Review Buku Antologi Berjudul 'Perempuan itu Ibuku' (Persembahan Tanda Cinta untuk Ibu)

Buku Perempuan Itu Ibuku

Ketika buku ini mendarat di rumah—dengan penuh keingintahuan—ibu saya mengamati bagian sampul seraya berkata, “Bukunya bagus ya, Teh”. Prediksi ibu saya tepat. Sebab, setelah saya membaca buku ini, saya benar-benar dibuat takjub oleh berbagai kisah yang disajikan.

Buku berjudul Perempuan itu Ibuku (Persembahan Tanda Cinta untuk Ibu) merupakan perwujudan sebuah karya dari Graece Tanus dan beberapa penulis lainnya. Buku ini berangkat dari pertanyaan para sahabat terkait cara menulis buku, Graece lalu menggagas buku antologi dengan mengusung sosok mulia, yaitu ibu.

Buku yang terdiri dari 200 halaman ini bercerita tentang peran ibu dalam membersamai anak-anaknya, dan ditinjau dari point of view yang berbeda.

Bagi saya, buku berjudul Perempuan itu Ibuku tidak sekedar menginspirasi pembaca, namun juga sebagai bahan muhasabah. Setinggi apapun pencapaian kita, kita tetaplah seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu. Betapa hebatnya semua perempuan yang menyandang gelar ibu.

To be honest, saya sangat suka tentang bagaimana para penulis mengemas kisahnya dalam cerita yang runtut dan gaya bahasa yang apik. Dengan demikian, pembaca tidak akan menemui kendala dalam mencerna konteks dari setiap kisah.

Baik, untuk melihat gambaran umum buku Perempuan itu Ibuku, simak ulasannya berikut ini.

Baca Juga: Review Buku Kasih Tuhan Cukup Bagiku

Review Buku Perempuan itu Ibuku (Persembahan Tanda Cinta untuk Ibu) karya Graece Tanus, dkk.

Deskripsi Buku

Judul : Perempuan itu Ibuku (Persembahan Tanda Cinta untuk Ibu)
Penulis : Graece Tanus, dkk.
ISBN : 978-623-88004-5-2
Penerbit : CV Aksarapedia Prathama
Isi : vi, 200 halaman
Tahun Terbit : Desember 2022
Jenis/Kategori : Antologi, Non Fiksi

Sepenggal Kisah dari Para Ibu Inspiratif

Buku antologi ini terdiri dari 10 bagian yang ditulis oleh Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, dr. Defranky Theodorus, Sp.A., Graece Tanus, Sr Irena Handayani, OSU, Iwan Kurniawan Darusman, Juliana Maria Tutik Rahayu, Lenny Herliyanti, Linda Enriany, Luki Alamsyah dan AR Handini, serta Rurisa Hartomo.

Kisah pertama dibagikan oleh seorang akademisi, ahli antropologi, dan politisi, bernama lengkap Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono. Benar, bisa dilihat dari namanya, ia adalah buah hati dari bapak proklamator, Bung Hatta.

Lahir dari seorang wanita hebat, Meutia menggambarkan sosok ibu sebagai wanita yang tangguh sekaligus halus. Tentu bukan perkara mudah untuk menjadi pendamping sang tokoh besar. Terlebih lagi pada masa itu, suasana politik sedang memanas. Namun, ibu selalu menempatkan diri sebagai seorang istri yang mendukung setiap langkah suaminya.

Menjadi istri sang tokoh terkemuka tidak serta merta membuat ibu angkuh. Kendati dilimpahi harta dan tahta, namun ibu masih saja terbalut dengan kesederhanaan.

Kisah kedua muncul dari seorang dokter spesialis anak di RSUD Tc Hillers Maumere, dr. Defranky Theodorus, Sp.A. Sewaktu kecil, Theo acap kali menemani sang ibu yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Ia merasa takjub melihat ibu yang bisa bekerja dengan baik, namun tidak melupakan perannya sebagai ibu rumah tangga.

Salah satu hal yang menarik dalam kisah ini, ketika ia menceritakan “sebutir nasi jagung dari ibu”. Theo kecil sudah terbiasa dengan menu nasi jagung setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk menekan anggaran pembangunan rumah. Kala itu, kondisi rumahnya terbilang sederhana. Dinding terbuat dari bambu, serta beratapkan daun kelapa.

Selain itu, mereka harus struggle dengan kondisi kesusahan air, serta lokasi tanah yang bergambut dan sangat berdebu. Namun, ibu senantiasa berjuang agar anak-anaknya memiliki kehidupan yang layak.

Kisah ketiga dituliskan oleh Graece Tanus, seorang penulis ulung sekaligus traveler. Graece menggambarkan ibu sebagai pribadi yang kuat dan sosok yang selalu ada, sekalipun di titik terendahnya.

Dikala Graece harus berperan sebagai single parent dan berperang melawan sel kankernya, sang ibunda selalu membersamainya. As always. Ia berhasil melewati masa-masa “seru” bersama ibu, dan kini dirinya terbentuk menjadi pribadi yang tangguh.

Kisah keempat berasal dari seorang Pastoral JPIC dan Ketua Talitha Kum Jakarta (TPPO) Sr Irena Handayani, OSU. Ibu digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangguh, ulet, pekerja keras, dan religius. Waktu ibu dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, mencari uang tambahan dengan merenda, dan banyak berdoa khususnya Rosario.

Irena masih ingat, saat hendak menjadi Suster Ursulin, ibu selalu mendukungnya seraya berkata "Kalau memang itu panggilanmu, jalani dengan sungguh-sungguh. Apabila gagal, pulanglah dengan baik-baik. Ibu dan Ayah menerimamu".

Kisah kelima menceritakan Tin Sumiati, ibunda dari Iwan Kurniawan Darusman, seorang pimpinan perusahaan PT Triniti Globalindo Anugerah. Sang ibunda senantiasa memupuk nilai-nilai religiusitas sedari kecil.

Tidak hanya di keluarga, ternyata anak-anak sekitar rumahpun diajarkan ibu untuk mengaji. Selain itu, melalui jalur langit, ibu selalu mengiringi langkah Iwan dengan do’a. Hal inilah yang membuat Iwan berada di puncak kesuksesannya.

Baca Juga: Review Buku Cinta, Rindu, dan Sekelumit Tentangnya  

Kisah keenam lahir dari Juliana Maria Tutik Rahayu atau yang akrab disapa Jeung Toet. Mengenyampingkan gengsi, sang ibunda sempat bekerja sebagai buruh lepas yang kadang di sawah, maupun di rumahan. Banyak yang dilakukan ibu demi mencari tambahan biaya, dimulai dari buruh panen padi, membersihkan rumput di sawah, sampai menjadi buruh mengupas kacang tanah.

Selama hidupnya, ibu selalu memperjuangkan anak-anaknya agar bisa mengecap kehidupan yang lebih baik.

Kisah ketujuh berasal dari Lenny Herliyanti, seorang perempuan yang lahir dari seorang ibu tangguh. Salah satu memori yang membekas, adalah ketika Lenny duduk di bangku TK.

Saat itu, ibu menggandeng Lenny kecil dan sang kakak dengan kedua tangannya, lalu beliau juga menggendong adik yang ketiga dengan jarik, sementara perutnya yang besar sedang mengandung adik yang keempat.

Hal itu dilakukan ibu setiap hari, demi bisa mendampingi anak-anaknya tumbuh dan berkembang. Belum lagi pekerjaan rumah yang harus ibu selesaikan seorang diri.

Kendati demikian, raut keikhlasan dan senyuman selalu terukir di wajahnya, bahkan hingga di usia senja.

Kisah kedelapan ditulis oleh Hj. Linda Enriany, S.E., M.M., M.Si., seorang wanita yang berprofesi sebagai ASN di Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Linda lahir di tengah keluarga yang hangat.

Dalam keluarganya, tidak ada kekerasan, perselisihan, atau apapun. Anak-anak ibu tumbuh dengan baik, mendapatkan pendidikan yang baik, dan hampir semuanya dapat menyelesaikan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Bahkan Linda berkesempatan menimba ilmu di New Zealand selama satu setengah tahun.

Kisah kesembilan ditulis oleh sepasang suami istri bernama Luki Alamsyah Agustriana, S.E., Ak., dan Anies R. Handini, S.S. Keduanya menyorot kisah hidup wanita hebat bernama lengkap Hj. Anna Rochana.

Ibu berprofesi sebagai tenaga kesehatan yang terampil, kreatif, dan tangguh. Dalam perjalanan karirnya, ibu dihadapkan pada berbagai problematika, dimulai dari menghadapi kasus dukun beranak hingga penularan penyakit kelamin dikarenakan pernikahan dini. Namun, dengan skill yang teramat bagus, ibu mampu menjadi pejuang kesehatan untuk masyarakat sekitar.

Kisah kesepuluh digambarkan oleh Rurisa Hartomo. Rurisa menceritakan seorang perempuan penyintas sexual harassment dan korban bullying. Joey namanya. Joey kecil kerap mendapat kekerasan verbal dan nonverbal dari teman sebayanya.

Tak berhenti sampai di sana, kakak tirinya kerap menjadikan Joey sebagai objek pengenalan kedewasaan yang liar. Ironisnya, ia tumbuh dalam budaya komunikasi yang terbatas. Ia benar-benar kesulitan mencari tempat yang nyaman dan aman.

Joey pernah merasa sukar menemukan titik balik dalam hidup. Joey selalu mencari pembenaran, dan hal itu membuatnya semakin terpuruk dalam luka.

Hingga pada akhirnya, Joey meyakini bahwa semua ini adalah rahasia-Nya. Sebagaimana Q.S. Al-Baqarah:286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….” 

Melalui tulisan ini, Rurisa ingin pembaca dapat mengambil pelajaran hidup dari kisah Joey. Sekelam apapun pengalaman hidup yang dialami, tetaplah bangkit dan berjuang. 

Life must going on.

Hal yang Menarik dari Buku Perempuan itu Ibuku

1. Gaya Penulisan yang Apik

Kenikmatan dalam membaca buku adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman. Sebentuk keasikan tercipta karena adanya struktur dan gaya bahasa yang “sopan” untuk diterima oleh kognisi pembaca.

Dalam buku ini, tentunya para penulis begitu apik memilih diksi, serta gaya penulisan yang mudah dipahami. Selain itu, para penulis cukup terampil dalam memperhatikan kaidah ejaan yang sempurna, sehingga terbentuk sebuah tulisan yang utuh.

2. Kisah Diambil dari Pengalaman Pribadi

Setiap kisah dari buku ini diangkat dari pengalaman pribadi. Para penulis menyorot sosok ibu dan pengalaman memorable yang luar biasa.

Hal ini bisa dilihat dari cara para penulis menggunakan kata ganti “aku” sebagai sudut pandang orang pertama. Selain itu, foto lawas yang disajikan di setiap halaman awal tulisan, memberi kesan kuat pada cerita.

3. Dilengkapi dengan Quotes

Dalam buku ini, pembatas antarkisah menggunakan kutipan para tokoh. Sebut saja Fiersa Besari, dengan kutipan “Hari yang buruk hilang begitu saja oleh sentuhan suara sang ibu”.

Penutup

Buku Perempuan itu Ibuku sangat recommended untuk dibaca oleh semua kalangan.

Selain menyajikan kisah inspiratif, buku ini juga memberi insight yang lebih luas tentang perjuangan perempuan-perempuan di luar sana. Bahkan saya sempat speechless membaca beberapa kisah yang benar-benar memainkan perasaan.

Di lembar terakhir, terdapat sebuah kutipan dari seorang penulis sekaligus musisi ternama, Mitch Albom, “When you look at your mother, you are looking at the purest love you will ever know.

Teruntuk para ibu hebat di luar sana, terima kasih sudah melukiskan memori indah di kehidupan kami. Semoga ibu senantiasa ada dalam naungan kebaikan Sang Maha Baik.

Catatan:

Untuk menyaksikan launching buku Perempuan itu Ibuku, silakan tonton videonya berikut ini:


Reviewer: Fitri Ayu Febrianti

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url