Review Buku LDR 'Lelah Dihajar Revisi' karya Reyvan Maulid

Review Buku LDR 'Lelah Dihajar Revisi' karya Reyvan Maulid

Sering mendengar istilah LDR?

Nah, buku ini mengusung judul LDR. Namun, LDR di sini bukan akronim dari Long Distance Relationship, melainkan 'Lelah Dihajar Revisi'.

Reyvan Maulid Pradistya, penulis kelahiran 17 Juli ini menginisiasi buku LDR lantaran banyak keluhan dari mahasiswa tingkat akhir yang acapkali mendapatkan revisi.

Sesuai judulnya, buku ini mengupas tentang beberapa “drama” yang dialami mahasiswa selama merampungkan skripsi. Tentu revisi dalam skripsi terkesan menyebalkan. Tapi saya yakin, setelah membaca buku ini, pembaca—terutama yang sedang berjibaku dengan skripsi—akan mendapat insight yang lebih luas.

Baik, untuk melihat gambaran buku LDR ‘Lelah Dihajar Revisi’, simak ulasannya berikut ini.

Baca Juga: Review Buku Oleh-Oleh dari Kyoto

Review Buku LDR ‘Lelah Dihajar Revisi’ karya Reyvan Maulid

Deskripsi Buku

Judul: Lelah Dihajar Revisi (LDR)
Penulis: Reyvan Maulid
Penerbit: CV. Citra Airiz
Isi: 167 halaman
Tahun Terbit: Februari 2023
Cetakan: Pertama
Jenis/Kategori: Non Fiksi

Gambaran Umum Buku LDR 'Lelah Dihajar Revisi'

Menyajikan 7 phase, bahasan dalam buku ini disusun secara holistik, dimulai dari bahasan revisi, minder, overthinking, menunda-nunda, susah memulai, hingga writer’s block.

Phase 1 : Lelah Dihajar Revisi

Buku ini diawali dengan bahasan revisi. Digambarkan pula mahasiswa yang merasa lelah dengan coretan di draft skripsi, sampai-sampai malas memperbaikinya.

Namun, terlepas dari hal itu, pembaca diajak untuk memahami sisi lain. Seyogianya, coretan dan celotehan dosen adalah bentuk kasih sayang kepada para mahasiswa, agar mereka dapat melahirkan karya ilmiah yang berkualitas.

Lebih lanjut, penulis memberi tips agar mahasiswa tidak lelah dihajar revisi. Pertama, perlu mengambil sisi positifnya. Kedua, pahami aturan main, sesuaikan skripsi dengan panduan penulisan yang sudah disediakan oleh kampus.

Ketiga, seberat dan sebanyak apapun revisinya, namun saat dikerjakan sedikit demi sedikit, skripsi akan rampung juga. Keempat, baca kembali hasil revisi, dimulai dari format penulisan, tata bahasa, penomoran, ejaan, elaborasi kalimat, hingga saran yang diberikan oleh dosen pembimbing. Dan yang terakhir, kerjakan skripsi sesuai arahan dosen, dan perlu terima kritik dengan baik.

Phase 2 : Minder dengan Skripsi Sendiri

Pernah insecure dengan skripsi sendiri?

Nah pada part ini dikupas mengenai judul skripsi yang acapkali berubah-ubah, kurang sreg dengan penelitian sendiri, hingga mulai compare dengan hasil skripsi teman-teman.

Apakah rasa minder wajar?

Tentu. Tapi kembali lagi kepada respons kita. Apakah rasa minder itu bisa menjadi cambuk agar lebih semangat, atau malah membuat kita mengibarkan bendera putih?

Jika mulai merasa pesimis, membandingkan dengan orang lain, hingga mengerdilkan kapasitas diri, praktis sudah saatnya kita menepis rasa minder itu.

Terasa sulit?

Tenang, penulis sudah menyarankan beberapa hal, seperti perbanyak bersyukur, selalu memberi afirmasi positif, dan alihkan dengan aktivitas lain.

Phase 3 : Overthinking

Saat mengerjakan skripsi, akan muncul pemikiran berlebihan. Pikiran langsung tertuju pada skenario terburuk yang sebenarnya belum tentu terjadi. Hal ini bermuara pada kecemasan hingga tidak konsentrasi dengan apa yang sedang dihadapi.

Di halaman 56, penulis mengutip sebuah kalimat “Overthinking kills your happiness". Bagaimana tidak? Dengan pikiran yang berlebihan, maka akan muncul kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri, terlalu sibuk berputar-putar di masalah tanpa mencari solusi, insomnia, hingga kesulitan dalam mengambil keputusan.

Berkaitan dengan overthinking, barangkali saya boleh berpendapat. Kita tidak bisa mengendalikan hal-hal di luar diri. Pun kepala kita terlalu kecil untuk menampung pikiran-pikiran liar itu.

So, just do the best and let it flow! Sisanya, biarkan Semesta yang bekerja.

Phase 4 : Nunda Ngerjain Skripsi

Part ini diawali dengan percakapan antara penulis dan dosen pembimbingnya. Tentu Bu Dosen cukup murka sebab mahasiswanya sudah lama tidak menampakkan diri setelah seminar proposal.

Sebagai mahasiswa yang pernah berada di fase itu, sang penulis menemukan cara untuk mengatasi penundaan dalam mengerjakan skripsi. Dimulai dari memasang target dan to-do-list yang jelas, hingga menerapkan afirmasi saat mengerjakan skripsi.

Phase 5 : Susah Memulai

Mengutip dari P. B. Brown, seorang entrepreneur, penulis membeberkan alasan kenapa susah memulai suatu hal, termasuk dalam mengerjakan skripsi. Alasan tersebut diantaranya: 1) adanya rasa takut; 2) kegagalan; 3) dicap kurang kompeten; dan 4) terlalu banyak tapi.

Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu disiapkan dalam memulai skripsi. Pertama, teguhkan niat kuat agar tugas akhir ini segera rampung.

Kedua, mulai mendalami judul, masalah, topik, hingga metode penelitian. Ketiga, cari referensi yang relevan. Keempat, pahami karakter dosen pembimbing skripsi. Dan kelima, optimalkan jalur langit melalui doa dan restu orang tua.

Phase 6 : Ganti Judul

Salah satu “drama” dalam dunia per-skripsi-an ialah ganti judul.

Mengganti judul artinya mengganti rencana penelitian yang sudah lama dirancang. Opsi-opsi yang sudah disiapkan secara matang tiba-tiba ditolak seketika karena berbagai alasan. Mulai dari judul yang sudah pasaran, rentan terkena plagiasi, dan sebagainya.

Muncul satu pertanyaan dilematis, apakah perlu mengusung judul baru atau lebih baik mempertahankan judul yang lama?

Tentu akan kembali pada urgensi permasalahan, karakteristik lokasi penelitian, dan impact dari penelitian itu. Dosen pembimbing pun akan lebih merekomendasikan topik yang up-to-date, bukan out-of-date.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan judul. Kriteria tersebut diantaranya perlu menarik minat peneliti, mampu dilaksanakan peneliti, mengandung kegunaan praktis dan penting untuk diteliti, serta adanya kecukupan data yang tersedia.

Phase 7 : Buntu Ide

Pada chapter terakhir ini dibahas tentang writer’s block, yaitu kondisi di mana seseorang kehabisan ide untuk menulis, mencari bahan, hingga mencari ide dalam tulisan.

Penulis menyajikan beberapa penyebab kebuntuan ide, dimulai dari burnout, distraksi, perfeksionis, rasa takut, hingga tekanan.

Skripsi memang perlu diselesaikan. Namun saat stuck, kita berhak untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan.

Sebagaimana yang disarankan oleh penulis, bahwa kita perlu memberi jeda agar tidak jenuh, menerapkan free writing, mengetik sambil mendengarkan playlist, hingga merasa it’s okay, everything will be fine.

Baca Juga: Review Buku Kota dan Depresi

Sudut Pandang Reviewer Mengenai Buku LDR ‘Lelah Dihajar Revisi’

Bagi saya, sebagai pengulas, sekaligus sedang berkecimpung di dunia akademik, buku LDR ini sangat patut diacungi jempol. Mengusung bahasan tentang “drama” per-skripsi-an, buku ini tidak hanya berisi keluhan mahasiswa tingkat akhir, namun juga membubuhkan alternatif solusinya.

Selain itu, perspektif penulis tidak hanya condong satu sisi, namun juga melihat dari sudut pandang lain. Hal ini dapat memberi insight yang lebih baik kepada pembaca, terutama mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjibaku dengan skripsi.

Bisa dibilang, buku ini “semi-ilmiah”, sebab setiap argumen diperkuat dengan sitasi. Pun di halaman akhirnya, penulis menyertakan daftar pustaka.

Sementara itu, dari segi penggunaan bahasa, buku yang berisi 7 chapter ini menggunakan tata bahasa yang tidak terlalu kaku. Bahkan cenderung lebih komunikatif dan seolah melibatkan pembaca.

Hal menarik lainnya ialah visual sampul buku. Entah bagaimana mendeskripsikannya, tapi ini benar-benar eye-catching! Sangat merepresentasikan isi buku LDR.

Konklusinya, saya sangat menyukai buku ini, dimulai dari konteks yang diusung, perspektif penulis, sitasi, penggunaan bahasa, hingga visual sampulnya.

I’m pretty sure, buku ini bisa menjadi booster untuk para mahasiswa tingkat akhir.

Wawancara Kami dengan Reyvan Maulid

Vanesha: Buku ini tidak hanya berisi argumen penulis, tapi juga merujuk pada beberapa kajian literatur. Boleh tahu nggak Mas, kenapa kepikiran bikin buku “semi-ilmiah” ini?

Reyvan Maulid: Oke, saya akan coba bantu untuk menjawab pertanyaannya. Alasan saya mengapa terpikirkan untuk membuat buku “semi-ilmiah” ini karena selama ini buku bergenre self-improvement, khususnya edukasi biasanya mencakup tips and tricks dari sudut pandang dosen selaku pembimbing dan pengarah kinerja skripsi mahasiswa.

Namun, sependek pemahaman yang saya tahu, belum ada buku yang membahas terkait lika-liku skripsi mahasiswa yang mahasiswanya itu cerita sendiri. Istilahnya pelaku utama yang menjalankan skripsi itu justru jarang saya temukan bukunya, makanya kenapa saya ini mencoba untuk membuat satu buku berkenaan dengan revisi yang menjadi makanan sehari-hari mahasiswa saat melakukan skripsi di semester akhirnya.

Disana ada banyak tips yang bisa saya bagi, ada kajian literatur yang memperkuat penjelasan yang telah saya paparkan di buku ini, ada pula secuplik pengalaman yang pernah saya alami. Saya seringkali ditunjuk oleh dosen sebagai reviewer skripsi mahasiswa dimana membuat saya belajar atas permasalahan skripsi mahasiswa mulai dari kenapa molor, alasan penentuan judul kurang kuat, dan lain sebagainya.

Vanesha: Pada Phase 7, disinggung mengenai penyebab kebuntuan ide. Salah satunya perfeksionis. Entah ini relate atau tidak dengan Mas Reyvan, tapi para mahasiswa (laki-laki) yang saya kenal, tidak terlalu perfeksionis dengan skripsinya.

Prinsip mereka, yang penting selesai. Saya jadi penasaran, apakah perfeksionis memang jarang dialami mahasiswa (laki-laki)? Kalau dulu saat menyusun skripsi, Mas Reyvan pernah mengalami perfeksionis juga?

Reyvan Maulid: Kalau umumnya, laki-laki memang tidak semuanya, ya, memiliki sifat perfeksionis. Namun, saya pribadi justru mengutamakan perfeksionis ini agar tugas-tugas dan pekerjaan yang saya lakukan semuanya terencana, matang, dan sangat mendetail.

Kenapa?

Gapapa kita mengerjakan skripsinya lama, namun kalau apa yang sudah kita jelaskan itu alurnya enak, mendetail, dan tersampaikan pointnya dengan baik maka semua kesalahan akan tertutup dengan sendirinya karena kita sudah aware akan hal itu di awal.

Sifat perfeksionis yang saya miliki sejatinya digunakan apabila semua tulisan, baik skripsi atau non skripsi itu sudah baik. Namun, perlu didetalkan lagi secara alur penulisan. Apalagi saya sendiri selalu berpatokan pada prinsip dalam menulis, ketika tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan, tentunya saya akan berusaha memperbaikinya terus walaupun memang saya sudah buat, tulis, hapus, dan secara berulang seperti itu.

Vanesha: Salah satu cara memulai skripsi ialah pahami karakter dosen pembimbing. Oke, case yang sering saya temui tentang “karakter dosen” ialah perbedaan pendapat antara dosen pembimbing 1 dan dosen pembimbing 2. Banyak yang cerita ke saya, kalau mereka sering dihadapkan pada 2 keinginan dari 2 kepala yang berbeda.

Mas, barangkali ada tips bagaimana menyeimbangkan keinginan para dosen pembimbing (yang terkadang tidak selaras)?

Reyvan Maulid: Kalau dari saya sendiri, kita harus sadar bahwa tidak semua orang memiliki pendapat dan koridor yang sama. Mereka (dua dosen pembimbing) punya gaya masing-masing, punya mazhab, persepsi, anggapan, dan perspektif yang berbeda-beda.

Kita tidak bisa memihak dan memaksakan satu sama lain. Maka dari itu, saya memberikan tips dengan cara mengkolaborasikan antara satu pendapat dosen dengan pendapat dosen yang lain. Difilter, ditelaah lebih mendalam, dimasukkan mana yang sekiranya bisa kita sesuaikan dengan skripsi yang kita buat.

Kuncinya adalah pemahaman kita sebagai mahasiswa menuruti mau dosen itu seperti apa. Kalaupun dosen pembimbing memberikan kritik yang membangun, silakan terima. Namun, jangan semua diserap, sebaiknya ditelaah lebih dalam lagi.

Vanesha: Masih tentang dosen, saya penasaran aja sih, tipe dosen pembimbing idaman mahasiswa tuh yang seperti apa, Mas?

Reyvan Maulid: Tipe pembimbing idaman mahasiswa menurutku adalah (1) paham sama medan atau perjalanan judul skripsi yang dilalui mahasiswa, (2) saling reminder, (3) saling peka, (4) nggak cuek dan selalu menegur kalau mahasiswanya kelewat batas, lalai, lupa, salah, (5) mengarahkan dengan jalan yang baik dan punya mind mapping yang jelas (oh judul ini mau dibawa kemana nih arahnya, nanti hasil penelitiannya mau seperti apa, keluarannya apa? manfaatnya apa dan lain sebagainya).

Vanesha: Mengapa memilih jalur indie?

Reyvan Maulid: Jalur indie, saya pilih karena sebagai batu loncatan saya untuk mengeluarkan buku edukasi agar dikenal luas oleh pembaca. Indie juga saya pilih karena kualitasnya tidak kalah juga dengan buku-buku terbitan penerbit mayor.

-

Well, mulai dari ulasan hingga sesi wawancara dengan penulis, kelihatan seru sekali, ya!

Baik, untuk meminang buku ini, penulis buku LDR ‘Lelah Dihajar Revisi’ dapat kamu sapa melalui Instagram @reyvanmaulid.

Sekian.

Reviewer: Fitri Ayu Febrianti.

BACA JUGA: Review Buku Sekadar Ilusi Kehidupan
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url