Review Buku Goresan Jiwa Karya Evi Kareviati
Human's soul is so complicated.
Jiwa manusia bukan sekadar kumpulan emosi, hasrat, atau impian. Jalaludin Rumi menerangkan, jiwa manusia terdiri atas tiga bagian: Jiwa Agung, Jiwa Manusiawi, dan Jiwa kebinatangan. Luar biasa bukan?
Our soul is so magical.
Perihal jiwa manusia itulah yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika membaca judul buku Goresan Jiwa. Saya jadi membayangkan, apa yang telah dialami jiwa penulis sebelum ia menuliskan catatan di buku ini? Saya yakin, ini bukanlah kejadian sembarangan.
Untuk mengenal lebih dalam buku Goresan Jiwa karya Evi Kareviati (@merajutmasa), mari simak ulasan berikut.
Jiwa manusia bukan sekadar kumpulan emosi, hasrat, atau impian. Jalaludin Rumi menerangkan, jiwa manusia terdiri atas tiga bagian: Jiwa Agung, Jiwa Manusiawi, dan Jiwa kebinatangan. Luar biasa bukan?
Our soul is so magical.
Perihal jiwa manusia itulah yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika membaca judul buku Goresan Jiwa. Saya jadi membayangkan, apa yang telah dialami jiwa penulis sebelum ia menuliskan catatan di buku ini? Saya yakin, ini bukanlah kejadian sembarangan.
Untuk mengenal lebih dalam buku Goresan Jiwa karya Evi Kareviati (@merajutmasa), mari simak ulasan berikut.
Baca Juga: Review Novel si Burung Penyendiri
Judul: Goresan Jiwa
Review Buku Goresan Jiwa Karya Evi Kareviati
Identitas bukuJudul: Goresan Jiwa
Penulis: Evie Kareviati
Penerbit: Al Mannaf Madia Pustaka
Tahun: Mei, 2023
Isi: 144 hlm
Secara umum, kutipan penulis membingkai motivasi yang realistis bagi pembaca.
Keberadaan Tuhan itu tercermin dalam cinta kasih pengampunan, intuisi, kerendahan hati, dan pengetahuan esortis manusia. Hal ini karena Tuhan sendirilah yang telah membekali manusia dengan akal dan hati.
Pada Goresan Jiwa, penulis membuat kutipan khusus soal akal dan hati manusia,
Memanglah benar, jiwa kebinatangan adalah bagian dari manusia itu sendiri. Namun, manusia memiliki free will atau kehendak bebas.
Dengan akal dan hati, manusia dibekali kemampuan memilih antara condong kepada kebaikan atau kejahatan.
Di buku ini, penulis cukup banyak memuat kata mutiara yang berkaitan dengan esensi ketuhanan. Terdapat kurang lebih dari delapan belas tulisan yang membahas hal itu.
Menurut saya, ini adalah upaya penulis untuk tetap condong kepada kebaikan. Pasalnya, hati atau qalbu manusia merupakan sesuatu yang bersifat spiritual. Hati selalu membutuhkan penyucian dari pengaruh nafsu atau ego kebinatangan.
Dari sekian banyak quotes, salah satu yang paling berkesan di hati saya yaitu berikut ini.
Kebaikan dalam diri penulis membawanya untuk melihat ketidakadilan hidup dari sudut pandang yang bijaksana. Penulis mengaitkannya pada kekuasaan absolut Tuhan: Sang Pemegang Keadilan. Ini menarik.
Alasannya, seringkali manusia terjebak dalam dendam tatkala ia mengalami ketidakadilan hidup. Lebih mudah menyalahkan Tuhan untuk segala hal ketimbang menyadari batasan diri memahami sebuah peristiwa.
Penulis amat menyadari garis kemampuan dirinya kepada takdir. Petunjuk Tuhan adalah kompas. Seperti Google Maps.
Di sisi lain, manusia justru sering lupa meminta petunjuk Tuhan. Seakan-akan mereka tak tak mungkin tersesat menjalani kehidupannya. Sungguh ironis bukan?
Manusia seolah tidak membutuhkan Tuhan untuk setiap kebingungannya. Mereka sering lupa, sejatinya kita semua sedang dalam antrean menuju tujuan terakhir. Tujuan terakhir yang sekaligus menjadi petunjuk pertama.
Sebagai seorang muslim, saya mempercayai konsep husnul khatimah dan suul khatimah dalam kematian. Tak ada satu muslim pun menginginkan kematian yang buruk. Apalagi, juga dikenang dengan buruk setelah kematiannya.
Self legacy tidak bisa dibangun dalam satu malam. Seseorang harus membangun itu sepanjang hidupnya. Hal-hal yang kita pilih, keputusan-keputusan yang kita ambil, semua itu berpengaruh terhadap citra warisan diri yang kita tinggalkan.
Pada buku ini, pembaca akan menemukan banyak kalimat baik. Penulis sangat dermawan memberikan afirmasi positif bagi pembaca.
Membaca buku Goresan Jiwa menurut saya jadi asupan bergizi bagi jiwa kita. Jika ingin membangun legacy yang baik, bukankah kita mesti mendekatkan diri kepada kebaikan juga?
Bukan hanya soal self legacy, mendekatkan diri pada hal positif juga bentuk dari rasa terima kasih pada diri sendiri.
Self legacy yang baik pasti jadi impian semua orang. Akan tetapi, yang terpenting dari itu yakni kebermanfaatan kita kepada makhluk lain.
Seperti buku ini. Kalimat-kalimat yang diabadikan dalam setiap halamannya, akan menjadi legacy sang empunya buku. Pun memberikan manfaat yang besar bagi pembaca.
Penerbit: Al Mannaf Madia Pustaka
Tahun: Mei, 2023
Isi: 144 hlm
Gambaran Umum Buku Goresan Jiwa
Goresan Jiwa karya Evi Kareviati merupakan sebuah buku kumpulan quotes. Penulis memang senang membagikan kutipan yang dibuatnya di status WhatsApp maupun Instagram.Secara umum, kutipan penulis membingkai motivasi yang realistis bagi pembaca.
Tuhan Ada di Dalam Jiwa Kita
Tuhan berada lebih dekat dari yang kita kira. Ia berada dalam jiwa kita. Merujuk pada pernyataan Rumi, Tuhan berada dalam diri manusia lewat Jiwa Agung dan Jiwa Manusiawi.Keberadaan Tuhan itu tercermin dalam cinta kasih pengampunan, intuisi, kerendahan hati, dan pengetahuan esortis manusia. Hal ini karena Tuhan sendirilah yang telah membekali manusia dengan akal dan hati.
Pada Goresan Jiwa, penulis membuat kutipan khusus soal akal dan hati manusia,
Jika hidup hanya sekadar hidup, untuk apa Dia memberi kita akal dan hati?Akal dan hati menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Penulis mempertanyakan, apa gunanya akal dan hati yang diberikan Tuhan ketika kita tidak menggunakannya dalam kehidupan? Tidakkah kita sama saja dengan hewan?
Memanglah benar, jiwa kebinatangan adalah bagian dari manusia itu sendiri. Namun, manusia memiliki free will atau kehendak bebas.
Dengan akal dan hati, manusia dibekali kemampuan memilih antara condong kepada kebaikan atau kejahatan.
Di buku ini, penulis cukup banyak memuat kata mutiara yang berkaitan dengan esensi ketuhanan. Terdapat kurang lebih dari delapan belas tulisan yang membahas hal itu.
Menurut saya, ini adalah upaya penulis untuk tetap condong kepada kebaikan. Pasalnya, hati atau qalbu manusia merupakan sesuatu yang bersifat spiritual. Hati selalu membutuhkan penyucian dari pengaruh nafsu atau ego kebinatangan.
Dari sekian banyak quotes, salah satu yang paling berkesan di hati saya yaitu berikut ini.
Dunia seringkali menunjukkan ketidakadilan. Itulah sebabnya mengapa Dia siapkan hari pengadilan. Dia akan tunjukkan segala kebenaran itu nantiSaya setuju dengan penulis. Impian manusia tentang hidup penuh keadilan di masa ini agaknya memang terlalu utopis. Kita mesti menerima itu. Sekaligus menerima keterbatasan pengetahuan manusia kepada hidup itu sendiri.
Kebaikan dalam diri penulis membawanya untuk melihat ketidakadilan hidup dari sudut pandang yang bijaksana. Penulis mengaitkannya pada kekuasaan absolut Tuhan: Sang Pemegang Keadilan. Ini menarik.
Alasannya, seringkali manusia terjebak dalam dendam tatkala ia mengalami ketidakadilan hidup. Lebih mudah menyalahkan Tuhan untuk segala hal ketimbang menyadari batasan diri memahami sebuah peristiwa.
Penulis amat menyadari garis kemampuan dirinya kepada takdir. Petunjuk Tuhan adalah kompas. Seperti Google Maps.
Petunjuk-Nya ibarat Google Maps yang akan memandu ke mana kita harus berjalan.Menurut saya, ini perumpamaan yang eksentrik. Untuk mencapai tempat baru, kita selalu berjaga-jaga. Google Maps diandalkan agar kita tak tersesat.
Di sisi lain, manusia justru sering lupa meminta petunjuk Tuhan. Seakan-akan mereka tak tak mungkin tersesat menjalani kehidupannya. Sungguh ironis bukan?
Manusia seolah tidak membutuhkan Tuhan untuk setiap kebingungannya. Mereka sering lupa, sejatinya kita semua sedang dalam antrean menuju tujuan terakhir. Tujuan terakhir yang sekaligus menjadi petunjuk pertama.
Hidup adalah perkara antrean. Kita semua memiliki nomor urut panggilan untuk menghadap-Nya. Sayangnya kita tak pernah tahu berapa nomor antrean kita.
Human’s Self Legacy
Hanya ada dua kemungkinan ketika kita meninggal; orang-orang berbahagia dengan kepergian kita, atau orang-orang berduka karenanya.Kata-kata dari penulis memantik pemikiran, “Seperti apa saya ingin dikenang ketika telah tiada nanti?”.
Sebagai seorang muslim, saya mempercayai konsep husnul khatimah dan suul khatimah dalam kematian. Tak ada satu muslim pun menginginkan kematian yang buruk. Apalagi, juga dikenang dengan buruk setelah kematiannya.
Self legacy tidak bisa dibangun dalam satu malam. Seseorang harus membangun itu sepanjang hidupnya. Hal-hal yang kita pilih, keputusan-keputusan yang kita ambil, semua itu berpengaruh terhadap citra warisan diri yang kita tinggalkan.
Pada buku ini, pembaca akan menemukan banyak kalimat baik. Penulis sangat dermawan memberikan afirmasi positif bagi pembaca.
Membaca buku Goresan Jiwa menurut saya jadi asupan bergizi bagi jiwa kita. Jika ingin membangun legacy yang baik, bukankah kita mesti mendekatkan diri kepada kebaikan juga?
Bukan hanya soal self legacy, mendekatkan diri pada hal positif juga bentuk dari rasa terima kasih pada diri sendiri.
Kita telah melalui berkali-kali kecewa, berkali-kali marah, berulang kali sedih. Dan kini kita sudah berada di titik ini. Maka berterimakasihlah kepada diri sendiri.Banyak yang telah kita alami. Berbaik hatilah pada diri sendiri sebagai wujud terima kasih. Know your time. You don’t have to push your self everytime. Jika merasa lelah, kita bisa berhenti sejenak.
Berhentinya kita bukan tanda kita menyerah. Kita hanya butuh jeda, sesaat.Pada akhirnya, sebaik apapun kita berusaha menjadi orang baik, akan selalu ada seseorang yang tak menyukai kita. That’s okay. We can’t please all please none. Penting bagi kita untuk mengambil jeda.
Self legacy yang baik pasti jadi impian semua orang. Akan tetapi, yang terpenting dari itu yakni kebermanfaatan kita kepada makhluk lain.
Seperti buku ini. Kalimat-kalimat yang diabadikan dalam setiap halamannya, akan menjadi legacy sang empunya buku. Pun memberikan manfaat yang besar bagi pembaca.
Baca Juga: Review Novel Pencarian di Esmeraldas
Fenomena yang saya maksud yaitu cybersastra atau sastra cyber. Secara sederhana, sastra cyber merupakan aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet. Fenomena ini mulai muncul sekitar tahun 1990-an, ketika era komputer dan internet mulai berkembang.
Sebagai sebuah produk kebudayaan, karya sastra tak bisa melepaskan diri dari perkembangan zaman. Keberadaan internet seolah memberikan iklim kebebasan yang hakiki, tanpa sensor. Semua boleh memajang karyanya dan semua orang juga boleh mengapresiasinya dari berbagai penjuru di dunia.
Meski berawal dari status WhatsApp dan laman Instagram, Goresan Jiwa bagi saya layak disebut sebagai sebuah karya sastra.
Kita lupakan bentuk pakem karya-karya sastra yang kita tahu selama ini. Sastra sendiri berkembang lebih luas. Batasan-batasan teks itu bolehlah sekadar policy tanpa membatasi ekspresi penulisnya.
Terlepas dari tempat mana ia berasal, sebuah karya adalah seorang anak dalam sebuah kelahiran. Saat karya lahir, ia membawa serta jiwa penulisnya. Jenama Goresan Jiwa, saya yakin bukanlah sekadar nama. Sebagaimana yang penulis katakan.
Seperti namanya, Goresan Jiwa benar-benar memberikan ‘goresan’ baik untuk pembacanya. Kutipan-kutipan pada buku ini disampaikan secara lugas dan mudah dipahami. Tidak rumit. Tidak berusaha tampil begitu filosofis. Justru dengan gaya tulisan seperti itu, saya malah belajar untuk tetap rendah hati.
Tak semua hal rumit itu keren. Tidak perlu ndakik-ndakik untuk dianggap intelek. Ucapan sederhana yang penuh kasih lebih sering kita perlukan untuk memberi makna yang intim. Begitulah Goresan Jiwa sebagai sebuah buku.
Buku karya Evi Kareviati menurut saya mendeskripsikan bagaimana tujuan sebuah teks sastra. Teks sastra diperuntukkan sebagai pedoman, maka ia hendaknya berisi kebajikan bagi para pembacanya.
Hal-hal yang saya cantumkan pada gambaran umum hanya sekelumit kecil dari hal bermanfaat pada buku ini. Ada lebih banyak yang dapat kita ambil di sana.
Buku Goresan Jiwa saya pandang sebagai sebuah self legacy penulis. Tak peduli seberapa pintar kita, kalau kata Pramoedya Ananta Toer, jika tidak menulis maka kita akan hilang dari peradaban.
Upaya tersebut sangat patut kita apresiasi. Apalagi, jika karya tersebut berdampak maslahat terhadap jiwa pembaca.
Evi Kareviati: Tulisan di status WA hanya akan bertahan selama 24 jam, lalu ia hilang tak berbekas. Instagram pun tak semua orang memilikinya. Bila orang tak punya kuota? Bagaimana bisa baca? Maka mengumpulkan quotes dalam sebuah buku menjadi cara lain agar bisa lebih tersimpan sekaligus tersebar pada mereka yang tak punya media sosial.
Reviewer: Saya sangat terkesan dengan kutipan “Dunia seringkali menunjukkan ketidakadilan. Itulah sebabnya mengapa Dia siapkan hari pengadilan. Dia akan tunjukkan segala kebenaran itu nanti”. Saya penasaran, bagaimana trik Kakak menghadapi ketidakadilan yang diberikan hidup kepada kita?
Evi Kareviati: Ketidakadilan harus dihadapi dengan kesabaran. Karena sejatinya semua peristiwa pasti mengandung pelajaran yang ingin Dia berikan. Bahkan bisa jadi yang kita rasakan bukan ketidakadilan, tapi 'kasih sayang' Allah pada kita.
Reviewer: Banyak quotes yang menurut saya sangat relatable bagi pembaca. Bagaimana proses kreatif Kakak hingga mendapatkan inspirasi untuk menulis kutipan-kutipan tersebut? Apakah itu berdasarkan pengalaman pribadi atau pengamatan terhadap orang lain?
Evi Kareviati: Hampir semua kutipan berasal dari pengalaman pribadi dan pengalaman/pengamatan orang lain. Hanya porsinya lebih banyak ke pengalaman sendiri.
Reviewer: Di antara semua kutipan yang Kak Evi tulis, adakah salah satunya yang menjadi prinsip hidup Kak Evi? Boleh dijelaskan alasannya?
Evi Kareviati: Ada. Kutipan di hal 9. "Hidup bukan untuk menunggu mati, tapi untuk berbekal menuju alam keabadian". Bagaimanapun hidup bukan untuk rebahan, tapi seharusnya sibuk mengumpulkan bekal pulang.
Reviewer: Saya membaca pada biodata penulis, ayahanda Kak Evi menjadi salah satu faktor Kak Evi gemar menulis. Boleh ceritakan bagaimana pengalaman pribadi Kak Evi mengenal dunia tulis menulis dari Ayahanda hingga akhirnya menerbitkan buku? Kami sangat ingin tahu sosok ayahanda yang sangat menginspirasi ini.
Evi Kareviati: Sebetulnya saya tidak belajar langsung dari beliau. Karena beliau wafat di saat saya masih SMP. Tapi ada karya beliau yang diwariskan, baik artikel di surat kabar maupun buku dan ini menjadi inspirasi bahwa karya bisa bertahan lebih lama, walau sosok penulisnya sudah tiada.
-
Penulis buku Goresan Jiwa dapat kamu sapa melalui laman Instagram @merajutmasa.
Reviewer: Lupy Agustina.
Pandangan Reviewer tentang Buku Goresan Jiwa karya Evi Kareviati
Ungkapan penulis tentang kebiasaannya membagikan quotes pada status WhatsApp dan di laman Instagram mengingatkan saya pada sebuah fenomena unik.Fenomena yang saya maksud yaitu cybersastra atau sastra cyber. Secara sederhana, sastra cyber merupakan aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet. Fenomena ini mulai muncul sekitar tahun 1990-an, ketika era komputer dan internet mulai berkembang.
Sebagai sebuah produk kebudayaan, karya sastra tak bisa melepaskan diri dari perkembangan zaman. Keberadaan internet seolah memberikan iklim kebebasan yang hakiki, tanpa sensor. Semua boleh memajang karyanya dan semua orang juga boleh mengapresiasinya dari berbagai penjuru di dunia.
Meski berawal dari status WhatsApp dan laman Instagram, Goresan Jiwa bagi saya layak disebut sebagai sebuah karya sastra.
Kita lupakan bentuk pakem karya-karya sastra yang kita tahu selama ini. Sastra sendiri berkembang lebih luas. Batasan-batasan teks itu bolehlah sekadar policy tanpa membatasi ekspresi penulisnya.
Terlepas dari tempat mana ia berasal, sebuah karya adalah seorang anak dalam sebuah kelahiran. Saat karya lahir, ia membawa serta jiwa penulisnya. Jenama Goresan Jiwa, saya yakin bukanlah sekadar nama. Sebagaimana yang penulis katakan.
Memberi nama anak bukanlah sekadar terlihat indah, tapi makna di balik nama itu jauh lebih penting, karena ia adalah doa.Saya yakin, ada doa yang disisipkan penulis pada judul buku ini. Sekian banyak quotes yang ditulis Evi Kareviati, saya curigai berasal dari kekayaan batinnya. Semua kutipan yang tercantum di buku ini semacam kristalisasi penulis akan segala peristiwa yang dialami.
Seperti namanya, Goresan Jiwa benar-benar memberikan ‘goresan’ baik untuk pembacanya. Kutipan-kutipan pada buku ini disampaikan secara lugas dan mudah dipahami. Tidak rumit. Tidak berusaha tampil begitu filosofis. Justru dengan gaya tulisan seperti itu, saya malah belajar untuk tetap rendah hati.
Tak semua hal rumit itu keren. Tidak perlu ndakik-ndakik untuk dianggap intelek. Ucapan sederhana yang penuh kasih lebih sering kita perlukan untuk memberi makna yang intim. Begitulah Goresan Jiwa sebagai sebuah buku.
Buku karya Evi Kareviati menurut saya mendeskripsikan bagaimana tujuan sebuah teks sastra. Teks sastra diperuntukkan sebagai pedoman, maka ia hendaknya berisi kebajikan bagi para pembacanya.
Hal-hal yang saya cantumkan pada gambaran umum hanya sekelumit kecil dari hal bermanfaat pada buku ini. Ada lebih banyak yang dapat kita ambil di sana.
Buku Goresan Jiwa saya pandang sebagai sebuah self legacy penulis. Tak peduli seberapa pintar kita, kalau kata Pramoedya Ananta Toer, jika tidak menulis maka kita akan hilang dari peradaban.
Upaya tersebut sangat patut kita apresiasi. Apalagi, jika karya tersebut berdampak maslahat terhadap jiwa pembaca.
Wawancara dengan Penulis
Reviewer: Pada biodata penulis, saya membaca bahwa Kak Evi sering menulis quotes di status WhatsApp dan Instagram. Saya penasaran sekali, apa yang mendorong Kak Evi mengambil keputusan untuk menerbitkan buku kumpulan quotes ini?Evi Kareviati: Tulisan di status WA hanya akan bertahan selama 24 jam, lalu ia hilang tak berbekas. Instagram pun tak semua orang memilikinya. Bila orang tak punya kuota? Bagaimana bisa baca? Maka mengumpulkan quotes dalam sebuah buku menjadi cara lain agar bisa lebih tersimpan sekaligus tersebar pada mereka yang tak punya media sosial.
Reviewer: Saya sangat terkesan dengan kutipan “Dunia seringkali menunjukkan ketidakadilan. Itulah sebabnya mengapa Dia siapkan hari pengadilan. Dia akan tunjukkan segala kebenaran itu nanti”. Saya penasaran, bagaimana trik Kakak menghadapi ketidakadilan yang diberikan hidup kepada kita?
Evi Kareviati: Ketidakadilan harus dihadapi dengan kesabaran. Karena sejatinya semua peristiwa pasti mengandung pelajaran yang ingin Dia berikan. Bahkan bisa jadi yang kita rasakan bukan ketidakadilan, tapi 'kasih sayang' Allah pada kita.
Reviewer: Banyak quotes yang menurut saya sangat relatable bagi pembaca. Bagaimana proses kreatif Kakak hingga mendapatkan inspirasi untuk menulis kutipan-kutipan tersebut? Apakah itu berdasarkan pengalaman pribadi atau pengamatan terhadap orang lain?
Evi Kareviati: Hampir semua kutipan berasal dari pengalaman pribadi dan pengalaman/pengamatan orang lain. Hanya porsinya lebih banyak ke pengalaman sendiri.
Reviewer: Di antara semua kutipan yang Kak Evi tulis, adakah salah satunya yang menjadi prinsip hidup Kak Evi? Boleh dijelaskan alasannya?
Evi Kareviati: Ada. Kutipan di hal 9. "Hidup bukan untuk menunggu mati, tapi untuk berbekal menuju alam keabadian". Bagaimanapun hidup bukan untuk rebahan, tapi seharusnya sibuk mengumpulkan bekal pulang.
Reviewer: Saya membaca pada biodata penulis, ayahanda Kak Evi menjadi salah satu faktor Kak Evi gemar menulis. Boleh ceritakan bagaimana pengalaman pribadi Kak Evi mengenal dunia tulis menulis dari Ayahanda hingga akhirnya menerbitkan buku? Kami sangat ingin tahu sosok ayahanda yang sangat menginspirasi ini.
Evi Kareviati: Sebetulnya saya tidak belajar langsung dari beliau. Karena beliau wafat di saat saya masih SMP. Tapi ada karya beliau yang diwariskan, baik artikel di surat kabar maupun buku dan ini menjadi inspirasi bahwa karya bisa bertahan lebih lama, walau sosok penulisnya sudah tiada.
-
Penulis buku Goresan Jiwa dapat kamu sapa melalui laman Instagram @merajutmasa.
Reviewer: Lupy Agustina.
BACA JUGA: Review Novel Project: INK