Review Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu karya Siti Nuraini

Review Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu karya Siti Nuraini

Jujur saja, buku perdana yang ditulis oleh perempuan kelahiran Sukabumi ini langsung menarik atensi saya untuk berpikir dan bertafakur. Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu. Saya memaknai judul buku ini sebagai kaca mata rasa seorang hamba terhadap Pencipta.

Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu merupakan pernyataan yang merefleksikan ketawakalan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Terlebih, sebagai manusia biasa, saya pernah merasakan di posisi ragu; mampukah saya menghadapi berbagai ujian hidup yang sesungguhnya tidak mudah ini?

Judul buku ini memberikan penguatan dengan menghadirkan Tuhan dalam kehidupan. Mari kita akui, kita memang lemah di hadapan Tuhan, kita tidak akan mampu bila tidak dimampukan, kita kuat sebab kita dikuatkan oleh Yang Maha Kuat.

Dari judul bukunya saja sudah membuat saya jatuh hati. Lalu bagaimana dengan untaian hikmah di dalam buku ini?

Simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Novel ORMOVIDA

Review Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu karya Siti Nuraini

Identitas Buku

Penulis: Siti Nuraini
Judul: Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu
Isi: xi + 159 hlm
Penerbit: Selfietera Indonesia
QRCBN: 62-180-7767-476

Gambaran Umum Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu

Buku ini mengisahkan tentang perasaan seorang wanita muslimah dalam menyikapi segala kenyataan alur kehidupannya. Setidaknya, saya mengklasifikasikan buku ini menjadi 3 pembahasan. Yaitu cinta, cita-cita, dan juga tasbih rasa.

Secara keseluruhan, buku ini akan mengajak pembaca untuk masuk ke dalam pemikiran dan dialog diri dari tokoh utama bernama Nurainaya Haura Ahyani. Dialog panjang antara akal dan hati kerap memberikan hikmah, petuah, dan pembelajaran yang tidak kita dapatkan dengan mudah.

Kurang lebih begitulah yang saya rasakan ketika menyelami karakter Haura dalam cerita buku ini.

Tokoh-Tokoh dalam Cerita

Kak Aini—sebagai penulis—hanya menghadirkan beberapa karakter dalam cerita sebagai bumbu pelengkap bila diibaratkan sebuah masakan, cita rasa utama sepenuhnya ada pada tokoh utama.

Nurainaya Haura Ahyani yang akrab disapa Haura adalah tokoh utama yang memiliki karakter bijaksana, perasa, taat agama, bahkan boleh dibilang menyejukkan.

Kehadirannya merupakan impian bagi siapapun, membersamainya merupakan harapan yang dilangitkan kepada Tuhan bagi kaum adam. Begitulah kiranya yang tergambar dari alur cerita dalam buku ini.

Qaisy Harun Adzhari adalah seorang laki-laki yang mengharapkan cinta Haura dengan cara halal. Ia memiliki karakter santun, arif, dan berprestasi di bidang agama maupun umum. Sosok Qaisy ini menjadi idaman kaum hawa.

Saya menjamin bahwa pembaca akan spontan menjadi Mak Comblang karena Nurainaya cocok sekali dengan Qaisy. Sayangnya, ending keduanya tidak dapat ditebak dengan mudah begitu saja.

Ardan Ahmad Gafhtani ialah sahabat baik Haura. Ia memiliki loyalitas tinggi, setia, sopan, pantang menyerah, dan optimis.

Umi, ibunda dari Haura. Ia sosok yang ramah, bijaksana, memiliki hati yang lembut dan juga hangat.

Cinta: Tasbih Rasa

Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu menyajikan konflik batin dari setiap tokoh yang berhubungan dengan cinta. Qaisy yang mengungkapkan niat baik kepada Haura dengan cara halal, ternyata tidak berbuah manis seperti yang saya harapkan. Meskipun Haura sebenarnya terkagum-kagum pada sosok Qaisy dan tidak pernah membayangkan takdir mengarahkan Qaisy menyatakan hal demikian.

Di sisi lain, Ardan yang memiliki hubungan awal sebagai sahabat baik Haura, ternyata memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat. Berkali-kali Ardan menyatakan perasaan dan harapannya untuk bersama Haura sepanjang hidupnya.

Namun sayangnya, Ardan malah mendapat ruang rindu yang panjang dengan jarak dan perubahan sikap Haura terhadapnya.

Haura dengan penuh pertimbangan, mengambil sikap yang tegas dan bijaksana menyikapi Qaisy dan Ardan. Meskipun keputusan yang diambilnya tidak ia inginkan sama sekali.

Pertanyaannya, apakah Ardan atau Qaisy yang dipilih Haura untuk menjadi rekan sepanjang hidupnya? Atau bahkan bukan keduanya?

Sebagai pembaca, saya dibuat bingung dengan peperangan antara akal dan hati dari alur cerita ketiga tokoh tersebut. Tapi melalui alur cerita mereka, satu pembelajaran yang dapat dipetik dari cinta Ardan-Haura-Qaisy adalah, benarkah yang kita lakukan atas nama cinta merupakan dedikasi, atau obsesi?

Cinta bukan sekadar berbicara kepada siapa hati ini berlabuh. Ada hal yang paling krusial, yaitu tentang kesadaran dari mana cinta itu hadir, bagaimana kita harus mengelola dan mengendalikan diri atas rasa cinta, juga kemana seharusnya kita mengembalikan rasa cinta itu sendiri.

Cita-Cita

Sebagai perempuan yang merupakan sesama khalifah di muka bumi ini, mendalami ilmu agama adalah keharusan dan menjunjung tinggi pendidikan juga hak yang harus diperjuangkan.

Alih-alih menjadi down, kehilangan kendali atas diri, atau bahkan merasa tidak semangat hidup akibat kecewa dari cinta, tokoh-tokoh dalam buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu justru bersikap sebaliknya.

Saya teringat kembali pada beberapa kalimat yang ditulis Kak Aini pada bagian pembuka. Dari sekian banyaknya kehilangan atas cinta, kehilangan diri sendiri adalah bagian yang paling menyakitkan.

Sementara menghilang dan menjauh dari orang yang kita cinta adalah kehilangan yang paling menyesakkan.

Baik Qaisy, Haura, maupun Ardan, masing-masing dari mereka memilih untuk menjadikan segala emosi yang dirasa sebagai modal perjuangan di jalan cita-cita. Sampai pada akhirnya, mereka merasakan bagaimana agungnya sebuah anugerah rasa tanpa ada kata “memiliki” sembari menambah value diri.

Baca Juga: Review Buku Obra Maestra

Pandangan Reviewer Terhadap Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu

Dari 13 bagian cerita, tulisan di dalam buku ini didominasi dialog diri sendiri yang dibawakan oleh Haura sebagai tokoh utama. Penggunaan sudut pandang orang pertama dengan menggunakan kata “Aku” sukses membuat pembaca seperti saya larut pada setiap rasa dalam cerita tersebut.

Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu seolah mengajak pembaca untuk bermuhasabah diri tanpa merasa terhakimi. Lewat kisah-kisah perempuan tangguh dalam Islam, kisah para sahabat Nabi, catatan refleksi di setiap bagian cerita, sampai untaian mutiara dari tokoh-tokoh sufi Jalaludin Rumi semakin menjadi penguat untuk diri sendiri.

Uniknya lagi, di lembar akhir buku, Kak Aini memberikan ruang khusus bagi pembaca untuk menulis list journaling. Mirip seperti evaluasi harian dan target capaian di kemudian hari. Bagian ini ditandai dengan narasi “Agar hati ini tertaut pada Allah, mulai sekarang aku harus…”

Finally, saya menyimpulkan buku ini begitu lekat dengan nilai-nilai Islami. Dapat dipastikan di setiap bagian cerita, kita akan disuguhkan berbagai hikmah yang bisa kita dapatkan ketika berdialog bersama diri sendiri dengan menghadirkan Tuhan dalam setiap hal yang kita lalui.

Gaya penulisan buku ini sangat sederhana sehingga ringan untuk dibaca. Dan satu hal yang membuat saya kepo adalah mengapa penulis tidak menceritakan proses penerimaan Haura terhadap rekan hidupnya? Katakanlah ada semacam alur cerita yang dilangkahi.

Kesan saya kepada tokoh Haura dalam cerita ini, saya merasa malu. Sebab, saya belum bisa sebaik dan sebijaksana Haura.

Wawancara dengan Siti Nuraini (Kak Aini)

Reviewer: Halo, Kak Aini. Selamat ya atas karya pertamanya. Semoga terus bersemangat untuk berkarya. Kalau boleh tahu, kakak senang menulis sejak kapan? Dan mengapa senang menulis?

Kak Aini: Terima kasih kak, insya Allah semoga senantiasa bara semangat itu Allah titipkan supaya diri tidak mudah padam semangatnya

Saya senang menulis sepertinya sejak dari saya bisa membaca dan tulis kak☺️, sebelum saya masuk SD saya senang membaca komik mini yang pada masa itu didapatkan dari jajanan anak berhadiah komik.

Saya mulai lebih suka menuangkan perasaan ke dalam tulisan baik berupa diary atau menulis dongeng anak-anak ketika sudah duduk di bangku SD, waktu itu saya pernah menulis tangan cerita-cerita pendek yang isinya tentang dunia fantasi sebagaimana yang memang disenangi anak-anak pada usia itu, ada lebih dari 3 buku catatan yang saya habiskan untuk itu.

Memasuki kelas 6 saya semakin merasa senang, bahkan hampir setiap hari, selalu ada saja hal yang saya tulis dan ini berlanjut sampai hari ini.

Jika ditanya tentang mengapa senang menulis, beberapa jawabannya ialah karena saya merasa bahwa menulis adalah bagian dari bersyukur, belajar, bertafakur, dan muhasabah.

Apa yang pernah saya tulis jika saya baca di kemudian hari atau di lain waktu, maka saya dapat melihat diri saya pada situasi saat itu (waktu ketika saya sedang menulis apa yang sedang saya baca). Jika yang saya tulis adalah hal yang membahagiakan maka saya akan ingat bahwa saya masih harus terus membangun rasa syukur.

Jika yang saya baca adalah bagian dari penyesalan maka seolah saya sedang diingatkan bagaimana agar tidak mengulang hal yang sama. Jika yang saya baca adalah kesedihan maka saya akan tambah ingat bahwa sama seperti hari itu, kesedihan selanjutnya pun akan terlewati dan bahagia akan datang kembali.

Menulis itu proses jatuh cinta kepada takdir beserta penciptanya, karena hidup adalah sejarah yang tak bisa diulang sebab itu saya merasa setiap hal adalah berharga. Karena saya tak mungkin mengulang apa yang sudah berlalu, maka tulisan lah yang akan mencatatnya.

Nah, salah satu sasaran saya menulis dan mengambil tema tentang kehilangan, adalah bagian dari respon saya terhadap banyaknya berita miris mengenai kasus bunuh diri, atau kasus penyimpangan lainnya yang dilakukan dengan mulanya alasan "cinta", sebab merasa kehilangan dan terhadap ujian bagi muda-mudi karena sedang digerus oleh zaman, dimana hal-hal berkenaan dengan pacaran seolah dianggap biasa, seakan-akan telah menjadi hal yang lumrah padahal dalam Islam tidak dibenarkan sebelum terjadinya ijab Qabul.

Saya tidak bisa berbuat banyak untuk mengingatkan, sebab itu saya menulis beberapa bagiannya sebagai bentuk kepedulian dalam mengingatkan diri sendiri dan orang lain yang barangkali nanti membacanya.

Reviewer: Dari alur cerita yang disuguhkan, inspirasinya dari mana Kak? Kalau boleh tahu, cerita ini dari pengalaman pribadi atau murni berimajinasi?

Kak Aini: Buku berjudul Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu sejatinya adalah buku yang berisi tentang pengalaman pribadi, baik hal-hal yang menimpa/pernah saya alami sendiri, atau saya dapatkan dari pengalaman orang-orang di sekitar dan hikmah yang saya petik dari alam sekitar.

Jika persentasenya saya sebutkan, maka 99.7% isinya adalah dari pengalaman yang ibratnya kemudian tertuang dengan sudut pandang saya sendiri.

Alur cerita terinspirasi dari beberapa buku bergenre self improvement yang pernah saya baca kak, tetapi ingin memasukan sedikit unsur kisah novel agar sedikit mengurangi kemungkinan bosan bagi pembaca di halaman awal-awal.

Reviewer: Kira-kira berapa lama kakak menuntaskan naskah tulisan buku ini?

Kak Aini: Sekitar 1 bulan kak.

Reviewer: Apa yang kakak harapkan kepada para pembaca setelah pembaca membaca buku ini?

Kak Aini: Harapannya adalah mereka dapat menemukan alasan untuk selalu bergantung pada Allah, menurunkan harapannya kepada makhluk-Nya, meyakinkan yang ragu dan menguatkan yang yakin bahwa kehilangan sesuatu dalam hidup tidak akan sebanding sengsaranya ketika kita kehilangan Allah.

Reviewer: Nah ini bagian yang bikin saya kepo sampai akhir, hehe. Adakah tujuan khusus Kak Aini tidak mencantumkan ending dari alur cerita tokoh cerita Ardan, Haura, dan Qaisy? Sehingga alur para tokoh sedikit terkesan dilewatkan untuk menyudahi cerita.

Kak Aini: Benar sekali kak, bagian ini sengaja untuk tidak saya tuntaskan sebab akhir dari cerita masih panjang. Selain itu saya tidak ingin terbengkalai dengan apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan, yaitu poin-poin lain setelah bab kisah Haura, Ardhan, dan Qaisy.

Haura mengantarkan kita pada sebagian kisah yang pernah ia alami, kemudian dari hal tersebut dia kembali menuntun bagaimana agar kita tidak kehilangan Allah dalam berbagai situasi. Sampai pada ending Hauralah yang menuntut jalan ceritanya.

Reviewer: Adakah rencana kakak menuliskan karya berikutnya? Spill dong kak hehe.

Kak Aini: Insya Allah ada kak, kita akan tunggu bersama-sama bagaimana kelanjutannya. Apakah akan ada salah satu yang ia pilih diantara keduanya, ataukah takdir Allah membawanya pada pertemuan dengan yang lainnya, berjodoh dengan salah satunya, atau mungkin dengan orang lain yang bahkan tidak ada disebutkan pada mulanya.

Reviewer: Karya kakak ini kaya akan kisah-kisah Islami di zaman baginda Rasulullah SAW, sepertinya kakak senang dengan Sejarah Islam, ya?

Kak Aini: Benar sekali kak, mengapa saya sisipkan kisah-kisah itu didalamnya sebab saya ingin mengajak pembaca untuk kembali merenungi setiap goresan tinta sejarah, bahwa kisah itu bukan hanya berupa hal yang saya buat-buat melainkan telah terjadi jauh dari sebelum kita ada.

Saya berharap pembaca kembali mengingat tentang bagaimana perjuangan Rasulullah SAW dan segala kisah para bintang itu, tentang refleksi diri agar setiap hal perlu kita tarik kembali untuk dipelajari atau dihikmahi

Reviewer: Apa alasan kakak menerbitkan buku melalui penerbit indie? Ada keinginan untuk menerbitkan naskah melalui penerbit mayor, kah?

Kak Aini: Ada beberapa alasan yang kemudian membuat saya menjatuhkan pilihan pada penerbit Indie.

1. Saya ingin menjadi bermanfaat meskipun dalam hal-hal yang kecil, sebab itu saya tidak menjadikan patokan tentang "apa yang nanti saya dapat" kecuali saya semakin bersyukur.

2. Tulisan ini adalah hadiah dari saya untuk diri saya sendiri, sebagai bentuk rasa terima kasih dan permohonan maaf pada pribadi.

3. Saya pernah membaca tulisan salah satu orang penulis tentang mulailah menulis untuk diri sendiri.

Ada kak, tentu saja ada keinginan untuk terbitkan buku di penerbit mayor.

-

Penulis Buku Tuhan, Bersama-Mu Aku Mampu dapat kamu sapa melalui laman Instagram @sn_raini.

Reviewer: Siti Sunduz.

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url