Review Buku Kota dan Depresi karya Zalfaa Daughtervy
Tentu banyak sekali keresahan saat menghadapi quarter life crisis. Tentang mimpi, hingga reality yang terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Zalfaa Daughtervy, seorang anak muda yang berhasil meluapkan keresahannya melalui permainan diksi. Buku Kota dan Depresi merupakan buku kedua yang diterbitkan oleh penulis kelahiran 8 April ini. Berisi 132 halaman, buku antologi puisi ini terdiri dari empat chapter yang memuat lebih dari 90 puisi.
Pertanyaannya, bagaimana sih gambaran buku ini?
Simak ulasan berikut.
Baca Juga: Review Buku Tokoh Utama
Judul: Kota dan Depresi
Penulis: Zalfaa Daughtervy
ISBN: 978-623-385-378-1
Penerbit: Ellunar Publisher
Isi: 132 halaman
Tahun Terbit: Mei 2023
Jenis/Kategori: Antologi Puisi
Di bagian pembuka, pembaca akan disuguhi judul “Aku Masih Mengalami Hari-hari Itu”. Pada part ini, si “aku” seolah membenci segala hal yang ada di dalam dirinya. Mulai dari pikirannya yang berisik, hingga lukanya yang tak kunjung membaik.
Di samping banyaknya puisi yang disajikan pada chapter ini, namun ada satu puisi yang berhasil membuat saya terpaku.
demi Tuhan!
aku sangat ingin menulis tentang kehidupan
tetapi mengapa pikiranku terus berputar-putar pada kematian?
Review Buku Kota dan Depresi karya Zalfaa Daughtervy
Deskripsi BukuJudul: Kota dan Depresi
Penulis: Zalfaa Daughtervy
ISBN: 978-623-385-378-1
Penerbit: Ellunar Publisher
Isi: 132 halaman
Tahun Terbit: Mei 2023
Jenis/Kategori: Antologi Puisi
Gambaran Umum Buku Kota dan Depresi
Seperti yang sudah disinggung di awal, buku ini terdiri dari empat chapter. Selain itu, penulis juga membubuhkan bagian 'Pembuka dan Penutup'.Di bagian pembuka, pembaca akan disuguhi judul “Aku Masih Mengalami Hari-hari Itu”. Pada part ini, si “aku” seolah membenci segala hal yang ada di dalam dirinya. Mulai dari pikirannya yang berisik, hingga lukanya yang tak kunjung membaik.
Bab I: Mereka Menamaiku Depresi
Benar. Sesuai judul yang diusung pada part ini, pembaca akan menemukan hal-hal yang berbau keputusasaan. Tentang isi kepala yang bergemuruh, kesepian yang senantiasa merundung, hingga kesakitan yang tak lagi terbendung.Di samping banyaknya puisi yang disajikan pada chapter ini, namun ada satu puisi yang berhasil membuat saya terpaku.
demi Tuhan!
aku sangat ingin menulis tentang kehidupan
tetapi mengapa pikiranku terus berputar-putar pada kematian?
(Pada Kematian, hlm. 33)
Bab II: Lukisan Para Tuan dan Cerita-cerita yang Ditinggalkan
Pada chapter kedua ini, pembaca dikenalkan dengan Tuan Hampa, Tuan Hangat, Tuan Tampan, dan Tuan Hebat. Tentu para tuan ini menjadi inspirasi penulis dalam bermain diksi.Kenangan dengan para tuan sangat melekat di ingatan si “aku”. Sebagaimana yang disajikan di part “Lukisan Para Tuan”.
lukisan para tuan masih menggantung hebat
di atas bayang-bayang mimpi yang berjarak
dan aku ada di sini
menghitung mimpi-mimpi yang sudah kulampaui
di atas sarang laba-laba yang sudah mati
(Lukisan Para Tuan, hlm. 59)
terkadang
yang kita butuhkan
hanyalah sebuah ruang
untuk bersedih dan
menangis sejadi-jadinya
(Sebuah Ruang, hlm. 76)
sudah kepala dua
kakiku menginjak usia
tetapi tak jua kutahu
bagaimana caranya berdamai
dengan apa-apa
yang mereka sebut cinta
(Kepala Dua, hlm. 79)
mata yang lusuh
isi pikiran yang kumuh
suara hati yang mengaduh-aduh
dan mimpi-mimpi yang tetap teguh
terkadang
hidup memang dipenuhi dengan
momen-momen tidak menyenangkan
dan cerita-cerita menyesakkan
yang kita tetap bisa rayakan
(Kita Tetap Bisa Rayakan, hlm. 102)
Sementara itu, bagian penutup mengusung judul “Kota dan Depresi", konklusi dari semua puisi yang termaktub dalam buku ini. Dituliskan bahwa depresi masih menyelimuti si “aku” di setiap malam. Namun sisi baiknya, ia bersyukur masih bisa menikmati momen-momen yang manis.
lukisan para tuan masih menggantung hebat
di atas bayang-bayang mimpi yang berjarak
dan aku ada di sini
menghitung mimpi-mimpi yang sudah kulampaui
di atas sarang laba-laba yang sudah mati
(Lukisan Para Tuan, hlm. 59)
Bab III: Segala yang Ada di Antara
Bagian ketiga ini didominasi oleh hal-hal objektif seperti cermin tua, bianglala, ruang tamu, dan sebagainya. Terlepas dari itu, ada beberapa bait yang cukup meaningful bagi saya.terkadang
yang kita butuhkan
hanyalah sebuah ruang
untuk bersedih dan
menangis sejadi-jadinya
(Sebuah Ruang, hlm. 76)
sudah kepala dua
kakiku menginjak usia
tetapi tak jua kutahu
bagaimana caranya berdamai
dengan apa-apa
yang mereka sebut cinta
(Kepala Dua, hlm. 79)
Bab IV: Ia Menamaiku Kota
Terdiri dari 31 puisi, chapter IV ini berperan sebagai bab pemungkas. Pembaca akan melihat upaya si “aku” untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Salah satu puisi yang cukup merepresentasikan chapter ini ialah puisi ke-16.mata yang lusuh
isi pikiran yang kumuh
suara hati yang mengaduh-aduh
dan mimpi-mimpi yang tetap teguh
terkadang
hidup memang dipenuhi dengan
momen-momen tidak menyenangkan
dan cerita-cerita menyesakkan
yang kita tetap bisa rayakan
(Kita Tetap Bisa Rayakan, hlm. 102)
Sementara itu, bagian penutup mengusung judul “Kota dan Depresi", konklusi dari semua puisi yang termaktub dalam buku ini. Dituliskan bahwa depresi masih menyelimuti si “aku” di setiap malam. Namun sisi baiknya, ia bersyukur masih bisa menikmati momen-momen yang manis.
Baca Juga: Review Buku Behind the Scene Gempa Palu
Sudut Pandang Reviewer Mengenai Buku Kota dan Depresi
Buku Kota dan Depresi cukup merepresentasikan keresahan yang dialami oleh anak muda, tepatnya saat menghadapi quarter life crisis.Sebagian orang pasti relate dengan puisi-puisi yang disajikan dalam buku ini. Tentang isi kepala yang bergemuruh, kesepian yang senantiasa merundung, hingga kesakitan yang tak lagi terbendung.
Selain itu, setiap bait dibubuhi diksi yang tidak terlalu kompleks. Hal ini tentu mempermudah pembaca untuk memahami makna yang ingin disampaikan penulis.
Ditinjau dari segi sampul, buku ini seolah memvisualisasikan suasana yang temaram. Sangat relevan dengan konteks yang diusung dalam puisi ini.
Terlepas dari hal-hal menarik yang terdapat dalam buku ini, ada satu hal yang cukup menggelitik. Ya, konsistensi dalam penulisan judul. Let’s say, pada part “Kepala”, “Pelupuk Mata”, dan “Penjara Isi Kepala”. Beberapa pertanyaan muncul di benak saya.
Apakah puisi-puisi tersebut memisahkan diri dari puisi sebelumnya? Kalau iya, kenapa tidak tercantum dalam daftar isi? Kalau iya, kenapa font size-nya tidak sesuai dengan judul lain?
Tapi, kalaupun tidak, mengapa diberi jarak hingga membuat halaman baru?
But it’s okay. Overall, saya sangat menikmati tulisan ini. Dimulai dari visual halaman sampul, pemilihan diksi, hingga konteks yang ditonjolkan.
Sebelumnya memang sudah saya beri spoiler tentang gambaran umum isi buku Kota dan Depresi. Tapi, saya sarankan pembaca untuk meminang buku ini, sebab masih banyak hal-hal menakjubkan yang dapat ditemui.
So, kencangkan sabuk pengaman dan bersiaplah menyusuri Kota dan Depresi!
Selain itu, setiap bait dibubuhi diksi yang tidak terlalu kompleks. Hal ini tentu mempermudah pembaca untuk memahami makna yang ingin disampaikan penulis.
Ditinjau dari segi sampul, buku ini seolah memvisualisasikan suasana yang temaram. Sangat relevan dengan konteks yang diusung dalam puisi ini.
Terlepas dari hal-hal menarik yang terdapat dalam buku ini, ada satu hal yang cukup menggelitik. Ya, konsistensi dalam penulisan judul. Let’s say, pada part “Kepala”, “Pelupuk Mata”, dan “Penjara Isi Kepala”. Beberapa pertanyaan muncul di benak saya.
Apakah puisi-puisi tersebut memisahkan diri dari puisi sebelumnya? Kalau iya, kenapa tidak tercantum dalam daftar isi? Kalau iya, kenapa font size-nya tidak sesuai dengan judul lain?
Tapi, kalaupun tidak, mengapa diberi jarak hingga membuat halaman baru?
But it’s okay. Overall, saya sangat menikmati tulisan ini. Dimulai dari visual halaman sampul, pemilihan diksi, hingga konteks yang ditonjolkan.
Sebelumnya memang sudah saya beri spoiler tentang gambaran umum isi buku Kota dan Depresi. Tapi, saya sarankan pembaca untuk meminang buku ini, sebab masih banyak hal-hal menakjubkan yang dapat ditemui.
So, kencangkan sabuk pengaman dan bersiaplah menyusuri Kota dan Depresi!
Wawancara dengan Zalfaa Daughtervy
Vanesha: Kalau saya baca, buku antologi ini memuat puisi-puisi yang “beraneka rasa”. Boleh tahu nggak Kak, kiranya untuk melahirkan buku Kota dan Depresi ini membutuhkan waktu berapa lama? Lalu, apakah saat prosesnya mengalami writers’ block?Zalfaa: Kota dan Depresi saya tulis dan rampungkan selama kurang lebih 3 tahun. Dalam proses penulisan, saya sempat beberapa kali mengalami writer's block. Entah karena kehabisan inspirasi, banyaknya tugas kuliah, dan menurunnya aktivitas membaca saya. Itulah mengapa butuh waktu selama 3 tahun untuk saya menyelesaikan naskah Kota dan Depresi.
Vanesha: Hal apa yang melatarbelakangi terbentuknya judul Kota dan Depresi?
Vanesha: Hal apa yang melatarbelakangi terbentuknya judul Kota dan Depresi?
Zalfaa: Judul Kota dan Depresi saya ambil dari salah satu puisi di dalam buku yang menurut saya mewakili setiap rasa di dalam tulisan-tulisan yang saya tulis.
Vanesha: Pada chapter ke-2, disinggung istilah Tuan Hampa, Tuan Hangat, Tuan Tampan, dan Tuan Hebat. Apakah ada alasan di balik penamaan istilah-istilah tersebut?
Vanesha: Pada chapter ke-2, disinggung istilah Tuan Hampa, Tuan Hangat, Tuan Tampan, dan Tuan Hebat. Apakah ada alasan di balik penamaan istilah-istilah tersebut?
Zalfaa: Setiap tokoh Tuan yang saya tulis di dalam bab 2 mewakili orang-orang yang pernah bersinggungan dengan saya. Penamaan para Tuan didasari oleh karakter setiap Tuan yang pernah menorehkan cerita di dalam hidup saya.
Vanesha: Keresahan yang dituangkan dalam bait-bait puisi ini berhasil membuat saya berdecak kagum. Penulis sangat baik menginterpretasikan perasaannya. Saya jadi penasaran, apakah buku ini memang bentuk representasi Kak Zalfaa dalam menghadapi quarter life crisis atau mungkin terinspirasi dari hal lain?
Vanesha: Keresahan yang dituangkan dalam bait-bait puisi ini berhasil membuat saya berdecak kagum. Penulis sangat baik menginterpretasikan perasaannya. Saya jadi penasaran, apakah buku ini memang bentuk representasi Kak Zalfaa dalam menghadapi quarter life crisis atau mungkin terinspirasi dari hal lain?
Zalfaa: Terima kasih atas apresiasinya. Tulisan-tulisan di dalam buku Kota dan Depresi adalah kumpulan perasaan dan pemikiran yang saya tulis berdasarkan pengalaman saya sendiri. Sebagian besar tulisan saya terinspirasi oleh kondisi kesehatan mental yang saya miliki dan sebagian tulisan yang lain mewakili keresahan-keresahan saya tentang dunia.
Vanesha: Apa alasan kakak menerbitkan buku melalui jalur indie? Boleh diceritakan?
Zalfaa: Selain karena ingin cepat rilis buku, saya juga belum tahu jalur menerbitkan buku dengan penerbit mayor.
Vanesha: Terakhir, boleh cerita kesukaan kakak dalam menulis puisi sejak kapan?
Zalfaa: Ketertarikkan saya dengan dunia tulis menulis sudah dimulai sejak saya masih duduk di bangku SMP. Waktu SMP dulu, saya giat menulis dalam bentuk diary maupun puisi-puisi pendek yang kemudian saya share di platform menulis, Wattpad.
Hobi menulis saya ini terus berlanjut hingga saya memasukki bangku kuliah, di mana saya berhasil menerbitkan buku antologi puisi pertama saya berjudul "Hilang" yang saya terbitkan tahun 2018 lalu — yang kemudian membawa saya melahirkan buku antologi kedua saya, yaitu Kota dan Depresi.
-
Okay, penulis buku Kota dan Depresi dapat kamu sapa melalui Instagram @zalfaadaughtervy. Dengarkan juga podcast-nya lewat Spotify: Zalfaa Daughtervy Podcast.
Sekian.
Reviewer: Fitri Ayu Febrianti
BACA JUGA: Review Buku Sekadar Ilusi Kehidupan