Review Buku Seduhan Kopi Dingin karya Hafshah Muslimah

Review Buku Seduhan Kopi Dingin karya Hafshah Muslimah

Puisi dan kopi rasanya jadi dua hal yang sulit dipisahkan. Baik kopi maupun puisi memantik jenis perasaan yang kompleks.

Lantas bagaimana jadinya jika kopi dan puisi dipadupadankan? Buku inilah jawabannya.

Seduhan Kopi Dingin memantik imaji ‘sore yang hujan’ di dalam diri saya. Hawa dingin dari luar jendela menyusup dan tiba pelan-pelan ke dalam cangkir kopi. Sajian puisinya damai nan bersahaja. Tidak ada upaya berlebihan agar terlihat misterius.

Untuk tahu kedalaman puisi-puisi karya Hafshah Muslimah di buku ini, simak review berikut.

Baca Juga: Review Buku 1001 Cara Mesyukuri Nikmat-Nya

Review Buku Seduhan Kopi Dingin karya Hafshah Muslimah

Gambaran Umum Buku Seduhan Kopi Dingin

Identitas buku

Judul: Seduhan Kopi Dingin
Penerbit: SIP Publishing
Pengarang: Hafshah Muslimah
Tahun: Februari, 2023
Isi: 160 halaman
ISBN: 978-623-156-188-6

Antologi puisi Seduhan Kopi Dingin bukanlah antologi biasa.

Buku kumpulan puisi ini, selain berisi ungkapan keresahan penulis, juga disajikan secara unik. Pasalnya, penulis memilih untuk mengemas puisinya dalam bentuk Sonian, Akrostik, Putiba, dan Soneta. Bentuk-bentuk puisi tersebut jarang sekali ditemui di tengah maraknya puisi modern.

Puisi dan Relasi Manusia

Kalau boleh saya katakan, manusia adalah salah satu bahan dasar puisi. Tak habis puisi membahas soal seluk beluk hidup manusia, termasuk relasi sosialnya. Dalam antologi puisi ini, penulis membahas banyak jenis relasi manusia.

Penulis menyoal relasi romansa melalui puisi-puisi bernuansa rindu. Misalnya pada puisi berjudul, ‘Kerinduan’, ‘Sekuntum Rindu’, dan ‘Senandung Malam’. Meski ketiga judul itu membahas perihal rindu, tetapi rindu yang datang bersama puisi tersebut beragam wujudnya.

Pada ‘Kerinduan’, penulis memperkenalkan rindu yang tak kenal pedih, yang tak peduli sebanyak apapun luka yang datang, ia tetap ada. Sedangkan dalam ‘Sekuntum Rindu’ dan ‘Senandung Malam’, penulis pun memperkenalkan rindu yang indah dan penuh harap.

Penulis juga menyinggung soal relasi terhadap diri sendiri. Pesan ini bisa didapatkan saat membaca puisi berjudul “Tentang Diri” dan “Bicara Pada Sukma”.

Menyoal relasi pada diri sendiri, perwujudan ini pun secara implisit dapat terlihat dari banyak puisi bernuansa liris. Penulis merekam ragam keadaan sehari-hari lalu diungkapkan dengan gaya bahasa yang imajinatif.

Hal tersebut dapat dirasakan saat penulis menceritakan perihal malam minggu yang kelabu, suasana senja hari, keajaiban pagi, magisnya pelangi, dan lain sebagainya.

Puisi-puisi liris tersebut seolah menegaskan bahwa untuk memahami hal-hal di luar diri, seseorang harus terlebih dahulu melakukan perjalanan ke dalam diri.

Satu yang tak luput dibahas penulis yaitu relasi manusia dengan Tuhan. Penulis berbicara soal takdir, kematian, dan doa. Ketiga hal tersebut, oleh seorang muslim tentu dikenal sebagai hak prerogatif Tuhan.

Siapa yang bisa menolak kematian sebagai bagian takdir Tuhan? Siapa juga yang mampu menolak dan menerima doa-doa yang dipanjatkan hamba kepada Tuhan?

Dalam puisi ‘Bukan Salah Takdir’, misalnya, penulis mengingatkan pembaca bahwa ketidakpuasan manusia terhadap takdir yang diterimanya bukanlah salah takdir itu sendiri. Menurut penulis hal itu bisa saja karena kesalahan kita yang terlalu banyak berprasangka.

Puisi dan Realitas Sosial

Karena banyak menyoal tentang manusia, tentu puisi menjadi dekat dengan realitas sosial. Saya selalu meyakini bahwa apalah arti seorang penyair tanpa kepekaan sosial yang tinggi? Menarik sekali, dalam buku ini, penulis membahas ketimpangan sosial kelas pekerja dan kaum urban.

Dalam puisi “Pukul Lima Sore’ dan ‘Mendung Kelabu’, gambaran kaum proletar yang hidup untuk bekerja dari pukul tujuh sampai pukul lima terpampang nyata. Mereka digambarkan tak sempat menikmati hidup kecuali di jalanan, dalam kemacetan.

Di lain sisi, pada puisi berjudul “Anak Emas Tuan” pembaca disuguhkan realita kaum kelas atas: orang-orang dengan segudang privilege.

Sayangnya, tak sedikit di antara mereka yang menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sampai-sampai penulis menyebut:

Hanya anak emas tuan
Bisa apa dia
Hanya tertawa congkak


Barangkali, puisi tersebut semacam respon penulis terhadap beberapa kasus anak-anak pejabat yang merugikan orang lain. Keresahan yang harusnya juga jadi kegelisahan kita bersama. Penulis menyuarakannya dengan sangat baik.

Tak luput juga, isu mengenai Palestina ditanggapi penulis dalam sebuah puisi khusus berjudul ‘Merah Saga Palestina’. Uniknya, judul tersebut dijadikan awal huruf pada setiap baris di puisi ini atau dikenal dengan akrostik.

Saya terenyuh meresapi kepedihan dalam puisi tersebut. Sungguh puisi memang mampu menggambarkan emosi yang bahkan tak tahu pernah ada di dalam diri kita.

Baca Juga: Review Buku Puing-Puing Mulut

Pandangan Reviewer tentang Buku Seduhan Kopi Dingin karya Hafshah Muslimah

Saya merasa, antologi puisi Seduhan Kopi Dingin seperti sebuah taman bermain. Penulis menyediakan banyak wahana ‘rasa’ yang bisa dicoba pembaca. Kita bisa menemukan puisi-puisi dengan kesan yang intim dan hangat.

Di lain halaman, puisi bernuansa satire pun bisa kita nikmati dengan santai. Sebagai pembaca, saya merasa digiring untuk mengeksplorasi banyak emosi.

Selain taman bermain bagi pembaca, kalau boleh saya katakan, antologi ini pun jadi taman bermain penulisnya. Penulis bereksperimen dalam merespon berbagai isu.

Setiap topik hampir punya proporsi yang sama. Benang merah dari setiap puisi yakni, seperti yang saya katakan di awal, mereka disajikan dalam bentuk Sonian, Akrostik, Putiba, dan Soneta.

Bentuk puisi juga kemahiran penulis mengemas topik simple menjadi menawan menurut saya jadi kekuatan buku Hafshah Muslimah.

Penulis mampu menampilkan sebuah ‘rasa’ dari berbagai sisi. Hal lain yang saya perhatikan, tampaknya penulis punya ketertarikan khusus terhadap diksi-diksi tentang alam.

Seringnya penggunaan kata-kata tersebut tidak membuat puisi-puisi itu membosankan, justru terasa semakin cantik dan indah!

Wawancara dengan Hafshah Muslimah

Reviewer: Yang paling membuat saya penasaran, mengapa Kak Hafshah memutuskan untuk menulis puisi dalam bentuk Sonian, Akrostik, Putiba, dan Soneta? Bentuk-bentuk puisi ini sudah jarang digunakan lho, Kak. Unik sekali!

Hafshah
: Wah, sebetulnya menulis puisi-puisi tersebut juga dikarenakan memang ada kelasnya. Jadi goal dari kelas tersebut ialah menghasilkan karya berupa kumpulan puisi dari materi-materi yang pernah disampaikan dalam kelas.

Reviewer: Karena pemilihan bentuk puisi yang nyentrik, saya jadi ingin tahu lebih dalam bagaimana Kakak bisa jatuh hati kepada puisi?

Hafshah
: Untuk puisi sendiri, sebetulnya sejak kecil saya sudah dibiasakan mendeklamasikan puisi dari satu lomba ke lomba lainnya. Akan tetapi jatuh hati pada puisi, baru tercipta sejak kuliah S1.

Saat itu banyak keresahan yang tidak bisa disampaikan secara gamblang, akhirnya memutuskan untuk menyampaikannya melalui puisi. Meskipun mungkin tetap saja belum tentu juga sang penerima pesan menangkap maksud dari makna puisi tersebut.

Reviewer: Dalam puisi Seduhan Kopi Dingin, Kak Hafshah menyebut kata kematian. Kalau boleh pembaca tahu, bolehkah Kak Hafshah jelaskan korelasi antara kopi dan kematian?

Hafshah: Di sini saya mengambil analogi kopi yang dibiarkan begitu saja tanpa diseduh, sampai akhirnya ia menjadi dingin. Sama seperti manusia yang terkadang begitu saja menjalani kehidupan tanpa pernah meresapi makna kehidupan sampai akhirnya kematian datang.

Reviewer: Kak Hafshah juga membuat satu puisi tentang “Ayah”. Menurut saya, puisi ini jadi salah satu yang paling berbeda topiknya dari puisi lainnya. Seberapa penting topik ini untuk disertakan dalam buku Kakak?

Hafshah: Puisi ini sebetulnya ditulis saat hari ayah dan saya cukup terinspirasi dengan kondisi fatherless yang terjadi kini, terutama di kota-kota besar.

Topik ini menjadi ikut penting karena memang antologi puisi Seduhan Kopi Dingin ini berkaca dari keadaan sekitar yang dialami penulis. Sehingga seperti yang sempat saya sampaikan sebelumnya bahwa saya menulis puisi terkadang untuk menyampaikan sesuatu tanpa perlu menggurui.

Reviewer: Saya lihat, ini merupakan buku kelima Kak Hafshah. Bisakah Kak Hafshah ceritakan bagaimana Kakak memilih topik dan bentuk tulisan untuk setiap buku Kak Hafshah? Mengapa juga harus antologi puisi?

Hafshah: Sebetulnya untuk pemilihan topik dan tulisan tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Ketika saya menulis, memang saya akan menulis apa yang terlintas dalam pikiran atau apa yang saya risaukan. Hanya saja memang momennya pas saat saya memutuskan untuk kembali menulis puisi, qadarullah ada kelas puisi yang langsung memfasilitasi untuk diterbitkan.

Mengapa harus antologi puisi? Mungkin karena novel, non fiksi & antologi cerpen sudah kali ya di buku-buku sebelumnya 😅🙏🏻

-

Penulis buku Seduhan Kopi Dingin dapat kamu sapa melalui laman Instagram @hafshahmuslimah.

Reviewer: Lupy Agustina

BACA JUGA: Review Buku Tinta Kehidupan
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url