Review Buku Obra Maestra karya Talitha Carlen

Review Buku Obra Maestra karya Talitha Carlen

Cinta menjadi salah satu bentuk emosi paling kuno yang dimiliki oleh manusia. Secara turun temurun, DNA kita mendapatkan warisan berupa naluri untuk bertemu dengan belahan jiwa. Umat Muslim telah akrab dengan kisah awal kedatangan Adam dan Hawa di muka bumi ini.

Alkisah, mereka terpisah ribuan kilometer jauhnya saat pertama diturunkan. Namun, rasa cinta keduanya akhirnya mempertemukan mereka.

Tak heran, kisah-kisah tentang cinta selalu mendapatkan tempat di hampir setiap masa. Manusia memiliki keterikatan yang 'luhur' terhadap cinta sebagaimana ia terikat pada dirinya sendiri.

Ketika membaca buku Obra Maestra, perasaan semacam itu sangat tak terelakkan sebab siapakah di antara kita yang tidak pernah bertemu cinta? Namun, seperti apa rupanya, tentu tak sama.

Pada review kali ini, saya ingin mengajak pembaca bertemu wajah cinta yang ditemui Talitha Carlen. Mungkin wujudnya sama dengan yang kita temui, atau mungkin jauh berbeda.

Supaya tidak penasaran, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Buku Amigdala

Review Buku Obra Maestra karya Talitha Carlen

Identitas Buku

Judul: Obra Maestra
Penulis: Talitha Carlen
Penerbit: One Peach Media
Tahun Terbit: September, 2023
Halaman: 224
ISBN: 978-623-483-177-1

Gambaran Umum Buku Obra Maestra karya Talitha Carlen

Obra Maestra merupakan sebuah kumpulan puisi. Di dalamnya, penulis bercerita tentang cinta. Penulis mengungkapkan perasaannya dengan intens. Banyak perumpamaan menarik dan unik yang bisa dinikmati pembaca sepanjang bukunya.

Cinta dalam Doa dan Harap

Kamu adalah doa yang aku harapkan menjadi sebuah jawaban berupa takdir yang tak bisa diganggu gugat– hal. 14
Adakah kata paling cinta selain harap dalam doa?

Cinta membawa kita ke dalam harapan dan angan-angan. Suka atau tidak, saat jatuh cinta, kita membangun persepsi yang kita sukai terhadap orang yang kita cinta.

Persepsi itu dapat berupa harapan agar perasaan kita bersambut, agar perhatian kita berbalas, agar diri kita terpilih juga sebagai satu-satunya yang dicintai, dan sebagainya.

Sebuah kewajaran jika perasaan semacam itu menyertai keberadaan cinta. Penulis melihat hal tersebut sebagai kesempatan untuk menguntai doa.

Saya dapat menangkap kekeraskepalaan dan kepasrahan penulis berjalan beriringan. Betapa penulis begitu ugal-ugalan–kalau kata anak zaman sekarang–dalam mencintai ‘kamu’ di setiap doanya.

Menambatkan harapan cinta kepada ‘objek yang dicinta’ seringnya hanya mendatangkan kekecewaan. Penulis amat menyadari hal tersebut.

Untuk itu, dalam cintanya, ia menyertakan Tuhan sebagai penolong atas perasaannya. Penolong untuk cinta yang berapi-api sebab sebagaimana yang dikatakan penulis:
Sedang mendoakan adalah cara mencintai paling tenang–hal.82
Dari sekian banyak wujud cinta, penulis memilih doa sebagai wujud yang paling dalam. Melalui doa, penulis menjaga dirinya dan ‘kamu’ dari cinta duniawi yang berbahaya.

Cinta, bagi Talitha Carlen adalah sebuah kesakralan. Doa menjadi jembatan penghubung paling aman antara cinta dirinya kepada ‘kamu’.

Cinta dan Penerimaan

Aku berjanji akan menerimamu dengan hati yang luas,
lebih luas dari langit yang ditaburi bintang-bintang
terang itu–hal. 126
Bukankah saat mencintai, kita mesti menyediakan ruang hati yang luas? Saat mencintai seseorang, kita bukan hanya bertemu dengan hal menyenangkan darinya. Kita juga akan bertemu dengan sisi tak sempurnanya, bahkan masa lalunya.

Kita juga mesti bertemu dengan diri sendiri. Maukah kita menunjukkan kekurangan diri kepada orang yang kita cintai? Siapkah kita dengan penerimaan yang ia berikan? Maukah kita berkompromi dengan hal-hal baru dalam proses mencintai itu?

Mencintai kebahagiaan dalam cinta juga berarti menerima segala sedih dan dukanya. Mungkin, sebagian kita lebih mudah menerima luka dalam cinta. Tak bisa dimungkiri, cinta juga bisa membekaskan trauma.

Banyak yang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang yang dicintainya. Trauma tersebut dapat menimbulkan perasaan asing ketika dicintai dengan begitu baik.

Untuk itu, perlu keteguhan hati juga agar kita dapat menerima kebahagiaan dalam cinta. Setiap orang layak disayangi, layak dibahagiakan, layak diterima dan dirangkul.
Kamu mempersilakan aku untuk mencintai diriku juga
Merangkul dan menerima
Kamu mengejutkanku bahwa ternyata aku bisa dengan
mudah disayangi sebegitu besarnya–hal. 152
Cinta yang baik adalah cinta yang mampu membuat kita tak kehilangan diri sendiri. Sebesar apapun rasa cinta kita kepada seseorang, kita tak boleh lupa kepada diri sendiri. Hal tersebut bisa menjadi sebuah modal tatkala misalnya, kita dipertemukan dengan hal-hal yang tak kita harapkan. Kita akan mampu menghadapinya karena diri sendiri hal yang utama.

Tak ada Cinta yang Diam-Diam

Aku tidak mencintaimu diam-diam, Sayang
Semesta juga tahu–hal.110
Sediam apapun cinta, sebisu apapun kita, tak ada yang tak didengar semesta. Tubuh kita memendarkan energi yang bisa ditangkap oleh alam raya.

Saya begitu kagum dengan keterusterangan penulis dalam puisi-puisinya. Ia tidak merasa harus menyembunyikan rasa cintanya kepada ‘kamu’ setidaknya dari dirinya sendiri. Tak semua perempuan punya keberanian semacam itu. Apalagi secara terang-terangan mengakui perasaannya.

Cinta dalam diam barangkali hanya istilah untuk menutupi ketakutan kita pada cara cinta kita ditanggapi. Cinta tidak pernah diam. Rasa cinta akan mendorong kita untuk ‘bekerja’ kepadanya. Hanya, wujud dan takaran ‘pekerjaan cinta’ setiap orang tentu berbeda-beda

Bagi penulis, puisi menjelma wujud dari energi cinta yang dimilikinya. Penulis tidak membiarkan cintanya diam begitu saja.

Barangkali, sebab menurut penulis, cintanya begitu berharga jika dibiarkan begitu saja. Penulis tak masalah dengan pandangan orang lain yang menganggapnya sebagai perempuan gila. Ini adalah puisinya. Ini bentuk perayaan paling meriah bagi cintanya.
Kata orang-orang aku perempuan gila
Karena menghujanimu dengan cintaku yang ugal-ugalan—hal.176
Rasa cinta merupakan sebuah anugerah. Dari penulis, pembaca bisa belajar cara mengelola anugerah besar itu sehingga tak hanya berakhir menjadi energi yang ‘diam’. Kita bisa mengubahnya menjadi festival versi kita sendiri, dengan bentuk yang kita mampu.

Baca Juga: Review Novel The Ethereal Closet

Pandangan Reviewer terhadap Buku Obra Maestra karya Talitha Carlen

Sebelum lebih jauh membaca bukunya, saya penasaran pilihan kata yang digunakan di dalam judul. Setelah melakukan beberapa pencarian, saya menemukan kalau Obra Maestra diambil dari bahasa Spanyol.

Frasa tersebut memiliki arti ‘mahakarya’. Saya memiliki dua asumi terkait rujukan ‘mahakarya’ yang dirujuk penulis di buku ini.

Apakah penulis merujuknya kepada karyanya atau kepada seseorang di karya itu? Pertanyaan saya terjawab di halaman 211:
Bagiku, mencintaimu adalah mahakarya.
Apa alasan di balik pernyataan itu? Tampaknya kita mesti bertanya lebih jauh kepada penulis.

Meski yang dimaksud ‘mahakarya’ oleh penulis adalah ‘mencintaimu’ sebagai pembaca, puisi-puisi ini sendiri adalah sebuah mahakarya. Puisi Talitha mengingatkan saya pada kelahiran sebuah puisi baru dalam ranah sastra Indonesia. Tepatnya pada tahun 2018.

Selama ini, kita akrab dengan puisi lama seperti pantun, syair, dan mantra. Kita juga diperkenalkan dengan Chairil Anwar sebagai pelopor bentuk puisi baru atau Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi kontemporernya. Di 2018, Denny JA memperkenalkan sebuah bentuk baru dari pakem puisi yang sudah ada yaitu puisi esai.

Bentuk puisi ini sempat menjadi perdebatan. Banyak yang menerima, tak sedikit yang menolak. Bagaimana bisa, puisi yang rigid dipadukan dengan esai yang cenderung lebih longgar dalam pemilihan kata?

Hal tersebut bagi saya merupakan sebuah kebaruan yang menarik. Dalam konsepnya, puisi esai lebih berpihak pada kebebasan ekspresi yang tidak terkekang oleh belenggu politis dan penjara kaku logika sastra yang telah mapan.

Bentuk puisi-puisi Talitha Carlen hampir menyerupai puisi esai. Penulis menggunakan kalimat-kalimat yang longgar sebagaimana sebuah esai. Tidak pelit diksi.

Meski begitu, tetap saja, selayaknya puisi, tulisan Talitha rekat dan menggetarkan hati. Kalimatnya sebebas esai, tetapi lapis maknanya rangkap seperti puisi.

Saya pikir, pilihan Talitha memproyeksikan puisinya dengan bentuk yang jauh dari logika puisi dalam sastra selaras dengan jiwanya yang tak senang terkukung. Hal ini telah saya bahas pada sub judul ‘Tak Ada Cinta yang Diam-Diam’.

Talitha punya keberanian untuk menjadi diriya, menunjukkan dengan lantang posisinya, ia tak takut pada stigma atau kekakuan aturan yang tak berdasar.

Membaca puisi-puisi Talitha, saya pikir, kita harus menyediakan wadah yang luas. Kita akan menerima energi cinta yang besar.

Sebagai pembaca, saat membaca puisinya, saya mempertanyakan, ‘Sudahkah saya begini jujur kepada rasa cinta yang saya miliki?”, “Beranikah saya meninggalkan egoisme untuk menunjukkan rasa cinta kepada orang yang saya sayangi?”. Perenungan semacam itu jadi pengalaman batin yang menyenangkan.

Maka dari itu, siapapun yang hendak membaca Obra Maestra, bacalah dengan segala kerendahan dan keluasan hati!

Wawancara dengan Talitha Carlen

Reviewer: Halo, Kak Talitha! Sebagai sesama perempuan, saya mau ngucapin makasih banyak karena udah mewakili hati kami yang sering gak berani terang-terangan menunjukkan rasa cinta! Saya kagum bagaimana Kakak lantang menyuarakan rasa cinta Kakak pada seseorang.

Dari mana sih Kakak punya keberanian semacam itu? Bisa kasih tips gak sih, biar kami para perempuan bisa mengutarakan dengan jelas perasaan kami tanpa kode-kode.

Talitha: Kalo ditanya keberanian mungkin awalnya karena naksir sama orang, tapi saat itu mikir, "kayanya terlalu dini deh kalo baru ketemu sekali udah langsung suka". Jadinya baru berani ungkapin lewat puisi. Eh ternyata di tahun-tahun berikutnya masih suka.

Perihal tips, agak bingung ya. Walaupun jaman sekarang udah banyak cewek yang lebih berani tunjukin ketertarikannya, masih suka ada stigma-stigma miring soal cewek yang berani maju duluan. Kalo aku, gak semua laki-laki yg buat aku tertarik, langsung aku tunjukin.

Liat dulu. Apakah laki-laki ini pantas aku kasih cintaku yang berhambur-hamburan ini? Atau apakah sifat dan kepribadian dia udah cukup matang dan bijak kalo nolak aku? HAHAHA.

Aku cukup berani dan terang-terangan kalau menulis dan itu jadi hal yang paling syukuri. Aku jadi punya wadah untuk explore sisi diri aku yang lain, yang mungkin masih banyak yg orang lain tau. Karena, tulisanku dan gmn diri aku di dunia nyata itu gak sama. Kaya 2 orang yang beda. Udh banyak yg bilang gitu hahaha

Reviewer: Untuk ukuran buku puisi, 200 halaman itu cukup tebal dan banyak lho, Kak. Keren banget! Apalagi dengan tema yang sama. Apakah Kakak sempat mengalami kebuntuan ide saat mengkurasi puisi di dalam buku ini?

Bagaimana Kakak mengelola kondisi emosi untuk menulis puisi sebab penulisan puisi sendiri membutuhkan kedalaman batin? Bisakah Kakak bagikan insight tentang kedua hal itu bagi pembaca kami?

Talitha: Soal pernah atau engga buntu dalam menulis ide, pasti pernah. Sering banget malah. Makanya buku ini cukup lama jadinya. Apalagi buku ini kan berangkatnya memang dari perasaan sendiri. Ditambah cuma ketemu sekali sama laki-laki itu. Dan selama nulis, lagi gak naksir siapa-siapa, gak ada crush, gak ada pacar. Lurus aja gitu hahaha.

Jadi memang ada banget tantangannya. Untuk mengelola emosi, cara aku adalah dengan inget-inget lagi momen pertama kali ketemu laki-laki itu. Uniknya, tiap abis ngebayangin, selalu ada perasaan baru yang muncul, fresh aja gitu cenat-cenut kasmarannya. Hahaha.

Kalo lagi stuck banget, biasanya aku baca puisi-puisi dari penulis lain atau denger lagu romantis sebagai pancingan, tentunya sambil coba inget-inget dia ya biar tambah gampang. Hehehe

Reviewer: Berkenaan dengan judul buku ini, saya penasaran sih sama pernyataan ‘Bagiku, mencintaimu adalah mahakarya’. Apakah ini yang Kakak maksud dengan mahakarya di buku ini? Atau justru ada hal lain? Apa sih alasannya?

Talitha: Betul! Buat aku, bentuk mencintai laki-laki itu kaya mahakarya. Mana mahakaryanya? Ya buku ini. Dia abadi di sini. Penulisnya mungkin mati, tapi karyanya (laki-laki itu) akan selalu ada di buku ini.

Reviewer: Ada sebuah larik unik di puisi Kakak yaitu, ‘Dalam ciumanmu aku menemukan surga yang porak-poranda’. Saya tertegun cukup lama membacanya. Kenapa ciuman harus memporak-porandakan surga? Apa keterkaitan di antara dua hal ini dengan ‘cinta’ si ‘Aku’ kepada ‘Kamu’?

Talitha: Duh gimana ya bilangnya. Malu. Hahaha. Oke, jadi gini. Di mata aku, dia itu bentuk keindahan paling absolut. Ditatap dia aja aku gemeter, gimana dicium??!

Jadi ibaratnya gini, dicium dia itu bahagianya setengah mati tapi jantung aur-auran, meledak-ledak. Maksud dari porak poranda di sini adalah bentuk adrenalin yang ngalir dari ujung kepala sampe ujung kaki. Begitu kak kira-kira. Bikin pikiran berantakan, tapi di hati seneng bukan main. Kebayang kan ya? DUH MALU HAHAHAHA.

Reviewer: Larik lain yang menarik perhatian saya juga yakni, ‘Maka mempuisikanmu adalah cara memuja paling malu-malu’. Mengapa puisi, Kak? Mengapa puisi bagi Kakak menjadi wujud cinta yang ‘malu-malu’? Padahal, menurut saya, puisi Kakak sangat percaya diri dan powerfull.

Talitha: Karena yang berani dan powerful dalam menunjukan cinta itu sebetulnya HANYA puisinya, bukan akunya. Aku juga mungkin bisa aja berani, powerful dan ugal-ugalan, tapi balik lagi kaya yang aku bilang, siapa dan seperti apa dulu laki-lakinya.

Kalau ketemu sama laki-laki yang kaya aku gambarkan di buku ini, ya gas dongg! Malu-malu itu untuk tahap awal kepincutnya. Selebihnya sih aku gas terus aja, tentunya dengan bidikan yang baik ya hahaha

-

Penulis buku Obra Maestra dapat kamu sapa melalui laman Instagram @talithacarlenn.

Reviewer: Lupy Agustina

BACA JUGA: Review Buku Insya Allah Aku Siap Nikah
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url