Review Antologi Puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak karya Ian Muhtarom

Review Antologi Puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak karya Ian Muhtarom

Siapa pun kamu yang ingin membaca buku antologi puisi guna menenangkan diri, healing di saat kepala sedang pening, atau sekadar rehat dari segala kepenatan, mari membaca Aku Pernah Hidup dalam Kotak karya Ian Muhtarom. Sebab, salah satu keunggulan buku ini ringan sekali dibaca.

Selain itu, diksi-diksinya tidaklah rumit. Dan meskipun ringan dibaca, tetapi isi ceritanya serta pesan moralnya sangat berbobot.

Buku pertama Ian Muhtarom ini cukup menguras emosi saya sebagai pembaca. Bahkan, batin saya turut menjerit. Saya larut dalam perasaan yang disampaikan penulis.

Saya rasa, banyak sekali hikmah serta pembelajaran yang akan didapatkan pembaca ketika mengkhatamkan buku Aku Pernah Hidup dalam Kotak. Sebab, penulis menyajikan berbagai fenomena sosial yang menjadi bagian sejarah di Indonesia melalui setiap untaian kata dalam puisinya.

Dengan didukung ilustrasi berupa sketsa gambar pada beberapa bagian halamannya, maka pembaca akan turut merasakan kuatnya emosi yang hadir pada setiap diksi-diksinya.

Nah, untuk mengenal lebih jauh tentang buku ini, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu

Review Antologi Puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak karya Ian Muhtarom

Identitas Buku

Judul: Aku Pernah Hidup dalam Kotak
Penulis: Ian Muhtarom
Isi: 132 Hal
Penerbit: One Peach Media
Kategori: Antologi Puisi
ISBN: 978-623-483-129-0

Gambaran Umum Buku Aku Pernah Hidup dalam Kotak

Buku yang memuat 48 puisi ini memiliki karakteristik tersendiri untuk menggugah emosi pembaca. Berikut di antaranya:

Menyadarkan Pentingnya Dukungan Masyarakat terhadap Inklusifitas

Pada halaman awal, penulis menuturkan puisinya dalam POV orang pertama. Ia bercerita tentang perjuangan seorang ibu untuk melahirkan ‘kehidupan’. Juga, kejujuran serta luka seorang anak yang tak bersalah tetapi selalu merasa jadi orang yang paling salah dan tidak memiliki hak untuk hidup. Beberapa diantaranya bahkan terdengar seperti sebuah kutukan.

Semua bermula karena kakak kembarnya meninggal dalam waktu dekat saat dilahirkan, sementara dirinya yang Tuhan anugerahkan sebuah kehidupan ternyata lahir dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Bahkan ketika lahir saja, harus bertahan hidup dengan kotak inkubator. Dan disitulah dirinya merasa menjadi perampas kehangatan keluarganya (ayahnya, ibunya, kakaknya, juga saudara kembarnya yang seharusnya ada).

Pada halaman berikutnya, penulis menuturkan puisinya dalam sudut pandang sang ayah. Jujur, kedua mata saya berkaca-kaca dan tak tahan meluapkan air mata. Saya dibuat tak berdaya dengan puisi yang menuturkan sudut pandang dari sang ayah itu.

Dalam buku ini, betapa kompleksnya persoalan manusia yang menghakimi manusia lain atas nama kodrat Tuhan. Namun, hanya doa yang bisa saya panjatkan kepada Yang Maha Kuasa bila memang ada kejadian serupa yang menimpa pada sebuah keluarga, seperti cerita yang terkandung dalam puisi Ian Muhtarom ini.

Menuturkan Cerita dan Fakta Sosial

Ian Muhtarom berhasil mengisahkan beberapa fakta sosial yang menjadi kisah bersejarah di Indonesia dalam puisinya, seperti Pandemi Covid-19, kondisi mental health semasa pandemi, opini kisah epik Rama-Shinta-Rahwana, Tragedi Kanjuruhan, hingga kritik atas kebijakan oknum pemangku kebijakan yang jelas-jelas kebijakannya kurang bijak.

Baca Juga: Review Novel Sweet Agony

Pandangan Reviewer terhadap Buku Aku Pernah Hidup dalam Kotak

Antologi puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak bukan sekadar kisah seseorang yang diperjuangkan hidup dalam kotak inkubator. Melainkan tentang kotak kehidupan, dimana setiap garis bertepian yang membuat kotak merupakan perwujudan peran manusia yang mencipta sejarahnya dalam kehidupan.

Banyak sekali hikmah, renungan, dan refleksi untuk mendidik diri sendiri dari karya Ian Muhtarom ini.

Judul puisi yang menggugah perasaan saya antara lain: Permulaan (hal. 4), Seharusnya Bukan Aku Yang Hidup (hal. 5), Pejabat Manusia (hal. 125), Jenjang Masa (hal. 57), Sakit dan Sehat (hal. 120).

Setelah membaca buku ini, saya ingin menyampaikan bahwa mereka yang sedang berada dalam keterbatasan, jelas-jelas itu bukan keinginannnya. Maka, bila diri kita pantas disebut manusia, pantaskah kita memandang mereka sebelah mata? Sudahkah kita mendukung ruang aman nan nyaman bagi mereka yang istimewa?

Wawancara Kami dengan Ian Muhtarom

Reviewer: Halo, Mas. Bolehkah bercerita mengapa memilih 48 puisi dalam buku ini? Adakah alasan tersendiri hanya 48 puisi saja yang terpilih?

Ian Muhtarom: Pemilihan 48 puisi dalam buku ini berkaitan dengan dua hal. Yang pertama karena puisi-puisi pada bagian pertama saling berkaitan karena merupakan satuan cerita yang utuh. Yang kedua pada bagian kedua adalah puisi-puisi pilihan yang penulis tulis pada masa pademi covid-19 sedang ganas-ganasnya, penulis mencoba untuk merekam suasana di sekitar penulis saat terjadinya covid, entah itu kematian, kesedihan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Reviewer: Apa saja yang menjadi pertimbangan Mas Ian untuk memilah dan memilih puisi? Hingga pada akhirnya terpilihlah 48 puisi.

Ian Muhtarom: Alasan pemilihan 48 puisi ini adalah kesinambungan tema-tema yang saling berkaitan, penulis ingin menggambarkan kesedihan dengan gaya yang lebih mudah, namun dalam.

Reviewer: Apa pandangan Mas Ian sebagai anak Sejarah terhadap puisi? Mengingat puisi-puisi Mas Ian dalam buku ini tidak terlepas dari kisah-kisah seputar Indonesia.

Ian Muhtarom: Sebenarnya latar belakang penulisan saya adalah prosa/cerpen sejarah, namun saya ingin mencoba alternatif baru yaitu bercerita melalui puisi dan sajak. Penulis ingin mengasah kemampuan penulis dalam penulisan puisi/sajak sebagai salah satu media informasi sejarah.

Reviewer: Dari mana saja inspirasi Mas Ian menulis puisi? Jujur, saya begitu tersentuh dengan kisah pilu satu keluarga di bagian pertama.

Ian Muhtarom: Sumber utama penulisan puisi ini adalah kisah dari teman penulis sendiri. Sebagian besar kisah-kisah ini penulis ambil dari potongan cerita penulis.

Reviewer: Adakah karya berikutnya yang akan ditulis?

Ian Muhtarom: Karya penulis selanjutnya tidak jauh-jauh dari tema sejarah. Kemungkinan berbentuk prosa atau kumpulan cerita pendek.

Reviewer: Mengapa Mas Ian memilih penerbit indie, dan adakah targetan kedepannya untuk menerbitkan karya di penerbit mayor?

Ian Muhtarom: Penulis memiliki keinginan untuk menerbitkan di penerbit mayor. Namun, untuk belajar, penulis memilih penerbit indie seperti karya-karya penulis sebelumnya.

Reviewer: Saya penasaran dengan apa yang disampaikan putri kecil (kakak dari adik kembar) pada puisi berjudul "Tidak ada judul yang cocok”, andai kata boleh di-spill, apa yang disampaikan anak perempuan itu?

Sebuah pesan datang dari putriku yang terkapar letih
Itu pesan yang aneh mengubah rasa benci jadi rasa kasih

Ian Muhtarom: Penulisan bait terakhir dalam puisi “tidak ada judul yang cocok” sebenarnya penulis memberi ruang pada pembaca untuk menafsirkan sendiri potongan kalimat yang belum rampung.

Secara garis besar, kumpulan puisi ini adalah media untuk penulis dan pembaca saling memberikan pesan lewat tulisan. Maka dari itu, penulis tidak memiliki pesan tersendiri pada bait ini, penulis memberikan kesempatan agar pembaca membayangkan kira-kira apa pesan yang ingin disampaikan.

-

Penulis buku kumpulan puisi Aku Pernah Hidup dalam Kotak dapat kamu sapa melalui laman Instagram @ianmuhtarom.

Reviewer: Siti Sunduz.

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url