Review Buku Tokoh Utama karya Ronald Airlangga
Pertanyaan ini template banget. Dan rata-rata, entah jujur atau tidak, mereka selalu menjawab bahwa, kisah tokoh utama dalam novelnya pure fiktif atau murni hasil imajinasi.
Membaca jawaban mereka, saya cenderung tidak puas sebenarnya. Bahkan suka membatin, apa susahnya sih berterus terang? Lagipula, kalau cerita benar-benar diambil dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, berarti katakan lah mereka berhasil menciptakan karakter novel layaknya manusia beneran.
Rasa tidak puas atas jawaban 'pure fiktif lah atau murni hasil berimajinasi lah', tentu membingungkan saya. Bingung harus bagaimana saya menanggapi jawaban tersebut. Jika tidak ditanggapi atau didiamkan saja, kapan saya bakal merasa puas saat dihadapkan dengan jawaban seperti itu?
Lewat buku Tokoh Utama lah, saya akhirnya mendapatkan pandangan baru tentang kepentingan dari sebuah cerita fiksi. Bahwa, baik itu dalam novel atau film, bukanlah fiksi "belaka" karena fiksi tidak pernah "belaka". Justru, pada proses menulis cerita, penulis fiksi pasti berkonsultasi dari pengalaman-pengalaman yang sudah terekam pada diri mereka atau pengalaman orang lain.
Lalu pengalaman tersebut dijadikan sebagai referensi bagaimana karakter-karakter yang mereka tulis harus bereaksi, bersikap, dan bertindak pada suatu kejadian. Situasinya boleh saja sebuah khayalan, tapi energi dan jiwa pasti dari cerita nyata, alias diambil berdasar realitas manusia.
Setidaknya, pandangan baru yang saya dapati dari buku Tokoh Utama akan saya gunakan untuk menanggapi jawaban para penulis fiksi. Barangkali dengan nge-capture dua paragraf di atas, lalu dikirimkan ke mereka misalnya.
Baca Juga: Review Buku Living on the ‘G’-Spot
Membaca jawaban mereka, saya cenderung tidak puas sebenarnya. Bahkan suka membatin, apa susahnya sih berterus terang? Lagipula, kalau cerita benar-benar diambil dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, berarti katakan lah mereka berhasil menciptakan karakter novel layaknya manusia beneran.
Rasa tidak puas atas jawaban 'pure fiktif lah atau murni hasil berimajinasi lah', tentu membingungkan saya. Bingung harus bagaimana saya menanggapi jawaban tersebut. Jika tidak ditanggapi atau didiamkan saja, kapan saya bakal merasa puas saat dihadapkan dengan jawaban seperti itu?
Lewat buku Tokoh Utama lah, saya akhirnya mendapatkan pandangan baru tentang kepentingan dari sebuah cerita fiksi. Bahwa, baik itu dalam novel atau film, bukanlah fiksi "belaka" karena fiksi tidak pernah "belaka". Justru, pada proses menulis cerita, penulis fiksi pasti berkonsultasi dari pengalaman-pengalaman yang sudah terekam pada diri mereka atau pengalaman orang lain.
Lalu pengalaman tersebut dijadikan sebagai referensi bagaimana karakter-karakter yang mereka tulis harus bereaksi, bersikap, dan bertindak pada suatu kejadian. Situasinya boleh saja sebuah khayalan, tapi energi dan jiwa pasti dari cerita nyata, alias diambil berdasar realitas manusia.
Setidaknya, pandangan baru yang saya dapati dari buku Tokoh Utama akan saya gunakan untuk menanggapi jawaban para penulis fiksi. Barangkali dengan nge-capture dua paragraf di atas, lalu dikirimkan ke mereka misalnya.
Baca Juga: Review Buku Living on the ‘G’-Spot
Review Buku Tokoh Utama karya Ronald Airlangga
Deskripsi BukuJudul: Tokoh Utama
Penulis: Ronald Airlangga
Tebal: 176 halaman
Ukuran: 14 x 20cm
ISBN: 978-623-385-312-5
Pada bagian pembuka atau prolog, penulis buku ini melayangkan sebuah pertanyaan kepada pembaca. Katanya, apa yang muncul di benak kita ketika mendengar istilah "Tokoh Utama"?. Tentu, bagi saya, sebagai pengulas buku, istilah tersebut erat kaitannya dengan cerita novel.
Tokoh utama merupakan pemeran sentral dalam cerita novel. Ia diberi peran terbaik dalam hidupnya. Ia kemudian akan menghadapi tantangan, merasakan kebahagiaan, penderitaan, konflik dengan tokoh lain, konflik dengan batin sendiri, dan lain sebagainya.
Istilah “Tokoh Utama” pun bukan hanya berkaitan dengan cerita novel saja, tapi di dalam hidup kita, jelas kita sendiri lah yang berperan sebagai tokoh utama. Sedangkan orang lain dianggap sebagai ‘figuran’ dalam cerita hidup kita.
Sebagai tokoh utama, mari sepakati bahwa kita, sudah pasti mendambakan yang namanya kesuksesan. Namun, banyak hambatan untuk menggapai kesuksesan tersebut.
Dalam buku Tokoh Utama, satu hal yang disorot penulis terkait hambatan tokoh utama dalam mencapai kesuksesan. Adalah tidak mau mengakui kesalahan dalam konteks tidak jujur pada diri sendiri.
Penulis: Ronald Airlangga
Tebal: 176 halaman
Ukuran: 14 x 20cm
ISBN: 978-623-385-312-5
Pada bagian pembuka atau prolog, penulis buku ini melayangkan sebuah pertanyaan kepada pembaca. Katanya, apa yang muncul di benak kita ketika mendengar istilah "Tokoh Utama"?. Tentu, bagi saya, sebagai pengulas buku, istilah tersebut erat kaitannya dengan cerita novel.
Tokoh utama merupakan pemeran sentral dalam cerita novel. Ia diberi peran terbaik dalam hidupnya. Ia kemudian akan menghadapi tantangan, merasakan kebahagiaan, penderitaan, konflik dengan tokoh lain, konflik dengan batin sendiri, dan lain sebagainya.
Istilah “Tokoh Utama” pun bukan hanya berkaitan dengan cerita novel saja, tapi di dalam hidup kita, jelas kita sendiri lah yang berperan sebagai tokoh utama. Sedangkan orang lain dianggap sebagai ‘figuran’ dalam cerita hidup kita.
Sebagai tokoh utama, mari sepakati bahwa kita, sudah pasti mendambakan yang namanya kesuksesan. Namun, banyak hambatan untuk menggapai kesuksesan tersebut.
Dalam buku Tokoh Utama, satu hal yang disorot penulis terkait hambatan tokoh utama dalam mencapai kesuksesan. Adalah tidak mau mengakui kesalahan dalam konteks tidak jujur pada diri sendiri.
Contoh, ketika kita dikoreksi orang lain, dalam hati kecil kita sadar bahwa koreksi tersebut benar, tetapi kita menolak daripada menerima koreksi dengan lapang dada. Atau mungkin kita malah menyangkal dan mencari alasan guna menyelamatkan gengsi, juga harga diri.
Bagaimana? Dari pembuka artikel ini hingga satu hal yang di-highlight penulis tentang ‘tidak mau mengakui kesalahan’, apakah kamu tertarik untuk membaca buku Tokoh Utama?
Ronald mengenalkan juga pola tradisional. Dan masih memparafrasakan dari penjelasan Robert McKee, bahwa pola ini senada dengan cara manusia memandang diri sendiri, dunia di sekitar, serta alur hidup. Pola tradisional merupakan cerminan dari cara manusia merunutkan sebab-akibat dalam segala sesuatu.
Apa yang menarik perhatian saya pada bab 1?
Adalah penulis mengilustrasikan pola tradisional dengan mengenalkan tiga karakter fiktif: Devi, Surya, dan Robert. Ketiganya memiliki keinginan-keinginan, dan kecemasan-kecemasan yang mewakili realitas kita sebagai seorang individu. Ketiganya juga melalui 11 babak kehidupan di antaranya;
1). Status quo
2). Call to adventure
3). Refusal of the call
4). Meeting the mentor
5). Crossing the threshold
6). Test, allies, enemies
7). Approach to the inmost cave
8). The ordeal
9). Reward
10). Resurrection
11). Return with the elixir
Di bab 2, bacaan yang lebih memikat lagi adalah penulis bercerita tentang mitologi Yunani, kemudian menjelaskan hero’s journey versi Joseph Campbell, lalu dilengkapi juga dengan tabel perbandingan antara hero’s journey versi Campbell dengan versi mitologi-mitologi lain.
Dan, 11 babak kehidupan dari ketiga karakter fiktif yang diilustrasikan penulis pada bab pertama, ternyata menggunakan versi Christopher Vogler, dengan sedikit modifikasi.
Tentu saja, tidak elok bagi saya, sebagai reviewer, untuk menjelaskan tesis penulis. Kamu, harus membeli buku ini jika pengin tahu maksud ‘kemuan untuk mengakui kesalahan’.
Puncaknya, di bab empat lah, penulis membahas cara berpikir dan bagaimana kita mampu menumbuhkan hati yang mau mengakui ketika kita melakukan kesalahan.
Berkaitan dengan cara berpikir, saya setuju dengan pernyataan penulis, bahwa berpikir ada caranya dan caranya dapat dipelajari.
Dalam bab ini, saya menduga bahwa alasan penulis mengangkat topik ‘cara berpikir’ pasti karena lewat pikiran lah, umumnya, manusia sering salah. Maka kita mengenal istilah “sesat pikir”.
Dijelaskanlah oleh penulis dua kategori sesat pikir yang serupa, tapi tidak sama, yaitu logical fallacy dan cognitive bias dengan menggunakan pembagian “kepala” dan “hati” dalam proses berpikir.
Lagi dan lagi, untuk memudahkan pembaca dalam memahami pembahasan yang disampaikan penulis, penulis menyajikan contoh dari kedua kategori sesat pikir tersebut dengan mengilustrasikan karakter fiktif.
Kali ini, diambil dari pengalaman sebuah keluarga. Mulai dari bapak, ibu, kakak, dan adik yang dalam keseharian mereka terdapat ‘logical fallacies dan cognitive bias’.
Baca Juga: Review Buku Senandika Aksara Pena
Meski tampak sederhana, namun buku Tokoh Utama tidak sesederhana kesimpulan yang saya buat. Isi buku ini justru mendalam. Sebab, effort penulis dalam menyelesaikan karyanya terhitung besar. Saya bisa merasakan, terbukti dari berbagai referensi yang penulis dapati. Mulai dari kanal YouTube, buku, situs web, dan lain-lain.
Lebih dari itu, pendalaman isi buku dapat saya pahami juga dari tesis yang diambil, “Kemauan untuk mengakui kesalahan”. Bukan hanya argumentasi penulis yang tersaji, tapi lewat cerita mitologi, meluangkan waktu untuk memahami berbagai macam versi dari mitologi-mitologi lain, lalu pembuatan ilustrasi, layak lah buku ini saya anggap; bereffort dan juga mendalam.
Saya tidak peduli, mungkin Ronald Airlangga menganggap karyanya tidak sedalam buku sejenis lainnya. Namun, bagi saya, untuk ukuran karya pertama, buku ini pantas diapresiasi.
Hanya saja, ada satu hal yang bikin saya greget, yaitu mengapa buku Tokoh Utama cuma 176 halaman? Akan lebih baik apabila buku ini “dipanjangkan” lagi.
Bagaimana? Dari pembuka artikel ini hingga satu hal yang di-highlight penulis tentang ‘tidak mau mengakui kesalahan’, apakah kamu tertarik untuk membaca buku Tokoh Utama?
Gambaran Buku Tokoh Utama
Bab I & II
Pada bab 1, Ronald Airlangga memperkenalkan ‘cara bercerita’ dan ‘pola cerita’ manusia sebagai tokoh utama. Dia memparafrasakan hal yang disampaikan oleh Robert McKee, bahwa kata profesor penulisan skenario asal Amerika tersebut, cara bercerita dibagi menjadi tiga kategori yang ia sebut dengan istilah desain klasik, desain minimalis, dan antistruktur.Ronald mengenalkan juga pola tradisional. Dan masih memparafrasakan dari penjelasan Robert McKee, bahwa pola ini senada dengan cara manusia memandang diri sendiri, dunia di sekitar, serta alur hidup. Pola tradisional merupakan cerminan dari cara manusia merunutkan sebab-akibat dalam segala sesuatu.
Apa yang menarik perhatian saya pada bab 1?
Adalah penulis mengilustrasikan pola tradisional dengan mengenalkan tiga karakter fiktif: Devi, Surya, dan Robert. Ketiganya memiliki keinginan-keinginan, dan kecemasan-kecemasan yang mewakili realitas kita sebagai seorang individu. Ketiganya juga melalui 11 babak kehidupan di antaranya;
1). Status quo
2). Call to adventure
3). Refusal of the call
4). Meeting the mentor
5). Crossing the threshold
6). Test, allies, enemies
7). Approach to the inmost cave
8). The ordeal
9). Reward
10). Resurrection
11). Return with the elixir
Di bab 2, bacaan yang lebih memikat lagi adalah penulis bercerita tentang mitologi Yunani, kemudian menjelaskan hero’s journey versi Joseph Campbell, lalu dilengkapi juga dengan tabel perbandingan antara hero’s journey versi Campbell dengan versi mitologi-mitologi lain.
Dan, 11 babak kehidupan dari ketiga karakter fiktif yang diilustrasikan penulis pada bab pertama, ternyata menggunakan versi Christopher Vogler, dengan sedikit modifikasi.
Bab III & IV
Memasuki bab tiga, Ronald Airlangga membeberkan tesis utama dari buku ini. Tentang apa sebenarnya hubungan dari kedua bab sebelumnya dengan pentingnya kemauan untuk mengakui kesalahan.Tentu saja, tidak elok bagi saya, sebagai reviewer, untuk menjelaskan tesis penulis. Kamu, harus membeli buku ini jika pengin tahu maksud ‘kemuan untuk mengakui kesalahan’.
Puncaknya, di bab empat lah, penulis membahas cara berpikir dan bagaimana kita mampu menumbuhkan hati yang mau mengakui ketika kita melakukan kesalahan.
Berkaitan dengan cara berpikir, saya setuju dengan pernyataan penulis, bahwa berpikir ada caranya dan caranya dapat dipelajari.
Dalam bab ini, saya menduga bahwa alasan penulis mengangkat topik ‘cara berpikir’ pasti karena lewat pikiran lah, umumnya, manusia sering salah. Maka kita mengenal istilah “sesat pikir”.
Dijelaskanlah oleh penulis dua kategori sesat pikir yang serupa, tapi tidak sama, yaitu logical fallacy dan cognitive bias dengan menggunakan pembagian “kepala” dan “hati” dalam proses berpikir.
Lagi dan lagi, untuk memudahkan pembaca dalam memahami pembahasan yang disampaikan penulis, penulis menyajikan contoh dari kedua kategori sesat pikir tersebut dengan mengilustrasikan karakter fiktif.
Kali ini, diambil dari pengalaman sebuah keluarga. Mulai dari bapak, ibu, kakak, dan adik yang dalam keseharian mereka terdapat ‘logical fallacies dan cognitive bias’.
Baca Juga: Review Buku Senandika Aksara Pena
Pujian Reviewer untuk Penulis Buku Tokoh Utama
Sederhananya, jika saya ringkas, buku ini menyadarkan fitrah kita menjadi tokoh utama dalam cerita kita sendiri. Layaknya dalam sebuah novel, tokoh utama tidak akan pernah luput dari kesalahan. Menyikapi kesalahan lah yang terbilang sangat krusial bagi kelancaran petualangan hidup kita.Meski tampak sederhana, namun buku Tokoh Utama tidak sesederhana kesimpulan yang saya buat. Isi buku ini justru mendalam. Sebab, effort penulis dalam menyelesaikan karyanya terhitung besar. Saya bisa merasakan, terbukti dari berbagai referensi yang penulis dapati. Mulai dari kanal YouTube, buku, situs web, dan lain-lain.
Lebih dari itu, pendalaman isi buku dapat saya pahami juga dari tesis yang diambil, “Kemauan untuk mengakui kesalahan”. Bukan hanya argumentasi penulis yang tersaji, tapi lewat cerita mitologi, meluangkan waktu untuk memahami berbagai macam versi dari mitologi-mitologi lain, lalu pembuatan ilustrasi, layak lah buku ini saya anggap; bereffort dan juga mendalam.
Saya tidak peduli, mungkin Ronald Airlangga menganggap karyanya tidak sedalam buku sejenis lainnya. Namun, bagi saya, untuk ukuran karya pertama, buku ini pantas diapresiasi.
Hanya saja, ada satu hal yang bikin saya greget, yaitu mengapa buku Tokoh Utama cuma 176 halaman? Akan lebih baik apabila buku ini “dipanjangkan” lagi.
Ini bukan soal pendalaman, tapi lebih kepada: saya yakin, bakal banyak pembaca yang mengkhatamkan buku ini dengan cepat. Paling tidak, dua-tiga hari selesai.
Mari pahami bareng-bareng melalui sesi wawancara, apa tanggapan penulis atas kegregetan saya tersebut?
Jika Mas sependapat dengan saya karena kurang panjang, lantas mengapa kurang panjang? Jika Mas merasa cukup, saya pengen denger 'cukup' atas dasar apa.
Ronald Airlangga: Iya, beberapa orang menyampaikan ke saya kalau bukunya kurang panjang. Mungkin mayoritas pembaca juga merasa demikian. Malah ada yang selesai baca dalam kurun waktu beberapa jam saja.
Pertimbangan saya sebenarnya lebih ke menyampaikan buah pikir saya secara ringkas dan padat, supaya orang-orang yang mungkin tidak biasa membaca sesuatu yang panjang pun masih mau membacanya. Jadi sebenarnya di buku ini saya selalu mencoba mencari jalan tengah, supaya bisa mengakomodir beragam jenis pembaca.
Saya bisa tambahkan elaborasi-elaborasi lagi supaya bukunya lebih panjang, tapi saya pikir esensi dari yang ingin saya sampaikan sudah tersampaikan di buku yang ringkas tersebut. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk kedepannya ada tambahan-tambahan lagi.
Vanesha: Baik, penentuan cover buku Tokoh Utama oleh siapa sih, Mas? Penerbit atau Penulis? Cover bukunya seperti buku fiksi, padahal buku ini self improvement/psikologi. Jika ditentukan oleh penulis, ada alasan tersendiri gambar dalam covernya topeng?
Ronald Airlangga: Penentuan cover dilakukan oleh saya. Saya sampaikan apa yang saya mau, beserta gambar referensi, lalu desainer dari penerbit yang membuatkannya. Alasan penggunaan gambar helm prajurit Spartan seperti itu untuk mengilustrasikan kesan "tokoh utama" yang menjadi tema sentral buku ini.
Vanesha: Oh gitu, lalu referensi buku ini banyak sekali, ya. Mulai dari kanal YouTube, artikel, buku. Lantas, proses menulis buku ini berapa lama dari awal riset, menulis, hingga diterbitkan? Dan, apa saja kesulitan dalam menulis buku Tokoh Utama?
Ronald Airlangga: Untuk proses penulisan kurang lebih memakan waktu 6 bulan. Kesulitannya itu lebih ke memilih gaya dan cara penyampaian. Karena topik yang disampaikan cukup kompleks, saya harus beberapa kali bongkar pasang kalimat dan paragraf supaya apa yang ingin disampaikan bisa tersampaikan dengan bahasa yang tidak terlalu teknis, namun juga tidak terlalu reduktif.
Untuk referensinya yang terlihat banyak, kebetulan topik yang ingin disampaikan memang topik yang sudah lama ada di benak saya, dan referensi-referensi tersebut itu adalah akumulasi dari materi-materi yang selama beberapa tahun terakhir saya baca/dengarkan/tonton. Jadi kumpulan referensi tersebut tidak dipelajari hanya dalam 6 bulan itu.
Vanesha: Next, apa alasan Mas menerbitkan buku Tokoh Utama lewat jalur penerbit indie? Apakah lebih leluasa dalam penjualan buku ini?
Ronald Airlangga: Saya sebenarnya sudah mencoba mengirimkan naskah buku ini ke salah satu penerbit yang saya pikir cocok untuk buku ini. Tapi saya tidak mendapat kabar selama berbulan-bulan, sekadar email penolakan pun tidak ada.
Sedangkan di satu sisi, ada semacam etika tersirat di dunia penerbitan bahwa ketika kita mengirimkan ke satu penerbit, eloknya kita tidak mengirimkan dahulu ke penerbit lain. Itu berarti per kiriman kita harus menunggu beberapa bulan. Andaikata penerbit A, B, C, D menolak, berarti itu semua akan makan waktu tahunan. Karena saya tidak mau menunggu berlama-lama, saya memutuskan untuk melalui jalur indie.
Vanesha: Terakhir nih, sudah sejauh mana proses Mas Ronald untuk menggapai cita-cita ingin menulis novel dan membuat film layar lebar? Kasih bocoran kepada kami haha
Ronald Airlangga: Untuk saat ini, cita-cita menulis novel dan layar lebar masih ditunda, karena saya sedang di dalam zona penulisan materi non-fiksi yang senada dengan Tokoh Utama. Saya sedang dalam proses menulis buku non-fiksi kedua. Mohon doanya, semoga saya bisa cepat menyelesaikannya hahaha.
-
Penulis buku Tokoh Utama dapat kamu sapa melalui Instagram @ronaldairlangga.
BACA JUGA: Review Novel Gemini Everlasting Iris
Mari pahami bareng-bareng melalui sesi wawancara, apa tanggapan penulis atas kegregetan saya tersebut?
Wawancara dengan Ronald Airlangga
Vanesha: Saya merasa buku ini kurang panjang pembahasannya. Kalau mendalam mah sih iya mendalam, tapi jumlah halamannya sedikit gitu. Katakanlah, saya sebenarnya masih haus dan greget. Nah, tanggapan Mas Ronald gimana sebagai penulis buku ini? Merasa kurang panjang juga atau justru Mas menganggap sudah cukup?Jika Mas sependapat dengan saya karena kurang panjang, lantas mengapa kurang panjang? Jika Mas merasa cukup, saya pengen denger 'cukup' atas dasar apa.
Ronald Airlangga: Iya, beberapa orang menyampaikan ke saya kalau bukunya kurang panjang. Mungkin mayoritas pembaca juga merasa demikian. Malah ada yang selesai baca dalam kurun waktu beberapa jam saja.
Pertimbangan saya sebenarnya lebih ke menyampaikan buah pikir saya secara ringkas dan padat, supaya orang-orang yang mungkin tidak biasa membaca sesuatu yang panjang pun masih mau membacanya. Jadi sebenarnya di buku ini saya selalu mencoba mencari jalan tengah, supaya bisa mengakomodir beragam jenis pembaca.
Saya bisa tambahkan elaborasi-elaborasi lagi supaya bukunya lebih panjang, tapi saya pikir esensi dari yang ingin saya sampaikan sudah tersampaikan di buku yang ringkas tersebut. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk kedepannya ada tambahan-tambahan lagi.
Vanesha: Baik, penentuan cover buku Tokoh Utama oleh siapa sih, Mas? Penerbit atau Penulis? Cover bukunya seperti buku fiksi, padahal buku ini self improvement/psikologi. Jika ditentukan oleh penulis, ada alasan tersendiri gambar dalam covernya topeng?
Ronald Airlangga: Penentuan cover dilakukan oleh saya. Saya sampaikan apa yang saya mau, beserta gambar referensi, lalu desainer dari penerbit yang membuatkannya. Alasan penggunaan gambar helm prajurit Spartan seperti itu untuk mengilustrasikan kesan "tokoh utama" yang menjadi tema sentral buku ini.
Vanesha: Oh gitu, lalu referensi buku ini banyak sekali, ya. Mulai dari kanal YouTube, artikel, buku. Lantas, proses menulis buku ini berapa lama dari awal riset, menulis, hingga diterbitkan? Dan, apa saja kesulitan dalam menulis buku Tokoh Utama?
Ronald Airlangga: Untuk proses penulisan kurang lebih memakan waktu 6 bulan. Kesulitannya itu lebih ke memilih gaya dan cara penyampaian. Karena topik yang disampaikan cukup kompleks, saya harus beberapa kali bongkar pasang kalimat dan paragraf supaya apa yang ingin disampaikan bisa tersampaikan dengan bahasa yang tidak terlalu teknis, namun juga tidak terlalu reduktif.
Untuk referensinya yang terlihat banyak, kebetulan topik yang ingin disampaikan memang topik yang sudah lama ada di benak saya, dan referensi-referensi tersebut itu adalah akumulasi dari materi-materi yang selama beberapa tahun terakhir saya baca/dengarkan/tonton. Jadi kumpulan referensi tersebut tidak dipelajari hanya dalam 6 bulan itu.
Vanesha: Next, apa alasan Mas menerbitkan buku Tokoh Utama lewat jalur penerbit indie? Apakah lebih leluasa dalam penjualan buku ini?
Ronald Airlangga: Saya sebenarnya sudah mencoba mengirimkan naskah buku ini ke salah satu penerbit yang saya pikir cocok untuk buku ini. Tapi saya tidak mendapat kabar selama berbulan-bulan, sekadar email penolakan pun tidak ada.
Sedangkan di satu sisi, ada semacam etika tersirat di dunia penerbitan bahwa ketika kita mengirimkan ke satu penerbit, eloknya kita tidak mengirimkan dahulu ke penerbit lain. Itu berarti per kiriman kita harus menunggu beberapa bulan. Andaikata penerbit A, B, C, D menolak, berarti itu semua akan makan waktu tahunan. Karena saya tidak mau menunggu berlama-lama, saya memutuskan untuk melalui jalur indie.
Vanesha: Terakhir nih, sudah sejauh mana proses Mas Ronald untuk menggapai cita-cita ingin menulis novel dan membuat film layar lebar? Kasih bocoran kepada kami haha
Ronald Airlangga: Untuk saat ini, cita-cita menulis novel dan layar lebar masih ditunda, karena saya sedang di dalam zona penulisan materi non-fiksi yang senada dengan Tokoh Utama. Saya sedang dalam proses menulis buku non-fiksi kedua. Mohon doanya, semoga saya bisa cepat menyelesaikannya hahaha.
-
Penulis buku Tokoh Utama dapat kamu sapa melalui Instagram @ronaldairlangga.
BACA JUGA: Review Novel Gemini Everlasting Iris