Review Buku The Book of DIS Volume II: Paradise Regained karya Jason Thamleonard

Review Buku The Book of DIS Volume II

Penuh dengan metafora. Begitulah saya bisa menggambarkan novel karya Jason Thamleonard. Buku ini merupakan buku kedua dari sekuel buku The Book of DIS.

Sebagaimana buku pertamanya, part kedua The Book of DIS penuh dengan excitement. Tak kaleng-kaleng, penulis menuntaskan kisah Para Malaikat Agung, Iblis, Kerajaan Surga dan Republik Neraka dalam 600 halaman!

Penasaran bagaimana kelanjutan kisah Kerajaan Surga dan Republik Neraka?

Mari simak review berikut.

Baca Juga: Review Buku Seduhan Kopi Dingin karya Hafshah Muslimah

Review Novel The Book of DIS Volume II: Paradise Regained karya Jason Thamleonard

Identitas Buku

Judul: The Book of DIS Volume II: Paradise Regained
Penulis: Jason Thamleonard
Penerbit: Euphoria Publisher
Halaman: 683
Tahun terbit: 2024

Novel volume kedua ini diterbitkan dengan halaman yang sangat panjang. Meski begitu, ceritanya sama sekali tidak membosankan.

Kalau pun hendak membaca volume kedua tanpa membaca buku pertama, alur kisah ini dapat dengan mudah dipahami.

Tema ceritanya juga universal dan menyentil banyak kenyataan dalam kehidupan manusia.

200 halaman pertama

Apa yang terjadi jika Surga dan Neraka dijadikan satu?

Akankah tirani kekuasaan yang dimiliki para Malaikat Agung runtuh lalu berganti menjadi sebuah demokrasi?

Tiga tahun setelah Kerajaan Surga ditaklukan oleh Neraka, para Malaikat Agung yang tersisa: Gabriel, Jeremiah, dan Raphael dijadikan tahanan perang.

Mereka dikurung di Asphodel, penjara yang sangat ketat. Di masa itu, Surga dan Neraka berhasil dijadikan satu Republik oleh satu-satunya penguasa: Lucifer.

Meski berhasil membentuk Federasi, banyak yang masih merasa bahwa penyatuan Surga dan Neraka bukanlah sesuatu yang benar.

Ironisnya, setelah revolusi penaklukan kekuasaan ratusan tahun Para Malaikat Agung, Lucifer beserta dua Imperator Regens-nya: Uriel dan Beelzebub harus menghadapi gerakan revolusi dalam kekuasaannya.

Salib Merah, begitu para pemberontak tersebut menamai diri mereka. Gerakan ini telah berkembang di luar Surga dan Neraka. Tepatnya di Bumi. Mereka membuat pasukan militan yang digerakkan oleh seseorang yang dipanggil Doktor.

Keberadaan Salib Merah cukup menggangu Beelzebub. Ia ingin memberantas kelompok pemberontakkan rendahan itu.

Selama ratusan tahun, Beelzebub memang dikenal sebagai Pangeran yang kharismatik dan cenderung licik. Ia adalah kepercayaan Lucifer bahkan setelah revolusi, ia lebih banyak mengurusi federasi ketimbang Lucifer sendiri.

Ketidakhadiran Lucifer dalam pengambilan keputusan-keputusan penting cukup menjadi desas-desus di kalangan para petinggi.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Lucifer sang Penakluk?

Siapakah Sang Doktor yang berada di balik Salib Merah?

Pemberontakkan macam apa yang akan terjadi kemudian?

200 halaman kedua

Jika Lucifer memegang pangku kekuasaan tertinggi, maka Beelzebub dan Uriel adalah representasi dari Neraka dan Surga.

Kendati tak begitu menyukai Malaikat Agung Uriel, Beelzebub tak bisa menyingkirkannya begitu saja. Malaikat narsis itu, menurut Beelzebub tetap dibutuhkan untuk memimpin Republik Surga.

Sembari Beelzebub menangani kondisi Lucifer yang semakin melemah, Salib Merah mulai bertindak lebih jauh. Meski banyak yang bergabung dalam federasi, bukan berarti tak ada pengkhianat. Beelzebub jelas tahu itu.

Serangan Salib Merah di lingkar tiga neraka membuatnya semakin waspada. Ia memerintahkan Para Dosa—tangan kanannya—untuk mencari lebih banyak pengkhianat di antara para petingginya, selain Jophiel yang sudah berhasil ia ketahui.

Setelah serangan di Lingkar Tiga Neraka, sebuah kejadian besar terjadi. Coelum Crystallinum runtuh. Simbol kekuasaan Para Malaikat Agung itu luluh lantak.

Tak menyisakan apapun termasuk Lucifer dan Beelzebub di dalamnya. Hal ini menimbulkan kekacauan di dua republik. Di sisi lain, di tempat Salib Merah, Sang Doktor justru telah bersama Lucifer—atau mungkin orang lain?

Sebuah fakta muasal segala kekacauan ini pun mulai bermunculan. Ratu Eritahrmon memanggil kembali Beelzebub ke Tharmas, kerajaan kegelapan sesungguhnya.

Tak di sangka, di kegelapan neraka paling purba itulah, sebuah ancaman besar sedang mengintai. Hal apa yang sebenarnya terjadi kepada Lucifer dan Beelzebub?

Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Doktor dan Salib Merah? Siapakah musuh sesungguhnya dalam peperangan ini?

200 halaman ketiga

Bagaimana jika semua pemberontakkan ini hanyalah omong kosong nasionalisme? Beelzebub yang selama ini menjadi musuh para simpatisan Salib Merah, justru meminta untuk bekerja sama?

Rencana pembebasan 3 Malaikat Agung tak berjalan sesuai rancangan sang Doktor. Saat datang ke Asphodel, tempat itu telah luluh lantak tak bersisa.

Di tempat itu juga, pada akhirnya, pemimpin Salib Merah itu menyadari hal yang amat menjijikkan. Selama ini, ada obsesi seseorang yang luput dari jangkauannya. Seseorang yang ternyata berniat menghilangkan sosok terkasihnya, lagi.

Pertarungan yang dihadapi Doktor telah berubah arah. Kini, ia mesti menghadapi kekuatan besar yang melebihi jangkauannya. Di samping itu, sebuah suara telah memanggilnya untuk kembali. Suara dari kedalaman yang purba, suara sang Ibu.

Bagaimana nasib Republik Surga dan Neraka kelak?

Apakah Sang Doktor dan Salib Merah berhasil memenangkan revolusi?

Siapakah Ibu yang dimaksud oleh Cassiel?

Mengapa ia mendengar suara-suara itu?

Semua ketegangan dan aksi heroik ini benar-benar tak boleh dilewatkan sedikit pun.

Lima Karakter Menarik dalam Novel ini

Cassiel

Seorang gadis polos tapi amat berbahaya. Ia malaikat yang bijaksana sekaligus cerdas. Gadis ini terpilih menjadi Manathu Varycon dari sebuah kekuatan gelap yang purba.

Beelzebub

Pada Kejatuhan yang kedua, ia diangkat menjadi Imperator Regens. Tangan kanan sang Lucifer. Jauh sebelum itu, ia adalah sahabat baik Lucifer. Iblis ini merupakan sosok yang cerdik, penuh taktik, dan licik.

Uriel

Ia merupakan salah satu dari 5 Malaikat Agung.

Ketika saudara-saudaranya dipenjarakan oleh Lucifer, Uriel justru menjabat sebagai Imperator Regens selayaknya Beelzebub.

Ia dipercaya Lucifer untuk memimpin Republik Surga. Di balik sosoknya yang narsis, Ureil menyimpan hasrat yang mematikan.

Daniel

Malaikat yang tak akan jatuh. Malaikat yang penuh rasa tulus dan pengampunan. Ia adalah kekasih Cassiel. Segala pengorbanan berdarah Cassiel dilakukan hanya untuk menyelamatkan pria ini.

Di lain sisi, Daniel juga menjadi raga yang mewadahi dua malaikat agung lainnya. Siapakah kedua malaikat ini?

Alecto

Di lingkaran Salib Merah, pria ini dikenal sebagai Pujangga. Ia pandai berkata manis tetapi juga yang paling diandalkan oleh Doktor.

Alecto hidup mengabdikan dirinya pada Ordo, pada keadilan dan kebenaran. Ia ingin Neraka dan Surga berdiri masing-masing dengan otoritasnya sendiri.

Tempat-Tempat di Republik Surga dan Neraka

Asphodel

Kompleks dengan penjagaan paling ketat se-Republik—memiliki sirene yang dijuluki ‘Nyanyian Maut’ oleh para narapidana dan penjaga karena implikasinya: bunyi sirene itu biasanya berujung pada maut.

Halicarnassus

Markas legendaris Salib Merah yang berada di Bumi.

Coelum Crystallinum

Dinamakan Primum Mobile oleh para Malaikat Agung.

Sebuah benteng langit yang letaknya selalu berubah-ubah. Menara paling megah dan tinggi di Republik Surga

Tharmas

Tempat di Neraka. Penaungan Enitharmon dan putra-putrinya, sarang Iblis Khthonik.

Baca Juga: Review Novel ORMOVIDA karya Adin Suryaningrat

Pandangan Reviewer Terhadap Buku The Book of DIS Volume II: Paradise Regained karya Jason Thamleonard

Saya pikir, siapapun yang selesai membaca The Book of DIS akan sepakat bahwa novel ini membuka banyak gerbang pengetahuan baru. Pembaca manapun dapat dengan jelas menemukan perpaduan riset dan imajinasi yang luar biasa.

Menurut saya pribadi, sebagai pembaca, novel ini menghadirkan perasaan yang sama saya rasakan saat membaca Harry Potter! Penulis begitu piawai menggambarkan latar-latar tempat bak di negeri dongeng. Belum lagi adegan laga di novel ini sangat menegangkan dan sempurna!

Namun, yang membuat saya lebih terpukau, bagaimana penulis membuat novel ini berkisah tentang “apa” sebagai peran utama dan bukan “siapa”.

Jika biasanya sebuah cerita digerakkan oleh tokoh utama, menurut saya, kisah ini digerakkan oleh ‘ide’ penulis itu sendiri. Cerita ini punya karakter utama. Penulis memberikan proporsi yang cukup. Akan tetapi, penulis menarik benang merah soal cinta-pengkhianatan-ketamakan di semua karakter.

Hal tersebut membawa saya pada kesimpulan lain, “Ah, barangkali penulis hendak menyindir kehidupan itu sendiri yang pada dasarnya tak ada satu manusia pun yang menjadi peran utama?” 

Bukankah peran utama dalam hidup yang kita jalani yakni ide tentang hidup itu sendiri? Entahlah. Namun, menurut saya asumsi-asumsi ini amat mendebarkan.

Ada pula yang tak kalah mendebarkan, pada keseluruhan cerita, saya diberikan tsunami paradoks. Selama ini, saya tertambat pada ingatan bahwa “malaikat” adalah representasi dari segala hal baik sedangkan ‘iblis’ sebaliknya.

Begitupun jika membaca kata ‘Surga’. Ingatan kita akan terlempar pada segala yang indah dan berkilau tetapi tidak dengan kata ‘Neraka’.

Bagaimana dengan kisah soal Malaikat dan Iblis di buku ini? Bersiaplah untuk tak mendapatkan kelaziman-kelaziman yang biasa kita tahu.

Masa bodoh dengan ambisi Cassiel dan obsesi Beelzebub soal cinta dan kekuasaan! Bagi saya, isi buku ini adalah pemberontakkan itu sendiri.

Penulis seperti mengajak kita mempertanyakan Surga dan Neraka yang selama ini kita kenal. Benarkah kita sudah berpikir secara lurus saat menginginkan surga?

Apakah keinginan akan Surga bukan sebuah ketamakan? Sudahkah kita melihat dengan hati yang jernih tentang Neraka? Apakah asumsi kita soal neraka dan pada pendosa bukan sebuah kesombongan?

Sebuah buku, saat ia terlahir menjadi karya, merupakan entitas bebas. Ia bisa ditafsirkan oleh pembacanya secara manasuka.

Apa yang saya rasakan tentu akan berbeda bagi pembaca lain. Namun, satu hal yang tak akan saya ragu, bahwa buku ini patut berada di rak bukumu. Rasakan sendiri kengerian dan keajaibannya.

Wawancara dengan penulis

Reviewer: Novel ini berkisah tentang Surga, Neraka, Iblis, dan Malaikat. Hal-hal yang kita tahu amat dekat jaraknya dengan ‘Tuhan’. 

Tapi, kalau saya tak salah ingat, agaknya tak sedikit pun disinggung di buku ini soal kekuatan Tuhan? Mengapa demikian? Ataukah saat Beelzebub dan Cassiel berkata soal ‘Takdir’ itu sedang membicarakan soal Tuhan?

Jason: Benar! Dalam duologi ini saya tidak pernah menyangkut-pautkan kejadian atau plot apa pun pada kuasa atau karya ‘Tuhan’.

Secara prinsip, Dis Volume I dan II memang saya susun sebagai cerita sekuler—Surga dan Neraka diimajinasikan sebatas dua negara yang bertentangan dalam ideologi, serta status ‘Malaikat dan Iblis’ hanya ras dan kewarganegaraan.

Bagi saya, keputusan kepenulisan ini malah menambah misteri dan daya tarik keimanan yang kita miliki di kehidupan nyata, karena di cerita saya, para Malaikat dan Iblis ini bahkan sama tidak tahunya tentang keberadaan Tuhan seperti kita.

Mereka tidak pernah melihat, mendengar, atau bicara dengan yang Ilahi, hanya merasakan benang-benang tak terlihatnya mengatur segala peristiwa, sutradara agung Alam Semesta.

Jadi, mungkin analisis yang diajukan pertanyaan ini ada benarnya juga—saat Beelzebub dan Cassiel bicara ‘Takdir’, mereka mungkin sedang bicara soal ‘Tuhan’ yang mereka pahami. Saya kembalikan ke interpretasi pembaca, hehehe…

Lagipula, saya juga tidak sampai hati menulis kisah di mana Malaikat-Malaikat yang ‘dibeking’ oleh Tuhan bisa-bisanya kalah melawan sekumpulan Malaikat berandal…

Reviewer: Salah satu kaliamt yang membuat saya terkesan yakni saat Beelzebub berkata, “Malebolge terbuka, menunggumu hingga masa bulan sabit selesai”.

Penggunaan frasa ‘masa bulan sabit selesai’ bagi saya sangat indah dan relevan dengan latar cerita. Bagaimana penulis bisa tetap ajeg dalam membangun cerita terutama dalam pemilihan kata?

Jason: Oh, saya ingat menulis adegan itu—saat Beelzebub menyiarkan tuntutan agar gerakan Salib Merah menyerah pada Republik, kalau tidak salah? Terima kasih kalau dirasa frasanya indah, hehe…

Bagi saya, konsistensi dalam kepenulisan dan membangun cerita bisa terjadi saat si penulis seratus persen menenggelamkan diri ke dalam ceritanya—bukan cuma menulis, tetapi menghidupi dan meyakini segala rasa dan logika karakter-karakternya.

Kita harus percaya bahwa karakter kita benar-benar nyata, dan kita harus menjadi sutradara, penulis naskah, dan aktor sekaligus. Dengan begitu, dialog dan tindakan mereka akan terbuka dan mengalir sendiri.

Saya beberapa kali merasakan itu—perasaan tenggelam dan tidak sadar menulis sampai tiba-tiba babnya selesai, dan setelah dibaca ulang bab itu kualitasnya memang oke. Apa yang hendak disampaikan si karakter, bagaimana tone atau gaya tuturnya, bahasa tubuhnya, itu tertulis natural. 

Kadang, kita terlalu fokus pada bagian ‘menyampaikan’ plot cerita sampai-sampai kita lupa ‘menghidupi’, sehingga tulisan menjadi dingin dan kaku. Itu yang selalu saya coba hindari—terlalu banyak pakai otak alih-alih hati.

Makanya, menulis fiksi memang harus juara bengong, hahaha. Dan kalau untuk pemilihan kata, buat saya tidak ada jalan pintas.

Harus banyak baca, banyak makan tulisan orang lain, buka cakrawala kita. Seperti kata Philip Pullman, salah satu penulis favorit saya (yang juga menjadi inspirasi saya menulis Dis):

“Penulis itu seperti lebah yang mengumpulkan nektar dari berbagai spesies bunga untuk membuat madunya sendiri.”

Reviewer: Di beberapa bagian, penulis menyebut soal ‘lingkar 3 neraka’. Saya jadi teringat dengan 9 lingkaran neraka dari Dante Alighieri. Apakah hal ini juga berkesinambungan dengan itu? Bisakah penulis jelaskan?

Jason: Ini juga benar sekali! Dante Alighieri, 'Il Sommo Poeta', adalah inspirasi saya dalam worldbuilding Dis.

Dalam batang tubuh magnum opus-nya, Divina Commedia, Dante menulis tentang Neraka (Inferno), Purgatorium, dan Surga (Paradiso) dengan sangat visual dan imajinatif. Sembilan lingkar di Republik Neraka terinspirasi secara langsung oleh Inferno Dante, juga nama dari buku ini (Dis adalah ibukota Neraka di Inferno, dimulai di lingkar enam).

Malebolge (lingkar delapan) dan nama-nama para Malebranche juga dari Inferno. Itu sumbangsih Divina Commedia Dante dalam karya saya—ide sembilan lingkar dan daftar nama karakter...

Reviewer: Bagian cerita yang mana yang menurut penulis paling sulit dibangun di novel ini, mengapa?

Jason: The Book of Dis, walaupun dibelah menjadi dua volume, sebenarnya adalah satu cerita utuh. Cerita ini dibagi menjadi lima babak—mengikuti tradisi teater Yunani Kuno dan arketipe Hero’s Journey yang banyak dipakai dalam fiksi fantasi.

Bagi saya, bagian cerita yang paling sulit ditulis di volume kedua ini adalah babak terakhir (Bagian Lima, mencakup bab 71 s.d. 82). Ini adalah babak penutup duologi Dis yang merampungkan segala perjalanan karakter kita.

Tentunya, untuk kisah dengan proporsi sebesar ini, saya harus menulis akhiran yang memadai, dan itu menjadi beban berat yang menghantui saya sejak saya memulai kata pertama di prolog.

Bagaimana saya bisa mengeksekusi ending-nya dengan sempurna nanti? Dan saya bukan hanya harus menulis akhir dari plot Dis yang seperti anyaman rotan (dan tiap ujung-ujungnya harus diikat mati, tidak ada yang boleh lepas), tetapi juga akhir dari development arc masing-masing karakter saya secara puitis dan mumpuni.

Jujur, bagi saya jauh lebih sulit memahat karakter ketimbang merancang plot. Semua terbayar saat saya menulis epilog—rasanya sungguh seperti berpisah dengan kawan-kawan lama, dan itu cukup mengharukan.

(Dan, kalau pembaca cukup teliti, pembaca mungkin akan notice bahwa kalimat terakhir Dis di epilog volume dua adalah cerminan kalimat pertama prolog Dis di prolog volume satu.)

Reviewer: Terlepas dari ide cerita tentang pemberontakkan, saya mengagumi buku ini sebagai wujud pemberontakkan itu sendiri. Keresahan apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan lewat senua metafora Surga-Neraka, Malaikat-Iblis dalam cerita ini?

Jason: Jika digali, mungkin Dis bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap tirani yang menyamar di balik demokrasi, seperti yang terjadi di Pandemonium Republik Neraka yang lama kelamaan jatuh dalam korupsi dan kembali ke aristokrasi.

Digali lebih dalam lagi, Dis juga mengkritik ekstremisme dan radikalisme iman, seperti yang terjadi di Kerajaan Surga dan fanatisme buta bangsa Malaikat pada para Malaikat Agung mereka. Namun bagi saya, jantungnya Dis adalah alegori keabu-abuan manusia; bahwa tidak ada manusia yang ‘sungguh-sungguh’ baik atau jahat.

Dua istilah tersebut adalah cerminan perilaku yang bersifat efemeral dan kontekstual, bukan definisi karakter seseorang—seperti layaknya di duologi ini kita bertemu dengan Iblis yang ‘baik’ dan Malaikat yang ‘jahat’. 

Satu hal yang Dis ajarkan pada saya adalah selama manusia merasa berkuasa dan lebih tinggi di atas manusia lain, selama manusia berlagak dan petantang-petenteng dengan kuasa atau bakat yang dianugerahkan pada kita alih-alih menggunakannya untuk kebaikan bersama, tidak akan ada kedamaian sejati. Tidak akan ada Republik Sejati.

-

Penulis buku The Book of DIS dapat kamu sapa melalui laman Instagram @jasonthamleonard. Baca juga ulasan karya pertamanya dalam postingan review novel The Book Of DIS volume I.

Reviewer: Lupy Agustina.
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url