Review Buku The Dusk is Red Karya Setsura Yuki a.k.a Intan


Review Buku The Dusk is Red Karya Setsura Yuki a.k.a Intan

Bagaimana seseorang dengan depresi bertahan untuk tetap hidup di dunia yang kacau ini? Tidakkah setiap hari terasa begitu menyesakkan baginya?
 
The Dusk is Red hadir menceritakan perasaan-perasaan Setsura Yuki—sang penulis—selama ia menghadapi depresinya. Harus saya akui, emosi dari setiap tulisan di buku ini cukup intense.

Penulis bahkan memberikan ‘warning’ kepada pembaca karena bagi orang-orang tertentu isi kontennya cukup triggering.

Untuk lebih mendalami pengalaman batin penulis, simak review buku The Dusk is Red berikut.
 

Review Buku The Dusk is Red karya Setsura Yuki

Identitas Buku

Judul:
The Dusk is Red
Penulis: Setsura Yuki
Penerbit: Ellunar Publisher
Tahun Terbit: April 2024
ISBN: 978-623-385-503-7
 
The Dusk is Red merupakan buku kumpulan puisi berbahasa Inggris. Selain berisi puisi, Setsura Yuki melengkapi tulisannya dengan ilustrasi yang memukau. Pada bagian akhir buku, penulis juga menyertakan sketsa karya teman-temannya.

Hidup Adalah Pertarungan Tak Berkesudahan: Satire dan Sinisme

Memilih tetap berada dalam putaran bumi berarti bersiap untuk seratus bahkan seribu pertarungan. Tak ada hidup yang mudah. Setiap orang, setiap hari, bergulat dengan sesuatu.

Penulis membawa pandangan yang getir soal hidup ke atas meja. Pernyataan-pernyataan satire diungkapkan penulis sebagai bentuk pemberontakkan pada kekejaman sistem sosial.

Dengan terang-terangan, penulis menyatakan bahwa surga dan neraka tak ada artinya di sini.
 
Yang berarti sekarang hanyalah kenyataan bahwa manusia akan selalu hidup dalam tuntutan orang lain, tanggung jawab yang tak ia minta, pengucilan karena menjadi berbeda, dan sederet kekejaman lain.

Bagaimana bisa semua itu tak kita sebut sebagai pertarungan?

Saya begitu terpukau pada berbagai pernyataan bernuansa sinisme. Misalnya, dalam larik,
Throw it all away.
All responsibilities that weigh me down.
Throw it all away.

 
Di tengah society yang penuh dengan dogma, bukankah bertanggung jawab merupakan sebuah hal mutlak?

Apa jadinya kita jika membuang semua tanggung jawab itu dan memilih hidup sesuka hati?

Tidakkah ajakan penulis begitu penuh keangkuhan?

Justru di sini letak kekuatan penulis. Ia bersikap angkuh seolah-olah tak dapat ditaklukan oleh apapun dalam hidup.

Pada saat yang bersamaan ia juga menyatakan kerinduan untuk diperlakukan sebagai manusia: dimaklumi saat merasa lemah, dirangkul ketika salah.

Sayangnya, tak ada seorang pun yang bisa terlepas dari pergumulan sepanjang hidupnya. Namun, 
menurut saya, semua itu sepadan.

Bukankah hidup yang tak diperjuangkan tak bisa dimenangkan?
 
As the writer said, “The world of adults is bleak, tiring, and hopeless”. 

So, let’s be kind to each other including ourselves.
 
Biarkan setidaknya kita semua beristirahat sejenak: bernapas lega atau sekadar menikmati tidur siang dengan gembira.

Manusia dan Sekumpulan Paradoks

Paradoks merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan manusia. As a human, we live because of the existence of two opposite polar. Baik-buruk. Derita-bahagia. Hidup-mati.

Meski begitu, tak sedikit di antara kita yang hanya ingin menerima sisi menyenangkan lalu mengabaikan hal-hal yang dianggap tak menyenangkan.

Seperti itulah cara kita bertahan hidup. Manusia cenderung menghindari hal-hal yang membuatnya berada dalam bahaya.
 
Namun, tidak bagi Setsura Yuki. Ia memamah begitu banyak ironi di dalam buku ini. Tak peduli rasanya kecut atau pahit, itulah keniscayaan yang harus ditelan.

Misalnya pada puisi ke-16 berikut ini,
This life is hard and unforgiving, how could one survive
without laughs?


Pada larik tersebut, penulis tak mau memberikan utopia soal kebahagiaan. 

Baginya, seorang manusia telah kaffah menerima hidup ketika ia mampu menertawakan keras dan kejamnya yang kadang tak termaafkan.

Larik lain yang tak kalah menarik yakni,
You have no place in this world
So you’re free to go anywhere


Makna pada larik pertama sangat bertentangan dengan stigma di komunitas sosial kita. Kita cenderung beranggapan seseorang yang tak punya tempat di muka bumi yakni dia yang diabaikan dan tak berharga.

Bagi penulis justru sebaliknya. Ia memandang orang yang demikian sebagai seseorang yang justru bebas pergi ke manapun—tak terikat kepada tempat apapun.

Ironi-ironi yang diangkat penulis memberikan angin segar. Sudut pandang pembaca memandang sebuah peristiwa semakin diperkaya.
 
Entah hal baik entah hal buruk, semua peristiwa itulah yang menjadikan kita sebagai manusia.

Pandangan Reviewer terhadap Buku The Dusk is Red karya Setsura Yuki

Saya merupakan penikmat karya-karya bernuansa satire. Bitter. Penuh sinisme. Bertemu The Dusk is Red seperti menemukan seorang belahan jiwa.
 
Puisi-puisi yang ditulis Setsura Yuki, entah bagaimana masuk ke dalam pikiran saya hanya untuk berdialog dengan batin. Saya lama tercenung. Sesekali ikut terisak, marah, dan tertawa di hadapan kata-kata itu.
 
Entah hanya perasaan saya entah memang demikian, suasana puisi semakin ujung berubah semakin terang. Puisi-puisi yang ditulis pada awal sampai pertengahan masih amat ‘pahit’ dan pesimis.
 
Berbeda dengan puisi di nomor-nomor terakhir yang cenderung lebih lega. Saya pikir, ini berkaitan dengan tujuan awal penulisan buku ini: self healing penulis dalam menghadapi depresinya.
 
The Dusk is Red memberikan saya keberanian untuk menghadapi hal-hal yang terasa tak nyaman. Mengakui bahwa kita tak selalu kuat. Menyetujui bahwa kita tak sempurna.
 
Sepakat jika kita butuh diakui. Tak mengelak jika kita butuh merasa diinginkan.
 
Kita butuh berterus terang kepada diri sendiri. Dalam kehidupan yang keras dan tak termaafkan ini, pecinta utama kita adalah jiwa yang kita miliki.
 
Jika kamu ingin mencoba berdamai dengan perasaan-perasaan tak menyenangkan semacam itu, dekaplah buku ini. Dengannya, kamu tidak akan bertarung sendirian.

Wawancara dengan Penulis

Salam kenal, Kak Yuki (if you mind i call you by that name). Terima kasih banyak telah mempercayakan Tim Media Penulis Garut untuk mereview karya yang luar biasa ini. Buku ini membuat saya merasakan banyak emosi. That was a great experience. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terkait buku ini.
 
Reviewer: Saya merasa penasaran, dengan ilustrasi-ilustrasi pada buku ini yang dominan berwarna merah, hitam, dan putih. Apakah alasan pemilihan warna-warna tersebut?
 
Intan: Kebetulan, warna merah putih dan hitam adalah warna yang saya gunakan ketika sedang menggambar dengan emosi buruk. Semacam vent arts. Hitam dan putih yang monoton dan gelap, digabungkan dengan merah menyala yang mencolok, melambangkan emosi yang saya tekan di dalam diri saya.
 
Reviewer: Saya juga mention, di beberapa tulisan, Kak Yuki menggunakan beberapa binatang sebagai simbolisasi seperti Kucing, Laba-Laba, Ubur-Ubur. Hal apa yang ingin Kak Yuki sampaikan lewat keberadaan simbolisasi itu pada buku ini?
 
Intan: Sebenarnya waktu itu saya hanya ingin menginkorporasikan unsur binatang agar ilustrasi saya tidak monoton. But, I can't deny that sometimes I'm just too tired of being human.
 
Reviewer: Saya tertarik dengan frasa “The moonlight is red and unforgiving” pada tulisan ketujuh. Pertanyaan saya, why is the moonlight in your written must be red and unforgiving?
 
Intan: Because the world itself is hard to live in. Seakan dunia itu menantang kita untuk terus hidup.
 
Reviewer: Di bagian biografi, saya membaca bahwa buku ini merupakan salah satu bentuk perjuangan Kak Yuki melawan depresi. Setelah menamatkan penulisan buku ini, apa hal terbaik yang Kak Yuki dapatkan?
 
Intan: Pada saat menulis buku ini, harapan saya hanya untuk memiliki sesuatu yang dapat saya tinggalkan di dunia. A piece of art that will outlive me. A proof that I lived.
 
Reviewer: Adakah pesan yang ingin Kak Yuki sampaikan kepada pembaca kami, terutama jika ia memiliki kondisi yang sama dengan Kak Yuki?
 
Intan: Try to express yourself. Bagi saya, seni adalah cara saya menjadi diri sendiri. Cara saya meluapkan perasaan dengan relatif sehat. Dari seni juga saya mendapatkan teman teman yang mengerti saya, a close circle of similar people.
 
Seni yang awalnya merupakan pelarian, akhirnya membawa saya ke dunia internasional dan menjadi aset yang berharga. Bagi kawan kawan yang merasa tertekan oleh dunia, mungkin dapat mencoba cara masing-masing untuk berekspresi. Hidup itu terkekang banyak hal, tapi kita selalu bebas untuk berkarya.

-
 
Penulis buku The Dusk is Red dapat dihubungi pada laman Instagram @setsura_yuki
 
Reviewer: Lupy Agustina 

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url