Review Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung karya Hapsari Eby

Review Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung karya Hapsari Eby

Kesehatan mental masih menjadi isu yang krusial di kalangan masyarakat. Pasalnya, banyak orang yang masih beranggapan bahwa depresi dan penyakit kesehatan mental lainnya umpama ‘hantu’; mengada-ada dan tidak nyata. Akibatnya, para penderita depresi semakin tidak aman untuk mengakui kondisi kesehatan mental mereka.

Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung bisa membuka mata pembaca untuk lebih memahami kondisi mereka yang sedang menderita penyakit kesehatan mental.

Untuk lebih memahami isi novel ini, mari simak review berikut.

Baca Juga: Review Antologi Puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak

Review Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung karya Hapsari Eby

Identitas buku

Judul: Perlahan Meninggalkan Gelembung
Penerbit: Ellunar Publisher
Pengarang: Hapsari Eby
Tahun: Desember, 2023
ISBN: 978-623-385-456-6
Isi: 385 halaman

Gambaran Umum Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung karya Hapsari Eby

Novel ini diceritakan dari sudut pandang Wia dewasa, sang tokoh utama. Memiliki alur campuran, Wia dewasa menceritakan hidupnya di masa lalu tepatnya saat dia SMA. Sepanjang masa SMA itu, jika orang lain menghabiskan waktu bersenang-senang, Wia justru mengalami banyak peristiwa pelik dan memilukan.

Ia dibesarkan oleh seorang ibu tunggal. Ibunya memiliki karier yang hebat sebagai arsitek. Di balik kehebatan kariernya, sang ibu justru menjadi sosok yang paling menakutkan bagi Wia. Di tengah ketakutan Wia terhadap ibunya, ia bertemu Budi.

Berbeda dengan Wia yang tidak populer, Budi adalah anak band yang banyak dikenal oleh teman-teman di sekolah mereka.

Dari pertemuan tidak sengaja itu, akhirnya mereka menjadi dekat karena satu hal: anime. Namun, jauh di balik kesukaan mereka terhadap anime, ada benang kuat yang mengikat mereka berdua. Benang yang pada akhirnya membuat mereka harus berpisah.

Bagaimana kelanjutan hubungan antara Wia dan ibunya? Apa yang menjadi penyebab Wia mengalami banyak kejadian yang menyesakkan? Bisakah Wia dan Budi berhasil melewati masalah dalam hubungan mereka dan diri mereka sendiri?

Perkenalan Tokoh

Widya Gian Asmita

Seorang anak perempuan yang ambisius dengan prestasi akademik yang membanggakan. Ia selalu menjadi ranking satu di kelasnya.

Saat kelas XI, sesuatu yang buruk mulai terjadi padanya. Wia—begitu panggilannya—mulai tidak tertarik belajar. Sepanjang hari ia hanya menonton anime, bahkan bersama Budi, ia membolos sekolah. Puncaknya, karena sebuah kejadian, Wia akhirnya diskors, ia meninggalkan sekolah dan bahkan, ibunya.

Sadananda Budi

Seorang anak laki-laki yang populer. Ia menjadi anggota band sekolah.

Sama seperti Wia, Budi memiliki masalah yang dipendamnya sendiri. Kematian mamanya, memberikan trauma yang luar biasa bagi Budi. Ia sampai tak bisa melakukan hal yang paling ia sukai yaitu bermain musik.

Ibu Wia (Bu Salwa)

Seorang ibu tunggal sekaligus wanita karier.

Sebagai seorang ibu, ia sangat tegas dan keras. Bu Salwa tak ragu memukul atau membanting sesuatu kepada Wia saat anaknya itu tidak berhasil mendapatkan nilai akademik yang sempurna.

Akan tetapi, di balik sikapnya itu, sang ibu memiliki hidup yang tak kalah menyedihkan.

Konflik Cerita

Bisakah kamu bertahan saat ibu, satu-satunya keluargamu, justru menjadi seseorang yang paling membuatmu trauma? Selama 17 tahun, Wia hidup dalam kediktatoran ibunya. Ia dipukuli, dicekik, bahkan diusir dan tidak diakui sebagai anak.

Saat bersama Budi, Wia merasa dunianya baik-baik saja. Budi menemani Wia melewati banyak hal buruk. Sayangnya, Wia terlambat menyadari bahwa kondisi Budi tak lebih baik dari dirinya. Mereka harus merelakan hubungan mereka pada akhirnya.

Konflik yang dialami tokoh Wia dalam cerita ini begitu rapat dan intens. Bahkan, membayangkan saya mengalaminya sendiri, rasanya tidak sanggup.

Berhasilkah Wia keluar dari gelembung yang menahan dirinya selama ini? Mampukah Wia berdamai dengan ibunya setelah semua trauma yang ia alami?

Mental Health and Intergenerational Trauma

Trauma bisa diturunkan. Bukan secara genetis melainkan melalui pola pengasuhan. Poin ini menjadi salah satu concern penulis.

Ketika Wia menjadi jurnalis, pembaca diajak untuk mendalami penyebab trauma yang dirasakan oleh Ibu Wia. Kemiskinan, kehidupan yang keras, keluarga yang berantakan, hal tersebut menjadi trauma yang mendalam bagi Ibu Wia.

Trauma yang dialami Ibu Wia tanpa sadar diturunkan kepada Wia. Pola seperti inilah yang dikatakan sebagai intergenerational trauma. Ibu mungkin sedang berusaha membuat Wia menjadi orang yang kuat.

Akan tetapi, karena trauma yang dimilikinya belum sembuh, Ibu justru bersikap defensif dengan menumpahkan semua kecemasannya kepada Wia.

Di sinilah pentingnya kesadaran terhadap isu kesehatan mental. Kondisi mental seorang ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Sayangnya, saat itu, Ibu Wia belum mendapatkan akses pada hal yang berkaitan dengan kesehatan mental.

Depresi dan penyakit kesehatan mental lainnya itu nyata. Diasuh oleh ibu yang memiliki kondisi yang khusus, Wia harus menerima bahwa dirinya mengalami depresi.

Saya harus berhenti berkali-kali. Rasa frustrasi Wia sungguh menyesakkan. Untungnya, lahir di era internet, Wia sudah melek tentang kondisi kesehatan mentalnya. Meski harus melewati alur cerita yang amat rumit, dia mencari bantuan profesional setelah menyadari kondisinya itu.

Kesempatan dan Kemiskinan Struktural

Kemiskinan adalah isu yang sangat kompleks. Salah satu penyebab kemiskinan berkaitan dengan struktur sosial. Banyak masyarakat yang tidak mendapatkan akses pada sumber daya yang tersedia di sekeliling mereka.

Contohnya, akses pada pendidikan tinggi, bahkan hal yang paling mendasar sekalipun seperti kebutuhan air bersih dan listrik. Keterbatasan akses ini berdampak pada kesempatan terhadap penghidupan yang lebih baik.

Dalam hal ini, Wia menceritakan soal kehidupan ibunya ketika remaja. Ibu dapat berkuliah lalu berkarier sebagai arsitek karena dukungan nenek Wia.

Guru-guru di sekolahnya pun ikut men-support ibu untuk meneruskan pendidikan. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi teman-teman ibu lainnya. Mereka tidak punya kesempatan untuk menjangkau kondisi finansial yang lebih baik. Terus terkurung dalam kemiskinan.

Isu kemiskinan struktural juga disinggung penulis melalui proses penyembuhan mental Wia dan Budi. Kedua remaja ini terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Mereka bisa dengan leluasa menggunakan sumber daya di sekitarnya untuk mencari bantuan profesional.

Di lain sisi, kita menemukan banyak sekali kasus bunuh diri di kalangan masyarakat bawah. Boro-boro pergi ke psikolog atau psikiater, mereka akan lebih memilih menggunakan uang itu untuk biaya makan sehari-hari. Sungguh sebuah ironi yang nyata.

We Always Worthed Kindness

Penyembuhan diri terhadap trauma bukanlah hal yang mudah. Wia harus menjalani banyak sesi terapi sampai ia dewasa. Ia tahu betul alasan dibalik sikap ibunya yang sangat kasar. Kehidupan ibunya amat keras.

Saya suka saat penulis memberikan Wia pemahaman bahwa sekeras apapun hidup ibunya, sikap kejamnya tak bisa dibenarkan. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan baik. Tak ada kebaikan dalam perbuatan kasar, baik dari ucapan maupun tindakan.

Baca Juga: Review Novel Hanasta Mayapada

Pandangan Reviewer terhadap Novel Perlahan Meninggalkan Gelembung karya Hapsari Eby

This novel is really impactful for me as woman, a child, and a future mom. But, it’s a little warn for who wanna read this: pastikan dirimu dalam kondisi mood yang baik. Pasalnya, aura depressing Wia sangat kental.

Saya sampai harus mengambil jeda cukup lama untuk melanjutkan bab per babnya. Saya menangis, merasa kesal, sedih, dan sesak. Benar-benar menguras cukup banyak emosi.

Perlahan Meninggalkan Gelembung, harus jadi salah satu wishlist novel untuk pembaca di tahun ini. Walau menguras emosi, pembaca akan mendapatkan banyak sekali perenungan terkait esensi menjalani hidup.

Melalui tokoh Wia, penulis benar-benar mencurahkan pemikiran mendalamnya sampai saya bertanya-tanya, apakah ini sebuah kisah nyata?

Hapsari Eby berhasil menyajikan kisah yang kelam sekaligus magis. Meski harus beberapa kali berhenti, saya tak bisa untuk tak menyelesaikan kisahnya.

Jika Wia benar-benar ada, rasanya saya ingin berlari memeluknya sambil berkata: You did well. You survived.

Wawancara dengan Hapsari Eby

Reviewer: Salam kenal, Kak Hapsari. Terima kasih banget sudah menulis novel ini! Saya habis berlembar-lembar tisu saat membaca kisah Wia. Nah, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terkait novel ini. Semoga Kak Hapsari berkenan menjwab, ya.

Pertama, ini hal yang terus terngiang di benak saya. Apakah tokoh dan kisah Wia yang Kakak tulis ini berasal dari kisah nyata? Pasalnya, semua yang Kakak gambarkan tentang sosok Wia sangat intens dan bikin pembaca ngerasa kalut juga.

Hapsari: Halo Teh Lupy, salam kenal juga. Terima kasih telah membaca karya saya.

Semua elemen yang saya gabungkan di PMG (Perlahan Meninggalkan Gelembung) adalah adonan yang saya tangkap dari berbagai waktu, kejadian, dan sumber.

Sejak bekerja menjadi pengajar di sekolah non-formal, saya melihat berbagai masalah akademis yang dihadapi siswa dan merasa aneh. Mengapa ada siswa yang kecewa dengan nilai 97? Mengapa ada orang tua yang panik bila peringkat anaknya turun satu? Mengapa ada siswa yang terus belajar hingga tidak punya kegemaran? Mengapa ada orang tua yang kecewa berat bila anaknya tidak menguasai semua pelajaran? Mengapa iklim persaingan di sekolah semakin ketat? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Saya merasa aneh karena saya sendiri, ketika menjadi siswa, tidak mengalami dan merasa tertekan seberat itu. Orang tua saya bukan tipe penuntut, tidak pernah memerintahkan saya untuk belajar dan berlatih soal, mendapat nilai jelek pun tidak pernah saya dimarahi.

Di lain waktu, saya juga punya kekhawatiran yang sama dengan orang-orang lain mengenai syarat melamar pekerjaan yang semakin tinggi kriterianya, harga hunian dan barang-pangan yang semakin melonjak, serta lingkungan yang terasa semakin tidak nyaman ditinggali. Lalu kedua hal ini terjalin, saya berpikir bahwa tekanan dan rintangan ekonomi yang semakin sulit akan membuat tuntutan terhadap siswa semakin tinggi juga.

Habisnya, itu yang harus mereka hadapi setelah menamatkan pendidikan. Pencapaian yang bagus bisa mengurangi kesulitan mereka. Di sisi lain, tuntutan itu tidak selalu tepat. Selain itu, efek samping dari tuntutan itu tidak bisa diabaikan, apalagi bila terjadi dalam waktu yang lama.

Topik kesehatan mental ini sudah menarik perhatian saya sejak pandemi tahun 2020. Saya pernah berkonsultasi pada psikolog dan psikiater, untuk masalah yang berbeda dari Wia. Mengalami hal itu—di saat bersamaan membaca tulisan-tulisan yang meremehkan kesehatan mental—membuat saya kesal.

Saya ingin menaruh semua argumen saya di satu tempat. Kenapa tidak sekalian saja mengaitkan topik ini dengan dua masalah di atas? Saya yakin ada benang merahnya. Namun, saya bukan psikolog. Jadi dalam menulis novel ini, saya meminta seorang psikolog untuk mengulas dan mengoreksi, kalau-kalau kalimat saya menyesatkan.

Di lain waktu (lagi), saya merasa hubungan antara Ibu dan anak perempuannya itu unik. Ibu, sebagai perempuan dewasa, sedang menghadapi tantangan sebagai perempuan dan anak perempuan melihat kehidupan ibunya sebagai peta. Bisa bilang begini karena setelah saya mengamati rekam jejak nenek dan ibu saya, pemahaman saya akan dunia saya sendiri menjadi lebih masuk akal. Meskipun saya bilang unik, saya juga punya unek-unek yang menghubungkan topik Ibu dan anak perempuan ini dengan topik-topik yang sebelumnya saya sebut.

Setelah semua benang dari berbagai kata kunci itu terjalin, frasa ‘masa remaja’ berubah rupa. Cenderung samar-samar, berkabut, kehilangan cahayanya, tidak ada senyumnya. Bila yang disebut ‘kisah nyata’ itu berarti dari kehidupan seseorang, satu orang yang masih hidup, jawabannya tidak.

Tetapi hal-hal yang terjadi di hidup Wia, saya rasa terjadi juga di hidup banyak orang, entah serpihannya atau keseluruhannya. Batas fiksi dan kisah nyata memang buram dan saya suka itu.

Reviewer: Mengapa Kakak memasangkan Wia dengan tokoh Budi? Mengapa tak pilih tokoh yang cenderung lebih ‘sehat’? Apakah sengaja ingin membuat pembaca bertambah sesak? Hehe.

Hapsari: Ketika membangun sosok Wia, saya ingin Wia tidak hanya menjadi orang yang mengalami gangguan, tetapi juga menjadi pengamat dan berurusan dengan orang lain yang mengalami gangguan. Untuk itu saya butuh Budi dengan keadaannya yang berat.

Sejauh apa Wia sebagai penderita dapat memahami penderita lain? Ada hal yang mampu Wia pahami. Ada tindakan yang Wia tahu dia harus melakukannya. Namun, saya ingin menunjukkan bahwa tidak setiap saat Wia paham, tidak setiap saat komunikasi mereka mulus, dan tidak setiap saat Wia tahu apa tindakan yang tepat. Makanya saya menunjukkan bahwa ada hal yang masih kurang dipahami Wia tentang masalah Budi bahkan setelah hal itu berlalu bertahun-tahun.

Sosok Budi juga berfungsi sebagai ‘kolaborator’ dalam menjaga keberlangsungan gelembung. Saya ingin menunjukkan fase saat Wia terlena oleh gelembungnya secara bertahap. Tujuan saya adalah fase ini harus terasa nyaman, lambat, bikin ketagihan untuk tokohnya, tetapi berbahaya.

Kalau Budi tidak mengalami gangguan, sepertinya Wia tidak akan menciptakan gelembung atau gelembungnya meletus dalam waktu cepat.

Reviewer: Saya cukup takjub saat tiba-tiba menemukan konten tentang anime di novel ini. Bagaimana awalnya itu bisa diputuskan untuk berada di dalam novel? Cukup unik menurut saya.

Hapsari: Dari awal saya bertanya-tanya, apa yang bisa menghubungkan Budi dan Wia? Lalu saya menilik lagi koleksi novel remaja di rak buku dan membandingkannya dengan kehidupan remaja yang saya alami. Bukankah anime telah menjadi bagian dari kehidupan remaja sejak teknologi internet berkembang?

Saya dan teman-teman saat remaja menyukai anime, siswa-siswa saya sekarang pun begitu. Mengapa saya tidak punya novel remaja yang menjadikan anime sebagai elemen kehidupan tokohnya yang remaja pula? (Atau memang saya tidak tahu kalau novel seperti itu sudah ada?). Jadi saya masukkan saja sebagai alat untuk membumbui kedekatan mereka.

Namun saya terpikir, pembahasan tentang anime bisa saya telusuri lebih jauh, masih bisa dikaitkan dengan topik-topik itu. Selain itu, anime yang sering dipandang buruk pun, sebenarnya ingin saya bicarakan juga sisi baiknya. Dari sana, saya mulai mengulik-ngulik lagi tentang anime selain tentang kenikmatan menontonnya.

Reviewer: Apakah Kakak tidak berniat untuk membuat novel lanjutan dari sudut pandang Budi? Saya rasa, Budi dan problematikanya cukup seru untuk diceritakan.

Hapsari: Sayangnya, tidak, hehe. Sosok Budi saya tulis sesuai fungsinya dalam cerita. Justru saya terpikirkan ide lain untuk novel kedua, apabila saya punya kesempatan untuk menjadikannya novel.

Reviewer: Apa harapan Kakak bagi para pembaca usai membaca cerita ini?

Hapsari: Semoga pembaca menikmati karya saya. Terlebih lagi, bila pembaca menemukan kata-kata dalam novel saya yang mampu mewakili perasaan mereka, saya turut berbahagia.

Reviewer: Mengapa Kakak memlih penerbit indie? Ada rencana naskah dikirimkan ke penerbit mayor kedepannya?

Hapsari: Sederhananya, karena saya bisa terlibat lebih dan banyak berpendapat dalam prosesnya. Lalu, niat awal saya menjadikan karya ini sebagai novel adalah sebagai hadiah untuk diri sendiri. Saya ingin melihat tulisan saya menjadi buku sebelum saya berulang tahun. Jadi saya pikir, menerbitkan melalui penerbit indie adalah pilihan yang tepat.

-

Penulis novel Perlahan Meninggalakan Gelembung dapat kamu sapa melalui laman Instagram @hapsary_eby.

Reviewer: Lupy Agustina

BACA JUGA: Review Novel Sweet Agony
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url