Review Novel Hanasta Mayapada karya Hendricha D

Review Novel Hanasta Mayapada karya Hendricha D

Tidak memandang tua atau muda, kematian pasti menjadi peristiwa yang bakal dialami setiap orang, termasuk anggota keluarga sendiri. Kehilangan saudara kandung, baik seorang kakak ataupun adik, pasti menjadi pukulan berat yang membuat kita larut dalam kesedihan.

Tidak ada yang bisa kita perbuat selain ikhlas menerima kematian saudara tercinta. Sebab, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu menangguhkan waktu kematian. Itulah guratan takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Dan inilah yang dirasakan Khaira dalam novel berjudul Hanasta Mayapada.

Untuk mengetahui lebih lanjut gambaran novel yang ditulis oleh Hendricha D, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Novel Sweet Agony

Review Novel Hanasta Mayapada karya Hendricha D

Identitas Buku

Judul: Hanasta Mayapada
Penulis: Hendricha D
Penerbit: CV Rumah Karya
Isi: 178 hlm
Tahun Terbit: 2023
ISBN: 978-623-7274-65-0

Gambaran Umum Novel Hanasta Mayapada karya Hendricha D

Novel ini diawali dengan cerita Khaira yang sedang berada di kampusnya.

Selama di kampus, Khaira merasakan cuaca yang amat panas di bulan Mei. Untuk itu, ia tidak memutuskan pulang langsung ke rumah sehabis ngampus. Namun, ia berniat singgah terlebih dahulu di rumah pohon. Baginya, hanya di rumah pohon lah dapat merasakan sejuk udara di siang hari.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah pohon, Khaira teringat kakak laki-lakinya yang nomor dua. Kalimat yang pernah disampaikan oleh kakaknya membuat dirinya harus menahan air mata.

Singkat cerita, Khaira tiba di rumah pohon yang berbentuk seperti rumah panggung. Rumah ini terbuat dari papan kayu dan bambu. Ia sering membaca buku, mengerjakan tugas, dan menulis di sana.

Saat Khaira masuk ke dalam rumah pohon yang sudah enam bulan lamanya tidak mendatangi rumah itu, ia menemukan sebuah buku tebal tanpa identitas pemiliknya. Tidak ada jejak nama di bagian sampul depan ataupun belakang. Ia kemudian memberanikan diri untuk membuka buku yang berisi catatan harian itu.

Saat membuka lembar pertama, Khaira menemukan sebuah nama di sana: Hanasta Mayapada. Ia bingung, siapa Hanasta Mayapada?

Khaira pun mulai membaca, dan apa yang ia baca dalam buku merupakan cermin yang memantulkan bayang-bayang dirinya, bayang-bayang tangis, serta kesedihan. Ia seolah melihat dirinya dalam buku tersebut. Ia lalu menangis, dan tangisnya semakin pecah saat menemukan sesuatu yang berbentuk lembaran kecil, jatuh dari halaman paling belakang.

Ringkasnya, Khaira tahu siapa pemilik buku tebal itu. Ia pun bergegas memulangkan buku berisi catatan-catatan harian tersebut ke pemiliknya.

Lelaki Bernama Amir

Lelaki yang kerap bikin Khaira nangis saat mengingatnya adalah Amir, kakak kandungnya.

Nah, almarhum Amir lah yang mendirikan rumah pohon itu sebagai tempat belajar untuk anak-anak yang putus sekolah. Juga, rumah pohon sekaligus dihadiahkan untuk Khaira. Dan, uniknya, buku tebal yang ditemukan Khaira lebih banyak catatan harian yang ditujukan untuk Amir.

Catatan Harian

Ada 139 catatan di dalam buku tebal tersebut. Sang penulis membagi catatannya, diawali untuk Amir, Khaira, Bunda, Ayah, Afizah, Mas Faisal, dan pesan dari si penulis buku sendiri.

Pertanyaannya, siapakah yang menulis catatan harian itu?

Hanasta Mayapada

Nama lengkapnya Laksmi Hanasta Arumi. Panggilannya Hana. Dia lah yang menulis catatan harian itu. Dia seorang perempuan penyandang tunawicara.

Almarhum Amir menjadi satu-satunya orang yang dapat memahami apa pun yang dikatakan Hana karena mereka berteman baik sejak kecil. Meskipun perkataan Hana seperti ocehan bayi yang baru bisa berbicara, tapi Amir mengerti.

Dengan begitu, wajar apabila Hana merasa kehilangan yang amat dalam selepas Amir tiada. Dan wajar juga catatan hariannya lebih banyak dialamatkan untuk Amir. Dan dalam novel ini, dapat disimpulkan bahwa sosok Amir menjadi seseorang yang sangat dirindukan oleh adik perempuannya, juga teman kecilnya.

Baca Juga: Review Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu

Pandangan Reviewer Terhadap Novel Hanasta Mayapada karya Hendricha D

Novel dengan sudut pandang orang ketiga ini lebih banyak menyajikan lara, duka, dan perih yang dialami oleh Khaira dan juga Hana. Tokoh Amir menjadi pemicu utama atas kepiluan yang dirasakan oleh kedua perempuan tersebut.

Ditinjau dari segi penulisan, novel Hanasta Mayapada terbilang rapi, enak dibaca, dan pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh saya sebagai pembaca. Meski pada halaman awal bertele-tele, namun menuju pertengahan dan akhir halaman lebih asyik dibaca karena penulis menyampaikan cerita secara to the point.

For the first time, saya membaca cerita novel yang dilatarbelakangi oleh tokoh penyandang tunawicara. Sisi kreatifnya, 139 catatan harian dari perempuan penyandang tunawicara tersebut berisi catatan-catatan yang akan membuat pembaca merasa empati.

Overall, novel Hanasta Mayapada patut menjadi reading list pembaca. Terutama bagi kamu yang mengalami kehilangan anggota keluarga tercinta. Ya, kamu dapat membuat catatan harian untuk mengenangnya.

Wawancara Kami dengan Hendricha D

Reviewer: Selamat siang, Kak Icha! Saya mau bilang kalau tulisan Kak Icha di novel ini enak dibaca. Rapi. Tapi saya pengen nanya langsung soal isi novel aja. Jadi, coba kakak bayangkan, seandainya Kak Icha sebagai pembaca, kakak akan merasa bosan nggak sama catatan-catatannya Hana yang memenuhi isi halaman novel Hanasta Mayapada? Hehe

Terus, ngomong-ngomong, apa sebetulnya motivasi Kak Icha bikin catatan-catatan Hana yang sepanjang itu?

Hendricha: Oke, Mas. Jujur, sebetulnya waktu bukunya udah jadi, baru ngeh kalau memang membosankan catatan² itu. Waktu masih proses editing, beberapa kali dikirim ke saya kembali oleh penerbit. Saya enak² aja bacanya. Mungkin karena ada motivasi bahwa saya harus baca lagi dan lagi buat memastikan aja gitu, hehe. 🙈

Jadi memang, catatan² itu adalah catatan² pribadi saya yang saya tulis sejak tahun 2018-an Mas Ridwansyah. Memang saya sedari SD terbiasa menulis diary atau catatan harian gitu. Nah kebetulan catatan² di Hanasta Mayapada juga berasal dari catatan harian saya. 🙈

Jadi di tiap catatan itu sebetulnya ada hal yang melatarbelakangi di dunia nyata. Kalau ndak kisah saya sendiri, mungkin kisah teman saya, atau sesuatu yang memang pernah saya jumpai aja. Hehe...

Reviewer: Btw, berapa lama merampungkan naskahnya?

Hendricha: Kalau memulai catatannya itu dari 2018 akhir sampai Maret 2023. Jadi selang waktu itu saya nulis catatan terus. Tapi baru kefikiran untuk dibukukan itu waktu September 2022 kayaknya. Jadi sejak September 2022 saya menyusun naskahnya gimana, sekaligus terus bikin catatan harian aja... Jadi ditambahin ke naskah gitu Mas.

Reviewer: Next, apa tantangan dalam menulis buku Hanasta Mayapada?

Hendricha: Tantangannya mungkin...

- Kondisi laptop jadul yang kurang mendukung selama proses menulis, sering tiba² file terhapus sendiri. Tiba² mati tanpa sebab. Bahkan ndak bisa dihidupkan. Jadi ekstra sabar dan berusaha memahami kondisi laptop yang rewel. 🥹

- Kedua, dalam hal waktu. Jadi saat itu saya sudah mengajar di salah satu lembaga seekolah dasar, tiap hari pulang sore. Setelah itu lanjut mengajar les. Jadi waktu menyelesaikan naskah, hanya bisa malam hari. Itupun sudah dalam kondisi mengantuk dan capek. Saya hanya bisa maksimalin di hari libur. 🙈

- Tantangan selanjutnya mungkin... Mengurutkan dan mengelompokkan catatan² agar menjadi rangkaian cerita. Karena kalau disusun berdasarkan waktu penulisan seperti aslinya, malah susah dipahami. Dan di proses ini saya menemui kesulitan karena dari sekiaan banyak catatan... Saya harus baca ulang, memahami kembali, baru dapat mengurutkan.

- Tantangan dalam diri, di awal² saya sempat ragu dan takut. Karena ini terinspirasi dari kisah pribadi. Jadi saya berusaha sebisa mungkin di beberapa bagian untuk menunjukkan bentuk kiasan aja. Biar ndak gamblang gitu maksudnya. 🙈🙈🙈

Reviewer: Next, merasa okey nggak dari kualitas tulisan buku Hanasta dengan beberapa karya lain yang pernah Kak Icha tulis?

Hendricha: Ada 2 novel yang saya tulis sebelumnya. Pertama novel remaja (ditulis ketika smk). Kedua novel cerita anak (ditulis ketika smk). Kalau dibanding novel remaja yang saya tulis dulu... Lebih merasa oke dengan yang Hanasta Mayapada ini Mas Ridwan.

Reviewer: Iya saya merasa lebih baik Hanasta dari sisi kualitas mah. Ini hanya feeling, meskipun saya belum baca kedua novel itu. Soalnya udah berpengalaman, baca-baca buku juga, jadi enak dibacanya. Saya sadar juga, nulis zaman sekolah mah berantakan.

Terus, apa tanggapan orang terhadap Kak Icha nulis novel, sementara itu background lulusan PAI?

Hendricha: Alhamdulillah mereka mendukung, jadi ada sedikit cerita tentang masa kuliah saya... Yang mana teman² kuliah dalam satu kelas saya adalah santri. Ada yang sudah lulus dari ponpes, ada yang masih mengabdi di ponpes, ada yang mereka memang gus dan ning (anak kyai). Hanya saya yang tidak pernah mondok. Jadi benar saya minder banget waktu itu. 🥹

Kebetulan awal semester saya lagi jualan novel anak² yang saya tulis, judulnya Mawar Putih dan Teman Baru. Saya tunjukkan ke temen², saya bikin story dan saya sharee ke group kalo saya lagi jualan. 🙈 Alhamdulillah ada yang beli, walaupun hanya 3. Udah seneng bangeeet

Dari situ mereka tahu kalo emang saya beneran suka menulis. Nah dari situ ada 2 teman saya yang kepingin bikin buku juga. Pertama, dia suka menulis cerita dan haanya bisa menulis di buku. Dia bingung mau diapain, kebetulan dia lagi mengajar di pondok.

Kedua, dia suka menulis puisi. Sudah menulis banyak puisi, tapi bingung juga mau diapain (kebetulan dia anak kyai). Nah akhirnya saya bantu mereka. Untuk teman pertama, saya bantu secara penuh mulai dari pengetikan sampai penjualan buku. Yang kedua, saya hanya membantu mengedit dan mengarahkan langkah² penerbitan.

Mereka bilang yang garis besarnya kira² seperti ini, "Sebelum meninggal, setidaknya kita meninggalkan satu karya. Apapun itu bentuknya, yang penting bermanfaat, bisa dipetik hikmahnya oleh sesama. Siapa tahu menjadi ladang amal sampai meninggal. Kalau suka menulis, monggo bisa menulis buku."

Reviewer: Pertanyaan terakhir, mengapa orang harus membaca novel Hanasta Mayapada?

Hendricha: Orang² harus baca Hanasta Mayapada karena menurut saya cocok buat mereka yang lagi mengalami kegagalan, kehilangan, atau lagi berusaha sembuh dari rasa sakit. Segala macam rasa sakit harus disembuhkan. Dan buku ini bisa jadi salah satu obat penawar.

Mungkin orang² juga akan sadar bahwa kita hakikatnya hidup hanya sementara di dunia. Maka sesulit apapun, sedalam apapun rasa sakit dari ujian yang mendera manusia... Semua akan menjadi sederhana karena akan berlangsung singkat saja. Kurang lebih seperti itu Mas Ridwan

-

Penulis novel Hanasta Mayapada dapat kamu sapa melalui laman Instagram: @hendricha_d.

BACA JUGA: Review Novel ORMOVIDA

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url