Review Buku Oleh-Oleh dari Kyoto karya Hanan Nugroho, dkk

Review Buku Oleh-Oleh dari Kyoto karya Hanan Nugroho

Ada alasan tersendiri mengapa saya ingin membaca buku Oleh-Oleh dari Kyoto. Pertama, jujur saja, saya kecanduan tulisan-tulisan Hanan Nugroho. Sebab, saya lah yang mereview buku Kembara Tiga Benua bulan lalu.

Kedua, dalam sesi wawancara kemarin, Pak Hanan bilang kalau Jepang merupakan negara yang paling disukainya. Sehingga, ketika ia mengirimkan buku Oleh-Oleh dari Kyoto, praktis saya tertarik ingin membaca, sekaligus mereview buku ini.

Ketiga, dugaan saya keliru. Saya pikir buku ini pure ditulis melalui sudut pandang Pak Hanan seorang, namun ternyata ditulis oleh sejumlah orang Indonesia mantan penghuni Kyoto yang menceritakan kehidupan di sana.

Keempat, dari judul, buku yang ditulis oleh Hanan Nugroho dkk ini memang identik sekali dengan Negara Jepang. Terlihat dari kata “Kyoto” dan sampul bukunya.

Namun, yang menjadi atensi saya sebenarnya lebih kepada, Kyoto ini apa? Sebagus apa kota ini? Bukankah kota yang paling terkenal di Jepang adalah Tokyo, sebab ibu kota?

Dengan ditulisnya buku ini oleh beberapa penulis, tentu menjadi keasyikan tersendiri bagi saya sebagai pembaca. Bahkan, sebelum membuka lembar pertama, saya sudah yakin, pasti saya bakal mendapatkan insight-insight baru lagi, sama halnya ketika membaca buku Kembara Tiga Benua.

Baik, untuk mengetahui gambaran umum buku Oleh-Oleh dari Kyoto, simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Review Buku Sekadar Ilusi Kehidupan

Review Buku Oleh-Oleh dari Kyoto karya Hanan Nugroho, dkk

Deskripsi Buku

Judul: Oleh-Oleh dari Kyoto
Pengarang: Hanan Nugroho, Iwan Saskiawan. , Laretna T. Adishakti (Sita), Leni Sophia Heliani, Mex Wahab, Rini Purnama Sari, Wahyu Prasetyawan, Rahaju Sajuri Irawan
Penerbit: One Peach Media
ISBN: 978-623-4830-040
Tebal: 220 halaman

Buku Oleh-Oleh dari Kyoto berisi sepuluh tulisan. Tiap tulisan memuat cerita unik dari masing-masing penulis yang berjumlah delapan orang. Buku ini tidak mengandung informasi-informasi terbaru. Sebab, Kyoto tidak dikenal sebagai kota pembawa tren. Justru, hal-hal kuno dan antik di kota inilah yang menjadi kekuatannya.

Rini Purnama Sari, adalah penulis pertama yang membuka tulisan pada buku ini. Ia bercerita sekaligus memenuhi rasa penasaran saya, bahwa Kyoto ternyata kota tua. Bukan kota modern layaknya Osaka dan Tokyo. Bahkan, Kyoto merupakan Ibu Kota Jepang pada zaman dulu. Tepatnya dari tahun 974 sampai 1868.

Sebagai kota tua, Rini bilang kalau dirinya jarang menjumpai bangunan yang tinggi menjulang di Kyoto. Kota ini pun jauh dari suasana metropolitan.

Jika perlu disamakan dengan salah satu kota di Indonesia, Kyoto mirip Yogyakarta. Tentu sama-sama kota tua dan antik. Terlebih, sama-sama kota pelajar.

Satu hal yang membikin saya sumringah dari tulisan Rini Purnama Sari ialah ketika ia membahas sepeda. Katanya, sepeda sudah menjadi alat transportasi yang wajib dimiliki. Banyak mahasiswa di Kyoto yang mengendarai sepeda.

Alasan saya sumringah karena bersepeda merupakan hobi saya. Saya membayangkan, betapa serunya, ya, andai saya bersepeda di Kyoto. Duh!

Dalam tulisan pertamanya, Rini membahas tentang sekelumit pembagian wilayah Jepang. Jelas, saya dapat insight baru.

Terus, ia menceritakan juga Jalan Imadegawa dan perempatan Hyakumanben. Lalu mendeskripsikan lokasi bersejarah di sekitar Universitas Kyoto (kampusnya), yaitu Higashi Ichijo, Yoshida. Dan diakhiri dengan cerita tentang Jalan Higashifuji.

Intinya, banyak hal menarik yang disampaikan oleh Rini di sekitar kampusnya. Itu sebabnya, tulisan pertamanya diberi judul “Menelusuri Sejarah dan Budaya Jepang di Sekitar Kampus Universitas Kyoto”.

Lanjut ke tulisan kedua berjudul “Hilang untuk Kembali” yang ditulis oleh Rahaju Sajuri Irawan. Di balik judul, penulis menceritakan pengalaman kehilangan dompet dan sepeda, namun kedua barangnya dapat kembali lagi.

Lewat tulisan ini, saya mendapatkan pengetahuan baru bahwa ternyata, kebiasaan orang Jepang kerap memberikan bingkisan sebagai tanda terima kasih kepada orang yang telah mengembalikan barang hilang.

Dengan gaya penulisan story telling, Rahaju Sajuri Irawan sukses mengemas cerita pendeknya dengan apik dan juga lucu. Lucu sekali.

Well, gimana sih rasanya sekolah sambil momong bocah di Kyoto? Coba tanyakan saja kepada Iwan Saskiawan, penulis ketiga di buku ini.

Iwan bercerita panjang-lebar kegiatan momong anak (dan istri) selama sekolah di Kyodai. Dan yang menarik dari ceritanya adalah ketika dirinya membuat tempe di Kyoto dengan menggunakan ragi tempe dari Indonesia. Wajar, profesinya memang sebagai peneliti di bidang mikrobiologi pangan.

Nah, tiap Iwan pulang dari lab, malam harinya langsung merebus kedelai, mengupas kulit, menambahkan ragi, dan memfermentasi kedelai menjadi tempe. Alhasil, tempe buatannya laris. Dan karena alasan itulah yang mendasari “Warteg Bimo” didirikannya.

Relevan sekali, ya, profesi dengan usaha yang dibangun Pak Iwan di Kyoto?

Pada tulisan keempat, sekaligus tulisan kedua Rini Purnama Sari, ia ngasih nuansa baru.

Rini tidak menceritakan tempat-tempat di sekitar kampusnya lagi, tapi lebih kepada merekomendasikan tempat-tempat di Kyoto yang mesti dikunjungi dengan bus kota. Baik itu ketika musim semi, panas, gugur, dan dingin.

Saya, tentu menggeleng-gelengkan kepala membaca tulisan Rini Purnama Sari yang informatif banget. Lengkap dengan tabel, dokumentasi, dan informasi tata tertib saat naik bus kota di Jepang. Wajar memang bisa sekomplit itu. Sebab, perempuan ini sudah belasan tahun hidup di Jepang.

Tulisan kelima, plus tulisan terakhir yang dapat saya deskripsikan, sekaligus juga tulisan favorit saya, ditulis oleh Wahyu Prasetyawan. Tulisannya diberi judul “Bersepeda di Kyoto”. Simple, namun sangat memukau bagi saya.

Tulisan Pak Wahyu dibuka dengan pertanyaan menohok (setidaknya bagi saya) saat dirinya tiba pertama kali di Kyoto, “Apakah sudah punya sepeda?”.

Jepang luar biasa memang. Negara Matahari Terbit ini benar-benar mementingkan kesehatan bagi penduduknya. Terlebih, sepeda terbilang membantu untuk ngirit pengeluaran jika dibandingkan dengan mobil yang notabennya biaya parkir cukup tinggi di negara ini.

Wahyu menceritakan kisah hidupnya selama di Kyoto dengan bersepeda. Banyak tempat atau jalan yang tentu telah dilaluinya, dilengkapi juga dengan suasana dan pemandangan menarik di kota ini. Beberapa kalimat yang dituliskan oleh penulis yang satu ini membuat saya ikut merasakan indahnya kota Kyoto, seperti:

“Bersepeda di Tetsugaku no Michi pada musim bunga sakura amat menyenangkan”.

“Cara yang paling baik menikmati pemandangan, apalagi musim bunga Sakura, adalah dengan bersepeda pelan-pelan di halaman istana.”

Wah! Terasa menyenangkan betul, sih, membayangkannya.

Nah, ada satu insight baru yang saya dapat dari tulisan Pak Wahyu, yakni Pemerintah Kyoto menetapkan setiap sepeda harus memiliki nomor registrasi. Nomor ini semacam STNK kalau di Indonesia.

Dengan nomor tersebut, apabila sepeda hilang karena dicuri, maka tinggal melapor ke kantor polisi terdekat saja dengan membawa nomor registrasinya.

Unik, ya?

Berikut lima judul tulisan lainnya dalam buku Oleh-Oleh dari Kyoto:

Baca Juga: Review Buku Kota dan Depresi

Berburu Loak Artistik di Kyoto – Laretna T. Adhisakti (Sita)

Esensi dari tulisan ini, penulis berbagi pengalaman tentang pilihan loak artistik yang disukainya. Sita-sensei memperlihatkan pemburuannya di Bazar Kyoto.

Maaf, Jam Berapa Sekarang? – Rahaju Sajuri Irawan

Penulis membahas soal makanan. Dan kamu bakal tahu kebiasaan orang Jepang saat menyeruput mie berkuah.

Menyelesaikan Hakase-ronbun Sambil Punya Momongan dan Arubaito: Cinta Antara Kyoto dan Umea – Leni Sophia Heliani

Penulis menceritakan kisah LDR-an dengan suaminya yang tinggal jauh di Umea, Swedia. Sementara dirinya sedang menyelesaikan gelar doktor (Hakase-ronbun) di Kyoto. Pengalaman penulis terbilang unik! Sumpah!

Pulang – Mex Wahab

Mex Wahab adalah penulis yang selalu ingin pulang ke Kyoto. Bahkan, kecintaan Mex terhadap kota ini membuatnya berhasil menulis novel tebal berjudul Kembang Api Kyoto.

Di Tepian Sungai Bebek – Hanan Nugroho

Hanan bercerita sungai-sungai yang pasti akan selalu dikenangnya. Hanan menuliskan apapun yang ada di sekitar sungai. Ia melepaskan rindu pada kota Kyoto dengan cara tersebut.

Pandangan Reviewer Terhadap Buku Oleh-Oleh dari Kyoto

To be honest, salah satu kriteria buku yang paling saya sukai adalah buku-buku yang ditulis berdasar pengalaman pribadi. Plus, latar ceritanya berada di luar negeri. Sudah banyak di blog ini, baik itu novel atau buku non-fiksi yang saya review dengan kriteria buku tersebut.

Buku Oleh-Oleh dari Kyoto, termasuk salah satu buku pengalaman hidup yang saya anggap: favorit lah. Ini bukan karena Pak Hanan sudah mempercayakan buku-bukunya direview oleh Media Penulis Garut.

Namun, lebih dari itu, gaya penulisan dalam buku ini mudah dipahami. Di dalam kata pengantar, sekarang saya percaya, benar bahwa orang-orang yang menulis buku Oleh-Oleh dari Kyoto sudah 'matang', bukan ditulis oleh anak-anak milenial atau generasi Z seperti saya.

Yang menariknya lagi adalah kosakata-kosakata bahasa Jepang yang sengaja disisipkan dalam buku ini dapat dipahami dengan gampang karena terdapat catatan kaki.

Selain nikmatnya menelusuri halaman demi halaman, saya juga sedikitnya belajar bahasa Jepang dari kosakata tersebut, seperti senpai (senior), oshiire (toilet), koban (pos polisi), dan tentu masih banyak lagi.

Layaklah buku ini dijadikan sebagai panduan untuk orang-orang yang ingin berkunjung ke Kyoto, atau mungkin untuk belajar bahasa Jepang.

Untuk memimang buku ini, silakan sapa penulis melalui Instagram @hanannugroho68.

Sekian.

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url