Review Buku Antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah karya Graece Tanus, dkk.
Setelah berhasil meluncurkan buku antologi Perempuan Itu Ibuku: Persembahan Tanda Cinta untuk Ibu yang bertepatan dengan peringatan Hari Ibu pada 22 Desember 2022, akhirnya Graece Tanus dan 22 penulis lainnya kembali berkarya.
Kali ini, buku yang dilahirkan berupa buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah. Kabarnya, buku ini menjadi “kado” yang bertepatan dengan Hari Ayah Nasional pada tanggal 12 November mendatang.
Penasaran dengan kisah-kisah yang disuguhkan dalam buku Melukis Kenangan Bersama Ayah?
Simak ulasannya berikut ini.
Judul: Melukis Kenangan Bersama Ayah
Penulis: Graece Tanus, dkk.
ISBN: 978-623-09-5836-6
Penerbit: CV Lentera Semesta
Isi: viii, 330 halaman
Tahun Terbit: Oktober 2023
Jenis/Kategori: Antologi/ Non Fiksi
Buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah terdiri dari 22 judul yang ditulis oleh 23 penulis, diantaranya Graece Tanus, Meutia Hatta Swasono, Franz Magnis-Suseno SJ, Aruni Basuki Yusuf, Ayu Primantari, Gloria Fransisca, Indriani Soenarjo, Sr Irena Handayani OSU, Iwan K. Darusman, Lenny Herliyanti, Linda Enriany, Luki & AR Handini, Risa Savitri, Rumanti Y. Sinaga, Rurisa Hartomo, Sadewo, Sandi, Sekar Hartono, Stella Anjani, Sukma R. Moerkardjono, dr. Theo, Sp.A, dan Ugiek Susilawati.
Bagi Graece, papa adalah seorang teladan yang mengajarkan kedisiplinan dan tanggung jawab. Di sisi lain, ada cinta yang begitu besar, bersarang di diri papa. Salah satu momen yang paling membahagiakan ialah ketika anak-anaknya berulang tahun.
Papa selalu menyiapkan kue ulang tahun dan mengajak foto bersama di studio foto langganan. Papa juga kerap menjadi chef saat weekend tiba. Menu andalannya ialah nasi uduk dengan ayam goreng kampung bumbu kuning.
Begitu banyak kenangan yang membekas di ingatan Graece. Mustahil baginya untuk melupakan memori indah bersama cinta pertamanya.
Kisah kedua ditulis oleh Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, seorang akademisi dan politisi Indonesia. Menjadi anak sulung dari bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi Meutia.
Sang ayah, Dr. Mohammad Hatta, tidak hanya menjadi figur yang hebat di mata masyarakat Indonesia, tapi juga bagi anak-anaknya. Banyak sekali keteladanan yang ia dapat dari sosok ayahnya.
Pada tulisan ini, Meutia memaparkan rekam jejak yang dimiliki Bung Hatta. Dimulai dari latar belakang, masa kecil, hingga bagaimana ayahnya terbentuk menjadi pribadi yang baik. Kisah kedua ini seolah mengajak kita merasakan bagaimana pola asuh sang bapak proklamator.
Kisah ketiga dipaparkan oleh Romo Franz Magnis-Suseno SJ, seorang guru besar emeritus di salah satu perguruan tinggi filsafat di kawasan Jakarta.
Namun, sang ayah meninggalkan warisan berupa ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya. Begitu banyak kenangan yang berwarna, layaknya dinamika dalam kehidupan. Kenangan yang menggoreskan dan menambahkan warna warni dalam perjalanan hidup anak-anaknya.
Kisah ketujuh belas berasal dari seseorang yang sedari kecil hidup di tengah perbedaan, Sandi. Sandi dimasukkan ke sekolah Katolik, walaupun ayahnya seorang muslim dan ibunya beragama Buddha. Kendati demikian, sang ayah sering mengajaknya shalat. Pun sesekali ia menemani ibunya ke klenteng.
Ayah Sandi bekerja sebagai anak buah kapal penangkap ikan laut. Sandi mengaku tidak ingat rasanya dipeluk sang ayah, tetapi ia selalu ingat elusan tangan sang ayah saat memberikan izin dirinya mengikuti kelas katekumen.
Kisah kedelapan belas ditulis oleh Sekar Hartono, yang kesehariannya bekerja sebagai Direktur Keuangan di salah satu perusahaan. Ayahnya, Hartono, merupakan Duta Besar RI yang bertugas di Pyongyang, Korea Utara.
Bagi Sekar, bapak adalah seorang prajurit setia. Bapak juga seorang penggemar buku, beliau suka membaca. Nama bapak telah diabadikan dan terpampang gagah di Ksatrian Marinir Cilandak Jakarta. Tempat yang pernah menjadi saksi pengabdian bapak pada negeri ini dan tentu saja tempat yang paling dicintai hingga akhir hayatnya.
Bapak senantiasa berpesan agar anak-anaknya tak pernah takut menegakkan kebenaran dan senantiasa menjadi petarung kehidupan di jalan yang benar.
Kisah kesembilan belas dilukiskan oleh salah seorang alumnus UAJ dan UI, Stella Anjani. Di awal tulisan, Stella menumpahkan perasaannya tentang selentingan orang mengenai status dirinya yang masih melajang di usia 30-an.
Perenungan mengenai kenyamanan dengan situasi itu mudah membawanya ‘menyalahkan’ pola asuh orang tua. Apalagi mengaitkannya dengan daddy issue.
Sebenarnya, sang ayah – yang ia panggil “papa”, merupakan orang yang hangat dan easy-going. Ia kerap mengapresiasi berbagai hal, tanpa memiliki standar.
Bagi papa, segala upaya itu bagus, dan papa selalu memuji segala halnya. Stella berterima kasih, sebab papanya selalu berada di sampingnya hingga ia terbentuk menjadi perempuan yang utuh.
Kisah kedua puluh dilukiskan oleh Dr. Sukma R. Moerkardjono, M.Si., seorang psikolog dan akademisi. Ayahnya merupakan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Tentu sang ayah tidak hanya fokus dengan pekerjaan, tetapi juga meluangkan waktu untuk melayani Tuhan di gereja. Setiap weekend atau libur panjang sekolah, ayahnya selalu punya program holiday bersama dengan keluarga.
Tahun 2006, adalah tahun terminus untuk diri Sukma. Pernikahannya mengalami kegagalan. Beruntungnya ia masih didampingi ayahnya. Tidak ingin terpuruk dalam kesedihan, ia melanjutkan studi hingga S3. Hikmah lainnya, kedekatan dirinya dengan sang papa semakin erat.
Kisah kedua puluh satu menggambarkan tentang Drs. Yoseph Ruben, ayahanda dari dr. Defranky Theodorus, Sp.A, seorang dokter spesialis anak.
Bagi Theo, ayahnya yang merupakan pensiunan PNS guru, merupakan sosok pemimpin hebat dalam keluarga. Beliau selalu menunjukkan sikap bijaksana dan berwibawa, mampu mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan keluarga.
Banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil dari sang ayah, dimulai dari dedikasinya dalam bekerja, hingga bagaimana ia bisa memprioritaskan keluarganya.
Kisah kedua puluh dua merupakan kisah pemungkas dari buku ini. Kisah yang dituturkan Ugiek Susilawati ini menceritakan ayah hebat bernama Soemadi. Ayahnya merupakan sosok yang cerdas di bidang akademik dan piawai dalam memainkan beberapa jenis alat musik.
Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan ayahnya sempat menurun. Bersyukurnya, Ugiek bisa mendampingi dan merawat sang ayah sampai akhir hayatnya.
Di penghujung tulisannya, Ugiek menuturkan "Semoga Allah memberikan tempat yang indah di sisi-Nya. Insya Allah nanti kita bertemu di surga-Nya Allah. Tempat terindah nan abadi."
Baca Juga: Review Buku Misbah Kehidupan
Saya benar-benar takjub dengan para penggiat literasi yang tak hentinya menularkan semangat. Sebagaimana kutipan Graece di bagian pengantar “Membaca buku, kita bisa mengenal dunia. Menulis buku, kita akan dikenal dunia,”
Penuturan yang disampaikan dalam buku ini cukup runtut. Ditambah, gaya penulisan yang digunakan dalam buku ini sangat apik dan mudah dipahami. Saya yakin, buku ini “ramah baca” untuk semua kalangan.
Buku ini diangkat dari pengalaman pribadi. Para penulis menyorot sosok ayah dan pengalaman memorable yang cukup mengharukan. Tak heran, beberapa penulis mengaku sempat menangis saat merampungkan buku ini.
Apakah membosankan saat membaca buku dengan tebal 330 halaman ini?
Tidak. Bahkan saya mampu membaca buku ini selama seharian penuh. Jujur saja, saya terlalu larut dalam kisah-kisah inspiratif di dalamnya. Terlebih, buku ini dilengkapi foto lawas dan kutipan, yang memberikan kesan kuat pada kisah para ayah hebat.
Selepas membaca buku ini, saya mendapat insight baru terkait bagaimana pola asuh para ayah yang notabene berangkat dari latar belakang yang berbeda.
Satu hal yang bisa saya dapat dari 22 kisah ini: sejatinya, setiap ayah memiliki love language tersendiri, dan semua ayah telah berusaha menjadi role model bagi anak-anaknya.
Saya benar-benar merekomendasikan buku ini. Pasalnya, banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa didapat dari para ayah yang berangkat dari latar belakang berbeda.
Bagaimana memori anak dari bapak proklamator?
Bagaimana memori anak yang ayahnya berlatar belakang militer?
Bagaimana memori anak yang ayahnya begitu giat bekerja?
Dan…bagaimana bahasa cinta yang diungkapkan oleh para ayah hebat ini?
Rentetan pertanyaan itu akan terjawab dalam buku Melukis Kenangan Bersama Ayah.
Saya sebagai founder RUANGMENULIS.ID bertekad untuk setiap tahunnya minimal meluncurkan 1 buku antologi dengan mengajak sahabat literasi baru untuk berkarya bersama.
Judul untuk antologi berikutnya sudah saya siapkan dan itu temanya sangat menarik, masih dari sekitaran orang terdekat kita.
Siapa saja boleh bergabung dalam antologi selanjutnya asalkan punya komitmen tinggi untuk mau maju bersama lewat komunitas ini. Seleksi penulis tetap dilaksanakan untuk melihat latar belakang dan motivasi dari setiap calon penulis.
-
Salah satu penulis buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah dapat kamu sapa melalui laman Instagram @graecetanus.
Reviewer: Fitri Ayu Febrianti
Review Buku Antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah karya Graece Tanus, dkk.
Deskripsi BukuJudul: Melukis Kenangan Bersama Ayah
Penulis: Graece Tanus, dkk.
ISBN: 978-623-09-5836-6
Penerbit: CV Lentera Semesta
Isi: viii, 330 halaman
Tahun Terbit: Oktober 2023
Jenis/Kategori: Antologi/ Non Fiksi
Buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah terdiri dari 22 judul yang ditulis oleh 23 penulis, diantaranya Graece Tanus, Meutia Hatta Swasono, Franz Magnis-Suseno SJ, Aruni Basuki Yusuf, Ayu Primantari, Gloria Fransisca, Indriani Soenarjo, Sr Irena Handayani OSU, Iwan K. Darusman, Lenny Herliyanti, Linda Enriany, Luki & AR Handini, Risa Savitri, Rumanti Y. Sinaga, Rurisa Hartomo, Sadewo, Sandi, Sekar Hartono, Stella Anjani, Sukma R. Moerkardjono, dr. Theo, Sp.A, dan Ugiek Susilawati.
Sepenggal Kisah dari Sosok Ayah
Kisah pertama dibagikan oleh Graece Tanus, seorang wanita tangguh yang aktif di dunia literasi. Memori Graece ditarik kembali pada kejadian 2 September 1989. Sebuah peristiwa yang tak akan pernah ia lupakan. Tepat pada hari itu, sang papa, Willy Tanus, berpulang ke rumah Sang Pemilik Kehidupan.Bagi Graece, papa adalah seorang teladan yang mengajarkan kedisiplinan dan tanggung jawab. Di sisi lain, ada cinta yang begitu besar, bersarang di diri papa. Salah satu momen yang paling membahagiakan ialah ketika anak-anaknya berulang tahun.
Papa selalu menyiapkan kue ulang tahun dan mengajak foto bersama di studio foto langganan. Papa juga kerap menjadi chef saat weekend tiba. Menu andalannya ialah nasi uduk dengan ayam goreng kampung bumbu kuning.
Begitu banyak kenangan yang membekas di ingatan Graece. Mustahil baginya untuk melupakan memori indah bersama cinta pertamanya.
Kisah kedua ditulis oleh Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, seorang akademisi dan politisi Indonesia. Menjadi anak sulung dari bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi Meutia.
Sang ayah, Dr. Mohammad Hatta, tidak hanya menjadi figur yang hebat di mata masyarakat Indonesia, tapi juga bagi anak-anaknya. Banyak sekali keteladanan yang ia dapat dari sosok ayahnya.
Pada tulisan ini, Meutia memaparkan rekam jejak yang dimiliki Bung Hatta. Dimulai dari latar belakang, masa kecil, hingga bagaimana ayahnya terbentuk menjadi pribadi yang baik. Kisah kedua ini seolah mengajak kita merasakan bagaimana pola asuh sang bapak proklamator.
Kisah ketiga dipaparkan oleh Romo Franz Magnis-Suseno SJ, seorang guru besar emeritus di salah satu perguruan tinggi filsafat di kawasan Jakarta.
Franz kembali mengingat peristiwa 16 April 1955, ketika ia akan masuk novisiat – rumah dan tahap pertama orang yang masuk ke dalam Serikat Yesus (Ordo Yesuit).
Diketahui, keluarga Franz merupakan keluarga bangsawan, mendapat gelar kebangsawanan di abad ke-16 dari kaisar Jerman-Austria.
Diketahui, keluarga Franz merupakan keluarga bangsawan, mendapat gelar kebangsawanan di abad ke-16 dari kaisar Jerman-Austria.
Ia juga memaparkan silsilah keluarganya, hingga kekayaan yang dimiliki keluarga masyhur itu. Namun pada tahun 1944-1945, keluarga Franz dihadapkan pada konflik politik yang tak bisa terelakkan.
Melalui tulisan ini, banyak hal yang Franz tuturkan, dimulai dari perjalanan dan perjuangan keluarganya, hingga betapa takjubnya ia dengan figur sang ayah – Ferdinand Graf von Magnis, seorang letnan I Angkatan Darat Jerman.
Melalui tulisan ini, banyak hal yang Franz tuturkan, dimulai dari perjalanan dan perjuangan keluarganya, hingga betapa takjubnya ia dengan figur sang ayah – Ferdinand Graf von Magnis, seorang letnan I Angkatan Darat Jerman.
Franz juga bersyukur bisa mendapat orang tua yang memiliki limpahan kasih sayang dan dukungan penuh, terutama saat Franz dipanggil menjadi yesuit.
Kisah keempat didominasi oleh Basuki Winoto, ayahanda dari Aruni Basuki Yusuf. Aruni mulai menuturkan kisahnya dengan mengambil latar waktu bulan Desember tahun 1981.
Aruni kecil yang terserang wabah cacar air, perlu mengejar ketertinggalan pelajaran di sekolah. Namun sang ayah, begitu sabar membimbing sang anak agar bisa mengatasi masalah belajarnya.
Bagi Aruni, banyak momen yang ia habiskan bersama sang ayah. Dimulai dari trik jitu ayah pada “kasus” ikan lele, mengajarkan Aruni teknik menggambar, mendukung passion Aruni dalam literasi, mendaftarkan Aruni di kelas Jazz Ballet, dan sebagainya.
Di antara banyaknya nilai kehidupan yang diajarkan, sang ayah kerap mengajarkan Aruni untuk hidup bertoleransi dengan orang lain.
Kisah kelima ditulis oleh Ayu Primantari, seorang wanita yang saat ini sedang menggeluti bidang kepenulisan. Oleh karena itu, lahirlah “7 Cerita tentang Papa” yang mengemas momen kebersamaan dirinya dengan sang ayah, Suparman Yusa.
Sebelum menuturkan “tujuh kisah” tentang ayahnya, di halaman awal Ayu membubuhkan satu puisi pengantar yang sangat menyentuh.
Selanjutnya, ia mengenang momen bersama ayahnya, dimulai dari kisah semobil dengan sangkar burung, lomba masak nasi goreng, disetrap di bawah pohon ceri, menikahi gadis Bali, gendong Scooby-Doo, pergi umrah, hingga cerita saat bermain musik.
Berangkat dari latar belakang militer, tentu saja sang ayah kerap menanamkan kedisiplinan pada anak-anaknya, termasuk Ayu. Kedisiplinan yang diajarkan tidak hanya pada hal-hal penting, tetapi juga untuk soal remeh temeh.
Kisah keenam berasal dari seorang perempuan yang gemar mendalami bidang astrologi dan metafisika Cina, Gloria Fransisca Katharina Lawi.
Ada bumbu-bumbu politik di dalam cerita yang dituturkan oleh Gloria. Pasalnya, sang ayah yang notabene seorang aktivis dan giat di bidang politik, menghadapi perjalanan yang tidak mudah. Sekitar tahun 1998, ayah Gloria menghadapi sebuah keputusan yang terbilang unfair.
Dari kisah ini, Gloria meyakini bahwa sang ayah tidak hanya menjadi seorang pekerja keras, ia juga berhasil menjadi sosok suami dan ayah yang baik.
Kisah ketujuh dituturkan oleh Indriani Soenarjo. Ia mengenang ayahnya sebagai sosok yang menyenangkan dan memiliki sense of humour yang baik. Pasalnya, saat memberi petuah, sang ayah berhasil menyampaikannya dengan cara yang baik, tanpa terkesan menggurui.
Meski seorang laki-laki, tetapi ayah Indriani sangat terampil mengurus pekerjaan rumah, terlebih sejak ibu berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Hingga pada tahun 2001, ayah ikut menyusul ibu ke tempat terindah-Nya.
Kisah keempat didominasi oleh Basuki Winoto, ayahanda dari Aruni Basuki Yusuf. Aruni mulai menuturkan kisahnya dengan mengambil latar waktu bulan Desember tahun 1981.
Aruni kecil yang terserang wabah cacar air, perlu mengejar ketertinggalan pelajaran di sekolah. Namun sang ayah, begitu sabar membimbing sang anak agar bisa mengatasi masalah belajarnya.
Bagi Aruni, banyak momen yang ia habiskan bersama sang ayah. Dimulai dari trik jitu ayah pada “kasus” ikan lele, mengajarkan Aruni teknik menggambar, mendukung passion Aruni dalam literasi, mendaftarkan Aruni di kelas Jazz Ballet, dan sebagainya.
Di antara banyaknya nilai kehidupan yang diajarkan, sang ayah kerap mengajarkan Aruni untuk hidup bertoleransi dengan orang lain.
Kisah kelima ditulis oleh Ayu Primantari, seorang wanita yang saat ini sedang menggeluti bidang kepenulisan. Oleh karena itu, lahirlah “7 Cerita tentang Papa” yang mengemas momen kebersamaan dirinya dengan sang ayah, Suparman Yusa.
Sebelum menuturkan “tujuh kisah” tentang ayahnya, di halaman awal Ayu membubuhkan satu puisi pengantar yang sangat menyentuh.
Selanjutnya, ia mengenang momen bersama ayahnya, dimulai dari kisah semobil dengan sangkar burung, lomba masak nasi goreng, disetrap di bawah pohon ceri, menikahi gadis Bali, gendong Scooby-Doo, pergi umrah, hingga cerita saat bermain musik.
Berangkat dari latar belakang militer, tentu saja sang ayah kerap menanamkan kedisiplinan pada anak-anaknya, termasuk Ayu. Kedisiplinan yang diajarkan tidak hanya pada hal-hal penting, tetapi juga untuk soal remeh temeh.
Kisah keenam berasal dari seorang perempuan yang gemar mendalami bidang astrologi dan metafisika Cina, Gloria Fransisca Katharina Lawi.
Ada bumbu-bumbu politik di dalam cerita yang dituturkan oleh Gloria. Pasalnya, sang ayah yang notabene seorang aktivis dan giat di bidang politik, menghadapi perjalanan yang tidak mudah. Sekitar tahun 1998, ayah Gloria menghadapi sebuah keputusan yang terbilang unfair.
Dari kisah ini, Gloria meyakini bahwa sang ayah tidak hanya menjadi seorang pekerja keras, ia juga berhasil menjadi sosok suami dan ayah yang baik.
Kisah ketujuh dituturkan oleh Indriani Soenarjo. Ia mengenang ayahnya sebagai sosok yang menyenangkan dan memiliki sense of humour yang baik. Pasalnya, saat memberi petuah, sang ayah berhasil menyampaikannya dengan cara yang baik, tanpa terkesan menggurui.
Meski seorang laki-laki, tetapi ayah Indriani sangat terampil mengurus pekerjaan rumah, terlebih sejak ibu berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Hingga pada tahun 2001, ayah ikut menyusul ibu ke tempat terindah-Nya.
Sebagai pemungkas tulisannya, Indriani membubuhkan satu puisi yang mampu merepresentasikan kerinduannya pada sang ayah.
Kisah kedelapan menceritakan RE Soekatimin Pujowinoto, ayahanda dari Sr Irena Handayani OSU. Irena merupakan seorang pastoral JPIC dan koordinator Talitha Kum Indonesia Jaringan Jakarta.
Irena mengungkapkan betapa bangganya ia lahir di tengah keluarga yang hangat dan penuh cinta. RE Soekatimin Pujowinoto, seorang figur ayah yang selalu membersamai anak-anaknya sedari kecil. Bahkan, saat Irena berkesempatan untuk mengikuti Probasi, sang ayah dan ibunda turut mendukung melalui Doa Novena 3x Salam Maria dan puasa.
Kini, sang ayah sudah berada di surga. Tentu saja Irena kerap mengirim untaian doa untuk ayah tercintanya. Di penghujung tulisannya, Irena membubuhkan “Doa kepada Santo Yusuf”. Teks ini sangat cocok menggambarkan sosok perjalanan iman dan hidup ayahnya.
Kisah kesembilan dituturkan oleh Iwan K. Darusman, seorang direktur di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang PPJK dan freight forwarding.
Masih melekat dalam hati Iwan ketika sang ayah menyampaikan bahwa segala sesuatu yang akan diperoleh kelak tidak bisa diraih dengan cara yang cepat. Semuanya butuh waktu dan proses. Ia melihat apa yang ayahnya miliki saat ini adalah bukti nyata dari petuah, “padi yang dipanen hari ini tidak ditanam kemarin sore,”.
Iwan melukiskan sepak terjal perjalanan hidup sang ayah, Darusman Masnur. Ayahnya merupakan sosok pekerja keras, namun ia tetap memprioritaskan keluarga di atas segalanya.
Kisah kesepuluh berjudul “Papa: My Good Leader”, yang ditulis oleh Lenny Herliyanti. Lenny dibesarkan dengan ajaran agama yang begitu kuat. Pun nilai yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya ialah pola pikir untuk menjadi manusia yang penuh dengan kemandirian dan kesederhanaan.
Lenny memulai tulisannya dengan masa kecil papanya, Leonard. Ia juga menuturkan bagaimana kisah cinta papanya dengan sang ibu. Diketahui, papa Lenny merupakan seorang pegawai negeri. Kendati demikian, papa begitu giat mencari penghasilan tambahan.
Kisah kesebelas mengenai Nana Aris Sumarna, yang dituturkan oleh Hj. Linda Enriany, S.E., M.M., M.Si.. Sang ayah merupakan alumnus dari APDN dan diangkat menjadi pegawai negeri di Kabupaten Karawang.
Secara runtut, Linda menceritakan kehidupan ayahnya. Bagi Linda, ayah adalah seorang pekerja keras. Kendati demikian, ayah selalu meluangkan waktu di akhir pekan untuk quality time dengan anak-anaknya.
Kisah kedelapan menceritakan RE Soekatimin Pujowinoto, ayahanda dari Sr Irena Handayani OSU. Irena merupakan seorang pastoral JPIC dan koordinator Talitha Kum Indonesia Jaringan Jakarta.
Irena mengungkapkan betapa bangganya ia lahir di tengah keluarga yang hangat dan penuh cinta. RE Soekatimin Pujowinoto, seorang figur ayah yang selalu membersamai anak-anaknya sedari kecil. Bahkan, saat Irena berkesempatan untuk mengikuti Probasi, sang ayah dan ibunda turut mendukung melalui Doa Novena 3x Salam Maria dan puasa.
Kini, sang ayah sudah berada di surga. Tentu saja Irena kerap mengirim untaian doa untuk ayah tercintanya. Di penghujung tulisannya, Irena membubuhkan “Doa kepada Santo Yusuf”. Teks ini sangat cocok menggambarkan sosok perjalanan iman dan hidup ayahnya.
Kisah kesembilan dituturkan oleh Iwan K. Darusman, seorang direktur di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang PPJK dan freight forwarding.
Masih melekat dalam hati Iwan ketika sang ayah menyampaikan bahwa segala sesuatu yang akan diperoleh kelak tidak bisa diraih dengan cara yang cepat. Semuanya butuh waktu dan proses. Ia melihat apa yang ayahnya miliki saat ini adalah bukti nyata dari petuah, “padi yang dipanen hari ini tidak ditanam kemarin sore,”.
Iwan melukiskan sepak terjal perjalanan hidup sang ayah, Darusman Masnur. Ayahnya merupakan sosok pekerja keras, namun ia tetap memprioritaskan keluarga di atas segalanya.
Kisah kesepuluh berjudul “Papa: My Good Leader”, yang ditulis oleh Lenny Herliyanti. Lenny dibesarkan dengan ajaran agama yang begitu kuat. Pun nilai yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya ialah pola pikir untuk menjadi manusia yang penuh dengan kemandirian dan kesederhanaan.
Lenny memulai tulisannya dengan masa kecil papanya, Leonard. Ia juga menuturkan bagaimana kisah cinta papanya dengan sang ibu. Diketahui, papa Lenny merupakan seorang pegawai negeri. Kendati demikian, papa begitu giat mencari penghasilan tambahan.
Kisah kesebelas mengenai Nana Aris Sumarna, yang dituturkan oleh Hj. Linda Enriany, S.E., M.M., M.Si.. Sang ayah merupakan alumnus dari APDN dan diangkat menjadi pegawai negeri di Kabupaten Karawang.
Secara runtut, Linda menceritakan kehidupan ayahnya. Bagi Linda, ayah adalah seorang pekerja keras. Kendati demikian, ayah selalu meluangkan waktu di akhir pekan untuk quality time dengan anak-anaknya.
Linda mengakui, sedari kecil ia dan saudara kandungnya kerap dipenuhi kebutuhannya, juga diberikan kasih sayang yang cukup.
Kisah kedua belas ditulis oleh sepasang suami istri bernama Luki Alamsyah, S.E., Ak., dan Anies R. Handini, S.S. Keduanya memaknai sosok bapak sebagai wujud kesabaran yang tiada batas, dan wujud keikhlasan yang tiada sekat.
Sebuah tulisan pendek ini ditujukan untuk mengenang Drs. Abdul Rohim Agustjik, seorang opa, yai, kakek, eyang, dan bapak yang baik. Kenangan yang bersarang di benak orang-orang terkasihnya bak boneka kayu Matryoshka.
Untuk mengenang almarhum bapak, putra tertuanya menamai masjid di puncak Menara 165 menjadi Masjid Ar-Rohim. Masjid yang selalu menjadi doa-doa bapak semasa hidup.
Kisah kedua belas ditulis oleh sepasang suami istri bernama Luki Alamsyah, S.E., Ak., dan Anies R. Handini, S.S. Keduanya memaknai sosok bapak sebagai wujud kesabaran yang tiada batas, dan wujud keikhlasan yang tiada sekat.
Sebuah tulisan pendek ini ditujukan untuk mengenang Drs. Abdul Rohim Agustjik, seorang opa, yai, kakek, eyang, dan bapak yang baik. Kenangan yang bersarang di benak orang-orang terkasihnya bak boneka kayu Matryoshka.
Untuk mengenang almarhum bapak, putra tertuanya menamai masjid di puncak Menara 165 menjadi Masjid Ar-Rohim. Masjid yang selalu menjadi doa-doa bapak semasa hidup.
Masjid yang selalu dipandangi bapak dengan lantunan zikir. Kini, bapak tetap bisa memandangnya dari tempat persemayaman.
Kisah ketiga belas lahir dari Risa Savitri, seorang pendidik yang senang menulis.
Risa menggambarkan sosok papa, Ahmad Djuaeni Abdurachman, sebagai seseorang yang mengajarkan banyak pelajaran hidup. Mengajarkan kuat bertahan, sekalipun himpitan hidup sangatlah berat. Kehilangan sosok papa memang berat.
Namun ternyata, kehilangan itulah yang menguatkan dan meringankan beban Risa saat berada di beberapa titik terendahnya.
Kisah keempat belas berjudul “Kenangan dalam Sepenggal Lukisan Kehidupan”, yang ditulis oleh Rumanti Y. Sinaga. Rumanti mendapat banyak pelajaran berharga dari sosok bapak. Ia juga mengakui bahwa sepiring makanan dan segelas minuman ternyata bisa bermakna banyak.
Tidak melulu berbicara soal perut kenyang dan dahaga yang terpuaskan, di dalamnya juga ada semangat dan kegembiraan, pun manisnya hubungan keluarga yang terjalin saat santap bersama.
Bapaknya, Soewarsono, merupakan seorang anggota TNI AU. Lebih tepatnya anggota Kopasgat, korps baret jingga. Dalam ingatan Rumanti, kesederhanaan adalah nilai yang cukup menonjol mewarnai kehidupan keluarganya.
Bapak juga selalu ringan tangan membantu orang lain yang membutuhkan, dan tidak segan untuk bergaul dengan segala lapisan masyarakat.
Kisah kelima belas ditulis oleh seorang wanita yang bekerja di bidang chemical construction, Rurisa Hartomo. Seperti nama belakangnya, ia mengisahkan sosok ayah yang bernama Hartomo, yang berprofesi sebagai guru.
Bapak melakukan perannya dalam mendidik anak sebagaimana mestinya. Ia terlibat langsung dalam paternal involvement.
Kemudian, terkait perjalanan spiritualnya, sang ayah berperan cukup besar. Meski hidup di lingkungan keluarga yang mayoritasnya muslim, namun ayah dan ibunya sudah mengenal pengajaran kristen sedari dulu.
Begitupun Rurisa kecil yang sudah diikutsertakan dalam Sekolah Minggu, hingga ia mengenal siapa Tuhan dan karya keselamatan-Nya.
Kisah keenam belas menceritakan tentang Basuki Margono, seorang ayah hebat dari Sadewo. Basuki merupakan potret bapak yang dibalut dengan kesederhanaan. Di mata keluarganya, sang ayah merupakan sosok yang bertanggung jawab dan mengayomi.
Ia mengakui bahwa ayahya memang tidak meninggalkan warisan berupa rumah, tanah, atau pun hal lain yang berupa harta benda.
Kisah ketiga belas lahir dari Risa Savitri, seorang pendidik yang senang menulis.
Risa menggambarkan sosok papa, Ahmad Djuaeni Abdurachman, sebagai seseorang yang mengajarkan banyak pelajaran hidup. Mengajarkan kuat bertahan, sekalipun himpitan hidup sangatlah berat. Kehilangan sosok papa memang berat.
Namun ternyata, kehilangan itulah yang menguatkan dan meringankan beban Risa saat berada di beberapa titik terendahnya.
Kisah keempat belas berjudul “Kenangan dalam Sepenggal Lukisan Kehidupan”, yang ditulis oleh Rumanti Y. Sinaga. Rumanti mendapat banyak pelajaran berharga dari sosok bapak. Ia juga mengakui bahwa sepiring makanan dan segelas minuman ternyata bisa bermakna banyak.
Tidak melulu berbicara soal perut kenyang dan dahaga yang terpuaskan, di dalamnya juga ada semangat dan kegembiraan, pun manisnya hubungan keluarga yang terjalin saat santap bersama.
Bapaknya, Soewarsono, merupakan seorang anggota TNI AU. Lebih tepatnya anggota Kopasgat, korps baret jingga. Dalam ingatan Rumanti, kesederhanaan adalah nilai yang cukup menonjol mewarnai kehidupan keluarganya.
Bapak juga selalu ringan tangan membantu orang lain yang membutuhkan, dan tidak segan untuk bergaul dengan segala lapisan masyarakat.
Kisah kelima belas ditulis oleh seorang wanita yang bekerja di bidang chemical construction, Rurisa Hartomo. Seperti nama belakangnya, ia mengisahkan sosok ayah yang bernama Hartomo, yang berprofesi sebagai guru.
Bapak melakukan perannya dalam mendidik anak sebagaimana mestinya. Ia terlibat langsung dalam paternal involvement.
Kemudian, terkait perjalanan spiritualnya, sang ayah berperan cukup besar. Meski hidup di lingkungan keluarga yang mayoritasnya muslim, namun ayah dan ibunya sudah mengenal pengajaran kristen sedari dulu.
Begitupun Rurisa kecil yang sudah diikutsertakan dalam Sekolah Minggu, hingga ia mengenal siapa Tuhan dan karya keselamatan-Nya.
Kisah keenam belas menceritakan tentang Basuki Margono, seorang ayah hebat dari Sadewo. Basuki merupakan potret bapak yang dibalut dengan kesederhanaan. Di mata keluarganya, sang ayah merupakan sosok yang bertanggung jawab dan mengayomi.
Ia mengakui bahwa ayahya memang tidak meninggalkan warisan berupa rumah, tanah, atau pun hal lain yang berupa harta benda.
Namun, sang ayah meninggalkan warisan berupa ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya. Begitu banyak kenangan yang berwarna, layaknya dinamika dalam kehidupan. Kenangan yang menggoreskan dan menambahkan warna warni dalam perjalanan hidup anak-anaknya.
Kisah ketujuh belas berasal dari seseorang yang sedari kecil hidup di tengah perbedaan, Sandi. Sandi dimasukkan ke sekolah Katolik, walaupun ayahnya seorang muslim dan ibunya beragama Buddha. Kendati demikian, sang ayah sering mengajaknya shalat. Pun sesekali ia menemani ibunya ke klenteng.
Ayah Sandi bekerja sebagai anak buah kapal penangkap ikan laut. Sandi mengaku tidak ingat rasanya dipeluk sang ayah, tetapi ia selalu ingat elusan tangan sang ayah saat memberikan izin dirinya mengikuti kelas katekumen.
Kisah kedelapan belas ditulis oleh Sekar Hartono, yang kesehariannya bekerja sebagai Direktur Keuangan di salah satu perusahaan. Ayahnya, Hartono, merupakan Duta Besar RI yang bertugas di Pyongyang, Korea Utara.
Bagi Sekar, bapak adalah seorang prajurit setia. Bapak juga seorang penggemar buku, beliau suka membaca. Nama bapak telah diabadikan dan terpampang gagah di Ksatrian Marinir Cilandak Jakarta. Tempat yang pernah menjadi saksi pengabdian bapak pada negeri ini dan tentu saja tempat yang paling dicintai hingga akhir hayatnya.
Bapak senantiasa berpesan agar anak-anaknya tak pernah takut menegakkan kebenaran dan senantiasa menjadi petarung kehidupan di jalan yang benar.
Kisah kesembilan belas dilukiskan oleh salah seorang alumnus UAJ dan UI, Stella Anjani. Di awal tulisan, Stella menumpahkan perasaannya tentang selentingan orang mengenai status dirinya yang masih melajang di usia 30-an.
Perenungan mengenai kenyamanan dengan situasi itu mudah membawanya ‘menyalahkan’ pola asuh orang tua. Apalagi mengaitkannya dengan daddy issue.
Sebenarnya, sang ayah – yang ia panggil “papa”, merupakan orang yang hangat dan easy-going. Ia kerap mengapresiasi berbagai hal, tanpa memiliki standar.
Bagi papa, segala upaya itu bagus, dan papa selalu memuji segala halnya. Stella berterima kasih, sebab papanya selalu berada di sampingnya hingga ia terbentuk menjadi perempuan yang utuh.
Kisah kedua puluh dilukiskan oleh Dr. Sukma R. Moerkardjono, M.Si., seorang psikolog dan akademisi. Ayahnya merupakan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Tentu sang ayah tidak hanya fokus dengan pekerjaan, tetapi juga meluangkan waktu untuk melayani Tuhan di gereja. Setiap weekend atau libur panjang sekolah, ayahnya selalu punya program holiday bersama dengan keluarga.
Tahun 2006, adalah tahun terminus untuk diri Sukma. Pernikahannya mengalami kegagalan. Beruntungnya ia masih didampingi ayahnya. Tidak ingin terpuruk dalam kesedihan, ia melanjutkan studi hingga S3. Hikmah lainnya, kedekatan dirinya dengan sang papa semakin erat.
Kisah kedua puluh satu menggambarkan tentang Drs. Yoseph Ruben, ayahanda dari dr. Defranky Theodorus, Sp.A, seorang dokter spesialis anak.
Bagi Theo, ayahnya yang merupakan pensiunan PNS guru, merupakan sosok pemimpin hebat dalam keluarga. Beliau selalu menunjukkan sikap bijaksana dan berwibawa, mampu mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan keluarga.
Banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil dari sang ayah, dimulai dari dedikasinya dalam bekerja, hingga bagaimana ia bisa memprioritaskan keluarganya.
Kisah kedua puluh dua merupakan kisah pemungkas dari buku ini. Kisah yang dituturkan Ugiek Susilawati ini menceritakan ayah hebat bernama Soemadi. Ayahnya merupakan sosok yang cerdas di bidang akademik dan piawai dalam memainkan beberapa jenis alat musik.
Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan ayahnya sempat menurun. Bersyukurnya, Ugiek bisa mendampingi dan merawat sang ayah sampai akhir hayatnya.
Di penghujung tulisannya, Ugiek menuturkan "Semoga Allah memberikan tempat yang indah di sisi-Nya. Insya Allah nanti kita bertemu di surga-Nya Allah. Tempat terindah nan abadi."
Baca Juga: Review Buku Misbah Kehidupan
Pandangan Reviewer tentang Buku Melukis Kenangan Bersama Ayah
Untuk kedua kalinya saya mereview buku antologi milik Graece Tanus dan kawan-kawan. Melahirkan karya bersama memang bukan perkara mudah. Namun Graece berhasil mengajak para sahabatnya untuk melahirkan karya otentik ini.Saya benar-benar takjub dengan para penggiat literasi yang tak hentinya menularkan semangat. Sebagaimana kutipan Graece di bagian pengantar “Membaca buku, kita bisa mengenal dunia. Menulis buku, kita akan dikenal dunia,”
Penuturan yang disampaikan dalam buku ini cukup runtut. Ditambah, gaya penulisan yang digunakan dalam buku ini sangat apik dan mudah dipahami. Saya yakin, buku ini “ramah baca” untuk semua kalangan.
Buku ini diangkat dari pengalaman pribadi. Para penulis menyorot sosok ayah dan pengalaman memorable yang cukup mengharukan. Tak heran, beberapa penulis mengaku sempat menangis saat merampungkan buku ini.
Apakah membosankan saat membaca buku dengan tebal 330 halaman ini?
Tidak. Bahkan saya mampu membaca buku ini selama seharian penuh. Jujur saja, saya terlalu larut dalam kisah-kisah inspiratif di dalamnya. Terlebih, buku ini dilengkapi foto lawas dan kutipan, yang memberikan kesan kuat pada kisah para ayah hebat.
Selepas membaca buku ini, saya mendapat insight baru terkait bagaimana pola asuh para ayah yang notabene berangkat dari latar belakang yang berbeda.
Satu hal yang bisa saya dapat dari 22 kisah ini: sejatinya, setiap ayah memiliki love language tersendiri, dan semua ayah telah berusaha menjadi role model bagi anak-anaknya.
Saya benar-benar merekomendasikan buku ini. Pasalnya, banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa didapat dari para ayah yang berangkat dari latar belakang berbeda.
Bagaimana memori anak dari bapak proklamator?
Bagaimana memori anak yang ayahnya berlatar belakang militer?
Bagaimana memori anak yang ayahnya begitu giat bekerja?
Dan…bagaimana bahasa cinta yang diungkapkan oleh para ayah hebat ini?
Rentetan pertanyaan itu akan terjawab dalam buku Melukis Kenangan Bersama Ayah.
Jadi, lekas miliki buku ini dan bersiaplah untuk menelusuri setiap kisahnya.
Graece: Setelah meluncurkan beberapa buku solo, saya banyak mendapat bisikan dari teman-teman yang bertanya bagaimana bisa menulis, bagaimana caranya bisa berkarya lewat sebuah buku, bagaimana bisa meluncurkan sebuah karya buku, mau dong ikut menulis dan banyak pertanyaan dan keinginan lainnya dari sahabat-sahabat saya.
Berangkat dari pertanyaan itu saya berpikir untuk merealisasikan keinginan banyak sahabat.Akhirnya saya memutuskan untuk membuat buku antologi pertama saya berjudul Perempuan Itu Ibuku dengan mengajak 9 sahabat dan tokoh panutan saya Ibu Meutia Hatta.
Saya mengambil tokoh Ibu karena saya berpikir ini adalah sosok yang sangat dekat dengan setiap pribadi dan mempertimbangkan sahabat yg saya ajak menulis sebagai penulis pemula.
Setelah PII diluncurkan bertepatan dengan hari Ibu 22 Des 22, kembali saya mendapat banyak bisikan dari sahabat lain yang ingin bergabung untuk menulis dan punya karya. Secepat kilat saya berusaha memikirkan tokoh yang bisa ditulis dalam sebuah karya buku dan pilihan jatuh pada figur Ayah yang menjadi pribadi terdekat dari setiap orang.
Karena peminat cukup banyak, maka saya mengadakan seleksi kecil untuk para pendaftar. Ternyata para sahabat juga mengajak sahabat lainnya untuk bisa bersama mengikuti seleksi dan akhirnya terpilih 23 penulis dalam buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah (MKBA). Bersyukur 2 tokoh negeri ini Ibu Meutia Hatta dan Romo Franz Magnis Suseno SJ bersedia ikut menulis dalam buku MKBA.
Lebih jauh saya berpikir untuk mendirikan sebuah komunitas bagi para penulis pemula untuk bersama berkembang dalam sebuah komunitas yang saya beri nama Komunitas RUANGMENULIS.ID yang akan diresmikan pada tgl. 8 Nov 2023 bersamaan dengan Peluncuran buku antologi ke 2 - MKBA.
Reviewer: Tentu ada perasaan sedih, haru, dan bahagia, saat mengenang kembali memori bersama ayah. Hal apa yang membuat Ibu dan beberapa penulis lainnya termotivasi untuk menuliskan tentang ayah?
Graece: Perasaan campur aduk ketika menuliskan cerita kenangan tentang seorang Ayah yang menjadi bagian dari perjalanan hidup setiap penulis.
Sudah dijelaskan di Point 1 bahwa Ayah merupakan pribadi terdekat dalam kehidupan pribadi setiap orang. Jadi intinya siapa saja bisa dengan mudah menuliskan cerita tentang Ibu dan Ayah sebagai pribadi terdekat dalam kehidupan kita.
Reviewer: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan buku ini?
Graece: Seleksi awal untuk menentukan penulis dimulai sejak bulan April 2023 dan penulisan naskah selesai di 31 Agustus 2023 dan selanjutnya di awal Okt buku siap dicetak. Jadi kurleb 6 bulan persiapannya.
Reviewer: Mengapa Bu Graece begitu giat menularkan semangat literasi kepada orang lain?
Graece: 1). Saya merasa diberi anugerah kemampuan menulis yang harus bisa saya kembangkan bukan untuk diri sendiri tapi menularkannya ke sebanyak mungkin orang yang saya kenal maupun belum saya kenal.
2). Saya pribadi ingin punya karya dan berkarya setidaknya untuk diri sendiri dan itu bisa dibagikan dan diwariskan untuk banyak orang dan generasi muda.
3). Ada cita-cita yang ingin saya wujudkan bahasa kita bisa berkarya dari Indonesia untuk dunia.
4). Mengingatkan bahwa Membaca buku kita bisa mengenal dunia. Menukus buku kita akan dikenal dunia.
Pertanyaan Point 4 ini bikin saya menangis karena terharu 😭👍
Reviewer: Apakah kedepannya ada rencana untuk melahirkan karya bersama lagi? Kalau ada, apakah penulis lain bisa berkesempatan untuk bergabung? Sekiranya, hal apa yang menjadi bahan pertimbangan Ibu untuk menghimpun karya penulis lain?
Graece: Apakah kedepannya ada rencana untuk melahirkan karya bersama lagi? Kalau ada, apakah penulis lain bisa berkesempatan untuk bergabung? Sekiranya, hal apa yang menjadi bahan pertimbangan Ibu untuk menghimpun karya penulis lain?
Wawancara dengan Graece Tanus
Reviewer: Suatu penghormatan bagi kami bisa kembali mengulas buku milik Bu Graece dan beberapa penulis lainnya. Saya sebenarnya sangat penasaran, bagaimana cara Ibu mengajak teman-teman penulis untuk melahirkan buku antologi ini?Graece: Setelah meluncurkan beberapa buku solo, saya banyak mendapat bisikan dari teman-teman yang bertanya bagaimana bisa menulis, bagaimana caranya bisa berkarya lewat sebuah buku, bagaimana bisa meluncurkan sebuah karya buku, mau dong ikut menulis dan banyak pertanyaan dan keinginan lainnya dari sahabat-sahabat saya.
Berangkat dari pertanyaan itu saya berpikir untuk merealisasikan keinginan banyak sahabat.Akhirnya saya memutuskan untuk membuat buku antologi pertama saya berjudul Perempuan Itu Ibuku dengan mengajak 9 sahabat dan tokoh panutan saya Ibu Meutia Hatta.
Saya mengambil tokoh Ibu karena saya berpikir ini adalah sosok yang sangat dekat dengan setiap pribadi dan mempertimbangkan sahabat yg saya ajak menulis sebagai penulis pemula.
Setelah PII diluncurkan bertepatan dengan hari Ibu 22 Des 22, kembali saya mendapat banyak bisikan dari sahabat lain yang ingin bergabung untuk menulis dan punya karya. Secepat kilat saya berusaha memikirkan tokoh yang bisa ditulis dalam sebuah karya buku dan pilihan jatuh pada figur Ayah yang menjadi pribadi terdekat dari setiap orang.
Karena peminat cukup banyak, maka saya mengadakan seleksi kecil untuk para pendaftar. Ternyata para sahabat juga mengajak sahabat lainnya untuk bisa bersama mengikuti seleksi dan akhirnya terpilih 23 penulis dalam buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah (MKBA). Bersyukur 2 tokoh negeri ini Ibu Meutia Hatta dan Romo Franz Magnis Suseno SJ bersedia ikut menulis dalam buku MKBA.
Lebih jauh saya berpikir untuk mendirikan sebuah komunitas bagi para penulis pemula untuk bersama berkembang dalam sebuah komunitas yang saya beri nama Komunitas RUANGMENULIS.ID yang akan diresmikan pada tgl. 8 Nov 2023 bersamaan dengan Peluncuran buku antologi ke 2 - MKBA.
Reviewer: Tentu ada perasaan sedih, haru, dan bahagia, saat mengenang kembali memori bersama ayah. Hal apa yang membuat Ibu dan beberapa penulis lainnya termotivasi untuk menuliskan tentang ayah?
Graece: Perasaan campur aduk ketika menuliskan cerita kenangan tentang seorang Ayah yang menjadi bagian dari perjalanan hidup setiap penulis.
Sudah dijelaskan di Point 1 bahwa Ayah merupakan pribadi terdekat dalam kehidupan pribadi setiap orang. Jadi intinya siapa saja bisa dengan mudah menuliskan cerita tentang Ibu dan Ayah sebagai pribadi terdekat dalam kehidupan kita.
Reviewer: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan buku ini?
Graece: Seleksi awal untuk menentukan penulis dimulai sejak bulan April 2023 dan penulisan naskah selesai di 31 Agustus 2023 dan selanjutnya di awal Okt buku siap dicetak. Jadi kurleb 6 bulan persiapannya.
Reviewer: Mengapa Bu Graece begitu giat menularkan semangat literasi kepada orang lain?
Graece: 1). Saya merasa diberi anugerah kemampuan menulis yang harus bisa saya kembangkan bukan untuk diri sendiri tapi menularkannya ke sebanyak mungkin orang yang saya kenal maupun belum saya kenal.
2). Saya pribadi ingin punya karya dan berkarya setidaknya untuk diri sendiri dan itu bisa dibagikan dan diwariskan untuk banyak orang dan generasi muda.
3). Ada cita-cita yang ingin saya wujudkan bahasa kita bisa berkarya dari Indonesia untuk dunia.
4). Mengingatkan bahwa Membaca buku kita bisa mengenal dunia. Menukus buku kita akan dikenal dunia.
Pertanyaan Point 4 ini bikin saya menangis karena terharu 😭👍
Reviewer: Apakah kedepannya ada rencana untuk melahirkan karya bersama lagi? Kalau ada, apakah penulis lain bisa berkesempatan untuk bergabung? Sekiranya, hal apa yang menjadi bahan pertimbangan Ibu untuk menghimpun karya penulis lain?
Graece: Apakah kedepannya ada rencana untuk melahirkan karya bersama lagi? Kalau ada, apakah penulis lain bisa berkesempatan untuk bergabung? Sekiranya, hal apa yang menjadi bahan pertimbangan Ibu untuk menghimpun karya penulis lain?
Saya sebagai founder RUANGMENULIS.ID bertekad untuk setiap tahunnya minimal meluncurkan 1 buku antologi dengan mengajak sahabat literasi baru untuk berkarya bersama.
Judul untuk antologi berikutnya sudah saya siapkan dan itu temanya sangat menarik, masih dari sekitaran orang terdekat kita.
Siapa saja boleh bergabung dalam antologi selanjutnya asalkan punya komitmen tinggi untuk mau maju bersama lewat komunitas ini. Seleksi penulis tetap dilaksanakan untuk melihat latar belakang dan motivasi dari setiap calon penulis.
-
Salah satu penulis buku antologi Melukis Kenangan Bersama Ayah dapat kamu sapa melalui laman Instagram @graecetanus.
Reviewer: Fitri Ayu Febrianti