengalihkan pembicaraan.
Sesungguhnya wajar Mira bertanya tentang Papanya, sebab ia tahu sekilas mengenai Papanya dari formulir daftar ulang kenaikan kelas.
Hanya saja, jawaban sang Mama selalu ketus dan tidak jelas. Bahkan Irene menegaskan kepada anak semata wayangnya bahwa Mira, punya dirinya dan Opa itu sudah cukup!
Lantas, apa alasan Irene merahasiakan tentang Papanya Mira?
Reaksi Irene geram bukan main saat Yudish tiba-tiba datang ke rumah. Melalui penuturan penulis di halaman ‘Labirin Irene’, jelas sekali Irene sangat membenci laki-laki tersebut. Saking membencinya, Irene melabeli Papanya Mira “Si hantu bangsat”.
Singkat cerita di bagian kedua cerita Mira, Irene mulai terbuka kepada anaknya. Ia bercerita segalanya. Rasa penasaran Mira terhadap Mamanya yang misterius itu pun terjawab semuanya.
Pelan-pelan juga, Irene ngasih tahu siapa sebetulnya Papanya Mira. Hal ini dilakukan Irene karena Opanya Mira tidak lelah mengingatkannya kalau Mira berhak tahu siapa Papanya tersebut. Bahkan, ia sendiri yang mengenalkan Papanya Mira kepada Mira. Ya, mereka bertemu. Menghabiskan waktu seharian.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Bagaimana cerita Mira dengan ayah kandungnya?
Bagaimana perasaan Mira setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu sosok sang ayah?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, yaaa pinang saja buku ini.
Lantas, apa alasan Irene merahasiakan tentang Papanya Mira?
Bagian II
Pada bagian ini, berhubung Mira masih bete-betean dengan Cecil, maka ia mengisi salah satu waktu libur sekolahnya ke rumah Pandu. Tak disangka, saat Mira ke rumah Pandu, Papanya ternyata ke rumahnya.Reaksi Irene geram bukan main saat Yudish tiba-tiba datang ke rumah. Melalui penuturan penulis di halaman ‘Labirin Irene’, jelas sekali Irene sangat membenci laki-laki tersebut. Saking membencinya, Irene melabeli Papanya Mira “Si hantu bangsat”.
Singkat cerita di bagian kedua cerita Mira, Irene mulai terbuka kepada anaknya. Ia bercerita segalanya. Rasa penasaran Mira terhadap Mamanya yang misterius itu pun terjawab semuanya.
Pelan-pelan juga, Irene ngasih tahu siapa sebetulnya Papanya Mira. Hal ini dilakukan Irene karena Opanya Mira tidak lelah mengingatkannya kalau Mira berhak tahu siapa Papanya tersebut. Bahkan, ia sendiri yang mengenalkan Papanya Mira kepada Mira. Ya, mereka bertemu. Menghabiskan waktu seharian.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Bagaimana cerita Mira dengan ayah kandungnya?
Bagaimana perasaan Mira setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu sosok sang ayah?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, yaaa pinang saja buku ini.
Baca Juga: Review Novel Dua Sejiwa
Jujur saja, saya kerap jengkel sendiri dan bertanya-tanya. Mengapa Irene tidak terus terang saja kepada anaknya? Apa susahnya ngasih tahu siapa sosok ayah dari anaknya tersebut. Tapi di balik itu, saya sadar, saya seorang laki-laki yang tidak becus memahami perasaan seorang perempuan.
Sama seperti Opanya Mira, saya akan dengan mudah memberikan saran kepada Irene bahwa Mira berhak tahu secepatnya siapa ayah kandungnya. Namun, bagi perempuan yang amat tersakiti oleh lelaki, tidak gampang menceritakan segalanya, apalagi kepada anak semata wayangnya. Butuh waktu yang benar-benar tepat untuk menceritakan semuanya.
Ditinjau dari gaya bahasa, novela ini bakal mudah dipahami oleh berbagai kalangan pembaca. Dan meski menggunakan POV campuran, alur cerita Mira tetap asyik untuk ditelusuri tiap halamannya. Terlebih, setiap judul bab hanya memuat beberapa lembar saja, sehingga membaca buku ini tidak akan membosankan.
Bicara soal POV, saya sedikit janggal. Apa alasan penulis menyisipkan POV Irene dalam cerita Mira?
Untuk mengetahui alasannya, simak sesi wawancara saya dengan penulis.
Okey, kita masuk ke pertanyaan pertama, ya.
Jadi gini, saya tidak tahu apakah sosok Mira ini pure fiktif atau berangkat dari pengalaman. Saya malah membayangkan Mira ini adalah sosok penulis sewaktu kecil. Ah, kamana wae nyaa. Haha.
Jadi, Dek Mira siapa sih? Pure fiktif atau pengalaman seseorang? Lantas, apa motivasi Kak Gita bercerita tentang Mira?
Kak Gita: Halo, Kak. Aku jawab, yaaa…
Pertama, dek Mira ini fiktif, kok... tapi emang nggak sepenuhnya fiktif. Ada hal-hal yang juga melekat sama aku sebagai penulisnya. Kayak diabetes itu sendiri, aku pernah kena (tapi beda tipe sama apa yang diidap Mira). Aku juga suka banget sama rumball, sayangnya ibuku sih nggak suka bikinin itu ya, hehe...
Motivasi bikin cerita tentang Mira sebenarnya pengin kasih tau kalo ada lho orang yang kena diabetes dari kecil dan gimana mereka jalani hari-nya yang nggak bebas kayak anak-anak pada umumnya.
Reviewer: Kedua, ide tentang Mira ini sudah muncul dari tahun 2015 lalu. Boleh diceritakan tidak, apa yang menghambat Kak Gita dalam menulis cerita Mira hingga tahun terbitnya Agustus kemarin loh????
Kak Gita: Yang menghambat penulisan Mira lebih ke konsisten dalam menulisnya sih, Kak...awalnya juga masih mencari-cari mau dari sudut pandang mana, konfliknya apa nih yang mau dibangun. Terus ya, kedistrak sama kegiatan sebagai budak korporat (hahahah #alasan). Baru di 3 tahun terakhir bisa lebih tekun dan benar-benar meniatkan Mira untuk sampai ke kata tamat.
Reviewer: Ketiga, boleh dibilang cerita Mira ini effort banget risetnya, ya. Terutama riset mengenai diabetes pada anak. Terlebih, keluarga Kak Gita punya keturunan diabetes. Lantas, apa yang ingin kakak sampaikan kepada pembaca mengenai diabetes?
Kak Gita: Yang mau aku sampaikan itu tadi sih, bahwa diabetes itu bisa menyerang bahkan dari mulai masih anak-anak. Dan diabetes itu ada beberapa tipe. Bisa dibilang yang Mira punya memang bawaan dari lahir, makanya dia bergantung banget sama insulin.
Selain itu, aku juga ingin mengangkat isu hubungan antara orang tua sama anak, mungkin khususnya ibu dan anak ya. Bahwa sebenarnya dua pihak ini sama-sama struggle sama dirinya masing-masing, tapi pada akhirnya kalo mau terbuka, bisa kok saling memahami.
Reviewer: Keempat, masuk ke isi cerita Mira. Apa sih tujuan kakak menulis bagian "Labirin Irene?".
Kak Gita: Kenapa ada selipan bab ‘Labirin Irene’. Ini nyambung sama yang ketiga tadi. Aku ingin memberikan sudut pandang seorang ibu juga. Ada hal-hal yang mungkin nggak diketahui dengan POV Mira, bisa (sedikit) tergambarkan melalui Irene sebagai ibunya. Juga (mudah-mudahan) sih bisa ditangkap bahwa sebagai orang tua, dalam hal ini, ibu, mereka juga mengalami banyak pergolakan batin.
Reviewer: Kelima, sekaligus pertanyaan terakhir, Kak Gita ini mengikuti banyak kelas-kelas menulis. Praktis dapat banyak ilmu dan pengalaman. Pertanyaan saya, mengapa Kak Gita lebih memilih menerbitkan cerita Mira melalui penerbit Indie?
Kak Gita: Aku memilih menerbitkan Mira melalui penerbit indie karena udah lama sih sebenarnya ingin nerbitin buku, khususnya lewat Ellunar Publisher. Dulu beberapa kali ikut lomba yang diadakan Ellunar waktu baru awal-awal berdiri, terus tahu mereka menerbitkan buku juga, jadi suatu hari kalo aku bikin novel, mau deh di Ellunar.
Kesempatan untuk terbitnya juga lebih besar dibandingkan lewat penerbit mayor. Mungkin ini sedikit personal dan dalem ya, kak: menulis Mira itu alasanku lanjutin hidup di 2023 ini sih, hehe (aku lagi dalam tahap pemulihan dari depresi). Jadi, aku nggak tau kapan lagi mungkin akan bikin buku, jadi yaaa.. pengin memberikan legasilah gitu. Minimal, bikin yang bacanya merasa ada teman :)
-
Penulis novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa dapat disapa melalui laman Instagram @ismajenie.
BACA JUGA: Review Buku Tentang
Pandangan Reviewer mengenai novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa
Sesuai judul, hari-harinya Mira memang biasa saja. Namun, banyak pembelajaran yang saya dapati. Terutama mengenai relasi orang tua dengan anaknya. Atau lebih tepatnya, ibu dengan anak perempuannya.Jujur saja, saya kerap jengkel sendiri dan bertanya-tanya. Mengapa Irene tidak terus terang saja kepada anaknya? Apa susahnya ngasih tahu siapa sosok ayah dari anaknya tersebut. Tapi di balik itu, saya sadar, saya seorang laki-laki yang tidak becus memahami perasaan seorang perempuan.
Sama seperti Opanya Mira, saya akan dengan mudah memberikan saran kepada Irene bahwa Mira berhak tahu secepatnya siapa ayah kandungnya. Namun, bagi perempuan yang amat tersakiti oleh lelaki, tidak gampang menceritakan segalanya, apalagi kepada anak semata wayangnya. Butuh waktu yang benar-benar tepat untuk menceritakan semuanya.
Ditinjau dari gaya bahasa, novela ini bakal mudah dipahami oleh berbagai kalangan pembaca. Dan meski menggunakan POV campuran, alur cerita Mira tetap asyik untuk ditelusuri tiap halamannya. Terlebih, setiap judul bab hanya memuat beberapa lembar saja, sehingga membaca buku ini tidak akan membosankan.
Bicara soal POV, saya sedikit janggal. Apa alasan penulis menyisipkan POV Irene dalam cerita Mira?
Untuk mengetahui alasannya, simak sesi wawancara saya dengan penulis.
Wawancara dengan Ismailia Jenie (Kak Gita)
Reviewer: Halo, Kak Gita. Sebelumnya mohon maaf saya ngasih pertanyaan di dini hari kayak gini, haha. Kebangun. Dan tetiba pengen nanya-nanya tentang cerita Mira dan Hari-harinya yang Biasa.Okey, kita masuk ke pertanyaan pertama, ya.
Jadi gini, saya tidak tahu apakah sosok Mira ini pure fiktif atau berangkat dari pengalaman. Saya malah membayangkan Mira ini adalah sosok penulis sewaktu kecil. Ah, kamana wae nyaa. Haha.
Jadi, Dek Mira siapa sih? Pure fiktif atau pengalaman seseorang? Lantas, apa motivasi Kak Gita bercerita tentang Mira?
Kak Gita: Halo, Kak. Aku jawab, yaaa…
Pertama, dek Mira ini fiktif, kok... tapi emang nggak sepenuhnya fiktif. Ada hal-hal yang juga melekat sama aku sebagai penulisnya. Kayak diabetes itu sendiri, aku pernah kena (tapi beda tipe sama apa yang diidap Mira). Aku juga suka banget sama rumball, sayangnya ibuku sih nggak suka bikinin itu ya, hehe...
Motivasi bikin cerita tentang Mira sebenarnya pengin kasih tau kalo ada lho orang yang kena diabetes dari kecil dan gimana mereka jalani hari-nya yang nggak bebas kayak anak-anak pada umumnya.
Reviewer: Kedua, ide tentang Mira ini sudah muncul dari tahun 2015 lalu. Boleh diceritakan tidak, apa yang menghambat Kak Gita dalam menulis cerita Mira hingga tahun terbitnya Agustus kemarin loh????
Kak Gita: Yang menghambat penulisan Mira lebih ke konsisten dalam menulisnya sih, Kak...awalnya juga masih mencari-cari mau dari sudut pandang mana, konfliknya apa nih yang mau dibangun. Terus ya, kedistrak sama kegiatan sebagai budak korporat (hahahah #alasan). Baru di 3 tahun terakhir bisa lebih tekun dan benar-benar meniatkan Mira untuk sampai ke kata tamat.
Reviewer: Ketiga, boleh dibilang cerita Mira ini effort banget risetnya, ya. Terutama riset mengenai diabetes pada anak. Terlebih, keluarga Kak Gita punya keturunan diabetes. Lantas, apa yang ingin kakak sampaikan kepada pembaca mengenai diabetes?
Kak Gita: Yang mau aku sampaikan itu tadi sih, bahwa diabetes itu bisa menyerang bahkan dari mulai masih anak-anak. Dan diabetes itu ada beberapa tipe. Bisa dibilang yang Mira punya memang bawaan dari lahir, makanya dia bergantung banget sama insulin.
Selain itu, aku juga ingin mengangkat isu hubungan antara orang tua sama anak, mungkin khususnya ibu dan anak ya. Bahwa sebenarnya dua pihak ini sama-sama struggle sama dirinya masing-masing, tapi pada akhirnya kalo mau terbuka, bisa kok saling memahami.
Reviewer: Keempat, masuk ke isi cerita Mira. Apa sih tujuan kakak menulis bagian "Labirin Irene?".
Kak Gita: Kenapa ada selipan bab ‘Labirin Irene’. Ini nyambung sama yang ketiga tadi. Aku ingin memberikan sudut pandang seorang ibu juga. Ada hal-hal yang mungkin nggak diketahui dengan POV Mira, bisa (sedikit) tergambarkan melalui Irene sebagai ibunya. Juga (mudah-mudahan) sih bisa ditangkap bahwa sebagai orang tua, dalam hal ini, ibu, mereka juga mengalami banyak pergolakan batin.
Reviewer: Kelima, sekaligus pertanyaan terakhir, Kak Gita ini mengikuti banyak kelas-kelas menulis. Praktis dapat banyak ilmu dan pengalaman. Pertanyaan saya, mengapa Kak Gita lebih memilih menerbitkan cerita Mira melalui penerbit Indie?
Kak Gita: Aku memilih menerbitkan Mira melalui penerbit indie karena udah lama sih sebenarnya ingin nerbitin buku, khususnya lewat Ellunar Publisher. Dulu beberapa kali ikut lomba yang diadakan Ellunar waktu baru awal-awal berdiri, terus tahu mereka menerbitkan buku juga, jadi suatu hari kalo aku bikin novel, mau deh di Ellunar.
Kesempatan untuk terbitnya juga lebih besar dibandingkan lewat penerbit mayor. Mungkin ini sedikit personal dan dalem ya, kak: menulis Mira itu alasanku lanjutin hidup di 2023 ini sih, hehe (aku lagi dalam tahap pemulihan dari depresi). Jadi, aku nggak tau kapan lagi mungkin akan bikin buku, jadi yaaa.. pengin memberikan legasilah gitu. Minimal, bikin yang bacanya merasa ada teman :)
-
Penulis novela Mira dan Hari-harinya yang Biasa dapat disapa melalui laman Instagram @ismajenie.
BACA JUGA: Review Buku Tentang