Review Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya karya Abu Abdurrahman

Review Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya Karya Abu Abdurrahman
Syukur menjadi sebuah kata yang akrab di telinga kita. Akan tetapi, sesering apa kita melakukannya? Ternyata, meski mudah diucapkan, banyak yang masih kesulitan untuk melakukannya.

Benarkah sesulit itu untuk bersyukur? Bagaimana cara yang baik agar diri kita mampu untuk bersyukur dalam kondisi apapun?

Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya menjadi pengingat yang hangat bagi pembaca. Abu Abdurrahman memberikan uraian yang menyentuh hati tentang luar biasanya kata syukur.

Pembaca diingatkan untuk tidak abai pada hal-hal kecil, sebab pengabaian seperti itu banyak menghambat kita untuk bersyukur.

Agar lebih memahami nilai-nilai keteladanan yang ada pada buku ini, mari simak review berikut.

Baca Juga: Review Buku Puing-Puing Mulut

Review Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya Karya Abu Abdurrahman

Identitas buku

Judul: 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya
Penerbit: Onepeach Media
Pengarang: Abu Abdurrahman
Tahun: November, 2020
Isi: 160 halaman

Gambaran Umum Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya Karya Abu Abdurrahman

Buku 1001 Cara Mensyukuri Nikmat-Nya berisi nasihat religius. Selain membahas topik syukur, buku in pun memberikan kisah inspiratif beberapa nabi dan sahabatnya. Buku setebal 160 halaman ini terdiri atas 22 sub judul.

Manusia, Syukur, dan Relativitas

Tak ada hal yang terlalu kecil untuk disyukuri. Bersyukur bukan sesuatu yang mesti kita lakukan ketika hal luar biasa terjadi, melainkan dengan bersyukurlah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa.

Penulis membuka pembahasan tentang syukur dengan menggandeng teori relativitas Einstein. Penulis mengakui bahwa teori yang dikemukakan oleh sang ilmuwan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Apa yang dimaksud penulis dengan teori relativitas dalam hidup?

Berdasarkan pemahaman saya, penulis coba memaparkan bahwa tak ada kebenaran yang absolut kecuali kebenaran Tuhan.

Setiap sudut pandang manusia itu relatif: makna yang dihasilkan dari sudut pandang itu akan sangat bergantung pada siapa yang memproduksinya. Lantas, apa kaitan teori relativitas tersebut dengan rasa syukur?

Sebelum membahas hal ini, saya pikir, kita perlu sedikit melompat pada tulisan berjudul, “Rahasia Syukur”.

Mengutip yang dikatakan penulis, “Syukur adalah iman, syukur itu mengakui segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan, syukur itu tentang mengingat Tuhan.” Dari pernyataan tersebut, kita bisa mulai membuat benang merah antara relativitas dan syukur.

Penulis menggarisbawahi soal ‘pemberian Tuhan’ yang tak sama (kuantitas/kualitas) kepada setiap manusia. Jika tak pandai menyikapinya, bukan tak mungkin, seseorang akan selalu merasa tak cukup pada apa yang dimilikinya.

Sebuah pandangan yang benar-benar relatif. Di sinilah rasa syukur itu berperan. Sebagai manusia, kita mesti menyadari bahwa segala yang kita terima adalah atas izin dan kehendak Tuhan.

Paradoks adalah Sebuah Keniscayaan

Konsep ‘adil’ dalam kehidupan tidak terletak pada kesamaan jumlah atau kualitas. Keadilan dalam hidup justru terletak pada hal-hal yang paradoksial. Ada seseorang yang menjadi jutawan dengan kekayaan melimpah.

Di sisi lain, banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Beberapa kali kita mendapatkan rezeki besar tak terduga, tak jarang kita mendapatkan ketidakberuntungan.

Hal-hal demikianlah yang membuat hidup menjadi ‘adil’ dan seimbang karena kutub berlawanan tersebut selalu ada. Rasa syukur adalah jembatan penyeimbang di antara dua kutub itu.

Saat berada dalam kemewahan atau keberuntungan, penulis mewanti-wanti agar kita tidak terlena. Ketika berada dalam keterpurukan, kita tak boleh berputus asa terhadap rahmat Allah. Inilah wujud syukur yang sesungguhnya, menurut penulis. Penerimaan yang terbentuk dari rasa ikhlas dan juga sabar.

Allah sebagai Poros Kehidupan

Lupa untuk bersyukur, bisa membuat kita lupa kepada Allah. Menurut penulis, saat seseorang bersyukur dengan sepenuh hatinya, ia sedang membangun koneksi yang kuat dengan Tuhan. Artinya, saat seseorang lupa untuk bersyukur, ia tanpa sadar sedang mengingkari kekuatan Tuhan yang menggerakkannya.

Manusia selalu memiliki kecenderungan untuk self sentris. Menurut penulis, manusia selalu cenderung untuk mementingkan diri sendiri dibandingkan kebutuhan orang lain.

Sikap egosentris ini bisa membawa serta kesombongan karena merasa diri memiliki kuasa atas apa yang dilakukan. Semakin lama, semakin manusia lupa untuk mengingat otoritas Tuhan akan dirinya.

Penulis memaparkan bahwa manusia punya batas kemampuan. Ada hal-hal di luar dirinya yang tak biasa ia lakukan.

Untuk itu, menurut penulis, selalu menyertakan rasa syukur bisa menolong kita menjadikan Allah sebagai poros kehidupan: sandaran dan tumpuan untuk meminta pertolongan.

Baca Juga: Review Buku Tinta Kehidupan

Pandangan Reviewer tentang Buku 1001 Cara untuk Mensyukuri Nikmat-Nya karya Abu Abdurrahman

Telah banyak ulama yang membahas betapa pentingnya menyertakan rasa syukur dalam menjalani kehidupan. Namun, distorsi informasi di era media sosial, sebagaimana yang dikatakan penulis, banyak mempengaruhi cara kita memandang kehidupan yang kita punya.

Semakin mudah kita merasa iri, semakin sering kita merasa haus untuk punya apa yang dipunyai orang lain. Buku karya Abu Abdurrahman hadir sebagai ‘rem’ terhadap keinginan-keinginan duniawi yang tak ada habisnya.

Buku ini menyajikan pembahasan yang tidak basi meski topiknya banyak dibicarakan. Penulis menyertakan ilustrasi yang dekat dengan kehidupan pembaca seperti: membahas kehidupan artis dan para influencer, membandingkan kisah tokoh-tokoh terkenal, dan banyak lainnya. Ini membuat pembaca bisa cepat terkoneksi dengan pemaparan penulis.

Selain itu, pembaca juga diberikan kisah inspiratif nabi dan sahabatnya. Penyertaan bagian itu menjadi selingan yang menyenangkan.

Pembaca (saya terutama) seperti diajak kembali ke masa kecil saat masih senang membaca dan mendengarkan cerita teladan para nabi. Efek nostalgic-nya membuat kesan terhadap buku ini semakin bertambah.

Saya rasa, siapapun yang butuh asupan rohani di tengah gemerlap duniawi, sisihkanlah waktu untuk membaca buku 1001 Cara untuk Mensyukuri Nikmat-Nya.

Petuah dari orang yang berilmu selalu terasa bagaikan hujan di tengah padang tandus, sejuk dan menenangkan.

Wawancara dengan Penulis

Reviewer: Menyoal tentang rasa syukur, beberapa kali saya mendengar ada yang mengasosiasikannya dengan kemalasan: malas berusaha, malas berbuat lebih karena cenderung nrimo-nrimo saja dengan keadaan yang ada pada dirinya. Bagaimana Kak Abu menjelaskan hal ini?

Abu Abdurrahman: Malas berbeda dengan syukur. Kalau Syukur menerima setelah melakukan upaya terbaik. Kalau malas menginginkan sesuatu tanpa melakukan upaya.

Lawan dari syukur adalah kecewa. Setelah melakukan upaya yang maksimal, tapi hasil tak seperti yangg diharapkan, terkadang kita kecewa. Padahal apapun hasilnya itu merupakan takdir terbaik dari Sang Pencipta. Sehingga orang yang bersyukur akan terus maju melangkah dengan optimis menyikapi segala sesuatu. Sedangkan orang malas akan cenderung menghindar dari segala persoalan.

Reviewer: Saya sangat terkesan dengan cerita Kak Abu soal nabi Muhammad sebagai saudagar kaya melainkan hidup sederhana. Saya jadi teringat pada beberapa tokoh agama yang memperlihatkan kehidupan mewah mereka. Di satu sisi, kita berhak juga memberikan kehidupan yang nyaman untuk diri kita. Kakak sendiri, bagaimana menanggapi kondisi ini?

Abu Abdurrahman: Hidup nyaman tidaklah salah. Selama tidak berlebihan. Namun ukuran nyaman dan berlebihan tiap orang berbeda-berbeda.

Di Buku saya yang lain saya menjadikan sosok Semar sebagai contoh Semar adalah seorang abdi, rumahnya kecil, tak punya harta apa-apa, tapi ilmu spiritualnya luas sehingga banyak raja-raja meminta nasihat dari Semar ketika punya persoalan.

Pelajaran yang kita ambil, janganlah bermental materialistik. Kebutuhan kita dunia hanya sedikit, yang membuat kita terlena adalah keinginan kita. Padahal semua harta benda dan fasilitas dunia tidak akan kita nikmati selamanya.

Ada orang yang sudah merasa nikmat tidur di tikar, tapi ada orang yang masih mengeluh padahal tidur di kasur mewah. Jadi nikmatnya hidup tak selalu tergantung fasilitas, tapi mindset atau mindfulness kita untuk bersyukur.

Reviewer: Beberapa kali, Kak Abu menyoal tentang mental generasi muda masa kini yang cenderung ‘manja’. Menurut Kak Abu, sebagai orang dewasa, ‘kondisi susah’ seperti apa yang bisa kita berikan kepada mereka sebagai treatment agar mereka memiliki mental yang lebih mampu bersyukur?

Abu Abdurrahman: Tantangan sebagian orang tua saat ini, fasilitas dan teknologi jauh lebih mudah didapat dan diberikan kepada anak-anaknya. Orang tua pun selalu berusaha agar kehidupan anaknya selalu ideal. Padahal kenyataannya hidup tidak selalu ideal.

Maka dari itu kita perlu melatih anak untuk tidak selalu manja terhadap fasilitas dan teknologi. Ajarkan mereka untuk mandiri. Berikan tanggung jawab mengurus pekerjaan harian, seperti mencuci, membersihkan rumah, ajak mereka berjalan kaki jauh mengelilingi perkampungan dan pedesaan. Hal-hal seperti itu mungkin sudah menjadi kondisi susah bagi sebagian anak-anak generasi sekarang.

Reviewer: Saat membaca profil penulis, ternyata Kak Abu pernah menulis 2 buku lain yang ditujukan untuk perusahaan bukan? Nah, mengapa ide menulis buku yang cukup religius (menurut saya) bisa muncul di benak Kak Abu? Apa pemicunya?

Abu Abdurrahman: Benar, saya menulis buku Berjudul Denai Pelita Bangkanai dan KM38 bersama dua teman saya Emmy YR dan Rifqy @papanpelangi. Selain itu, saya juga menulis buku yang lain yaitu Semar Membangun Peradaban bersama Hesty NK Tyas dan Rifqy @papanpelangi tapi memakai nama pena yang lain yaitu A.T. Yudhistira.

Reviewer: Selain menulis, Kak Abu sendiri memiliki pekerjaan utama. Saya bayangkan, pekerjaan Kak Abu menangani proyek konstruksi itu luar biasa sibuknya. Bagaimana Kakak bisa menyiasati kesibukan pekerjaan dengan kesibukan menulis?

Abu Abdurrahman: Menulis adalah komitmen saya. Saya meyakini bahwa warisan yang langgeng, karya tulisan kita dapat dibaca sampai beberapa generasi.

Jadi saya selalu berusaha menyempatkan waktu ditengah kesibukan saya untuk menulis. Meski hanya 1 paragraf, atau satu kalimat jika inspirasi di kepala saya berusaha tulis.

Walaupun buku saya terselesaikan dalam waktu yang panjang (lebih dari 1 tahun). Tapi tidak masalah. Saya berterimakasih kepada teman-teman penulis lain yang selalu menginspirasi dan memotivasi saya bahwa tulisan saya layak untuk dibaca.

-

Penulis buku 1001 Cara untuk Mensyukuri Nikmat-Nya dapat kamu sapa lewat laman Instagram @angga_trisna.

Reviewer: Lupy Agustina

BACA JUGA: Review Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url