Review Buku Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) karya Ugik

Review Buku Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) karya Ugik

Era internet dan media sosial rasanya semakin menjauhkan kita dari diri sendiri. Kita cenderung lebih sering mengunjungi timeline orang lain ketimbang berkunjung ke dalam diri.

Buku Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) memberikan perasaan kontemplatif yang kental. Meski mengisahkan cerita yang amat personal, namun buku karya Ugik mampu menjadi tanda koma; sebuah jeda dari lintasan hidup yang semakin cepat.

Sebetulnya, saat membaca judul buku ini, saya teringat buku dengan judul serupa yakni buku Amba karya Laksmi Pamuntjak. Tentu saja kedua buku tersebut berbeda, terutama dari genre cerita.

Amba karya Laksmi Pamuntjak merupakan sebuah novel. Sedangkan Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) adalah sebuah memoar berisi motivasi Islami.

Meski demikian, terdapat sebuah kesamaan yang menurut saya menarik. Kedua buku ini memiliki tokoh utama perempuan. Dan bukan sembarang perempuan, baik Amba karya Laksmi Pamuntjak maupun Ugik, keduanya punya tokoh perempuan yang tahu betul keinginan dan prioritas mereka. 

Namun, pada buku Amba dan Sang Rasa, pembaca akan memiliki pengalaman religi yang cukup mendalam.

Untuk tahu lebih lanjut bagaimana perenungan si ‘aku’ dalam kisah Amba dan Sang Rasa, simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Review Buku Baper Suka Merasa Benar

Review Buku Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) karya Ugik

Identitas buku

Judul: Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya)
Penerbit: Anika Publisher
Pengarang: Ugik
Tahun: Agustus, 2023
Isi: 178 halaman
Genre: Non fiksi/memoar/motivasi islami

Gambaran Umum Buku Amba dan Sang Rasa

Buku Amba dan Sang Rasa terbagi menjadi lima bab, yakni: Pertemuan, Di Ambang Kerisauan, Ketika Kenyataan Tak Lagi Sejalan, Dalam Perjalanan Naik Turunnya Iman, serta Amba dan Sang Rasa.

Dalam setiap bab, penulis selalu menyertakan quotes sebagai bridging bagi pembaca sebelum menikmati kisah-kisah di dalamnya. Uniknya, semua judul dalam setiap bab selalu disertai epilog berupa kata-kata mutiara.

Pertemuan

Pada bab Pertemuan, penulis membubuhkan sepuluh judul cerita yakni; 1) Detik Awal Jumpa, 2) Dalam Skenario-Nya, 3) Terpesona, 4) Tawanan Rasa, 5) Mengagumi dalam Diam, 6) Mendekap Harap, 7) Tentang Rasa Kehilangan, 8) Mungkinkah?, 9) Pencuri Hati, dan 10) Kebaikan Selalu Menemukan Jalannya.
Tatkala ketetapan-Nya telah diputuskan, takdir seolah menggiringnya menemui setiap hamba. Kehadirannya tak mampu ditunda, tak bisa juga dipaksa.
Tanpa aba-aba dia mengalir, menembus dinding kehidupan bagi yang bernyawa
Kutipan tersebut menjadi pembuka di bab pertama. Setiap kalimat pada kutipan menggambarkan bagaimana si ‘aku’ memaknai peristiwa yang dialaminya. ‘Aku’, perempuan yang tengah dilanda kekaguman pada sosok yang baru dia temui.

Kekaguman itu datang lantaran pertemuan yang bahkan tak pernah ia rencanakan. Namun, siapa yang mampu menolak kehendak Tuhan? Si ‘Aku’ bahkan tidak mengharapkan banyak hal dari rasa sukanya itu. ‘Aku’ tampak seperti putri malu, ia menjaga diri, tapi juga menerima rasa suka itu sebagai sebuah anugerah dari-Nya.

Pembaca akan menikmati nuansa taman penuh bunga, langit biru bersih, juga udara segar di bab pertama ini. Si ‘aku’ memulai kisahnya dengan warna cerah. Bab Pertemuan menyuguhkan musim semi.

Di Ambang Kerisauan

Bukankah wajar jika rasa cinta datang bersamaan dengan keraguan? Apalagi jika kemunculan cinta berasal dari hal-hal yang fana, seperti dari seorang manusia. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan penulis pada kutipan pembuka di bab kedua.
Keraguan ialah jembatan dari keyakinan.
Engkau tak akan memiliki keyakinan yang kuat tanpa sempat meragukannya.
Pada bab kedua, pembaca diajak masuk ke dalam perenungan si ‘aku’ terhadap berbagai hal. Tak seperti bab pertama yang berbunga-bunga, bab Di Ambang Kerisauan, si ‘aku’ membahas sesuatu yang lebih mendalam: eksistensi dirinya sebagai muslim, hubungannya dengan Tuhan, bahkan cita-cita dan prioritas hidupnya.

Di bab ini, si ‘aku’ mau tak mau mesti menerima keresahan dan kerinduan sebagaimana ia dengan ikhlas menerima kebahagiaan.

Penulis bertutur dalam sepuluh judul pada bab Di Ambang Kerisauan. Judul-judul tersebut yaitu; 1) Benarkah Aku Ini Seorang Muslim?, 2) Apakah Aku Pantas?, 3) Sebuah Kebenaran, 4) Ilmu Ikhlas, 5) Janji Diri, 6) Tanpa Berkabar, 7) Sekuntum Rindu, 8) Memantaskan Diri, 9) Meredam Rindu, dan 10) Keputusan Terbesar.

Ketika Kenyataan Tak Lagi Sejalan

Luka dan duka membelajarkan kita. Ungkapan itu menurut saya amat sesuai menggambarkan kisah si ‘aku’ pada bab ketiga. Dalam Ketika Kenyataan Tak Lagi Sejalan, pembaca akan menyelami kesedihan si ‘aku’ menghadapi patah hatinya.

Wanita mana yang tak akan bersedih melihat lelaki yang amat ia kagumi menikahi wanita lain?

Pada bab inilah, si 'aku' mengalami penerimaan paling sulit. Si 'aku' bergumul dengan keinginan dan kenyataan yang tak sejalan. Penulis memberikan kesempatan kepada si ‘aku’ merasakan fase denial.

Pada mulanya, si 'aku' begitu menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang menimpa dirinya. Namun, perlahan, ranting perasaannya yang patah itu menumbuhkan perasaan yang jauh lebih berarti: cinta dan penyerahan diri pada Tuhan.

Berikut ini cerita yang dimuat dalam bab Ketika Kenyataan Tak Lagi Sejalan: 1) Pupus, 2) Patah, Sepatah Patahnya, 3) Waktu Terus Berjalan, 4) Menyalahkan Tuhan, 5) Hanyut, 6) Meramu Luka, 7) Merangkak Melupakan, dan 8) Berusaha Menerima Kenyataan.

Dalam Perjalanan Naik Turunnya Iman

Bahagia
Bahagia itu bukan saat semua doa yang kau minta dikabulkan,
tapi saat kita meyakini semua yang Allah kehendaki adalah yang terbaik.
Bab keempat merupakan sebuah tafakur panjang. Si 'aku' mulai memasuki fase acceptance atau penerimaan. Sebagaimana kutipan tentang bahagia di bab ini, si 'aku' tak lagi menyalahkan Tuhan atas keadaannya.

Si 'aku' lebih banyak berwawas diri kepada Tuhan. Setiap peristiwa yang dialaminya ia kaitkan dengan kekuasaan dan kasih sayang Allah.

Bab ini memberikan keleluasaan bagi pembaca untuk ikut merefleksikan keimanannya. Tak ada penghakiman. Kita justru diberikan kebebasan untuk menerima bahwa, tak apa jika iman kita kepada Allah masih naik-turun, sebab toh Rasulullah berkata "Al-iimaanu yaziidu wa yanqus".

Kesadaran itulah yang mesti kita gunakan agar kita senantiasa melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan keimanan.

Dalam Perjalanan Naik Turunnya Iman terdapat sembilan belas judul cerita. Berikut judul-judul tersebut;

1). Di Sepertiga Malam,
2). Meluruskan Niat
3). Ujian Atau Hukuman
4). Salah Menyikapi Rasa
5). Aku Melangkah Terlalu Jauh Seorang Diri
6). Bukan Cinta yang Membuat Jatuh
7). Ternyata Allah Pencemburu
8). Kukira Waktu Penawarnya
9). Sang Pembolak-Balik Rasa
10). Melepaskanmu Seutuhnya
11). Patah Hati Terbaik
12). Pesan Untuk Diri
13). Hanya Tamu di Atas Tanah-Nya
14). Aku dan Ujianku, Mereka dengan Ujiannya
15). Semua Berjalan Sesuai Jalurnya
16). Sabar dalam Berdoa
17). Berserah Diri
18). Maha Baik Allah
19). Sebaik-baiknya Perencana.

Amba dan Sang Rasa

Amba dan Sang Rasa adalah sebuah konklusi. Saya merasakan si 'aku' terlahir kembali dengan lebih jernih. Penulis memberikan banyak kehangatan pada bab terakhir ini, terutama bagi para perempuan dengan kisah yang serupa.
Perempuan memang Allah takdirkan untuk memiliki kepekaan rasa yang jauh mendalam. Seorang perempuan lebih mengutamakan perasaan memanglah benar, akan tetapi itu semua tak berarti menunjukkan jika logika berpikir yang dimilikinya lemah. Justru kepekaan inilah yang menjadi salah satu keistimewaan bagi dirinya.
Kutipan di atas menggambarkan bahwa si 'aku' telah selesai dengan patah hatinya. Ia menyadari, sebagai perempuan, dirinya begitu berharga.

Kepekaan perasaannya tak ia tolak, tetapi justru ia jadikan kekuatan untuk semakin mengenal diri sendiri.

Kini, setelah rasa sakit yang ia alami, si 'aku' menjadi semakin bijaksana terutama dalam menyandarkan pengharapan.

Berikut cerita yang termaktub dalam bab Amba dan Sang Rasa:

1). Mengagumi Seseorang yang Banyak Dikagumi
2). Amba dan Ujian Perasaannya
3). Perjalanan Naik Turunnya Imanku
4). Hamba yang Dimuliakan
5). Kekhawatiran akan Dunia Telah Dipatahkan-Nya
6). Tak Ada Doa yang Sia-Si
7). Allah Sang Pemilik Cinta
8). Ketika Aku Nanti Jatuh Cinta Lagi
9). Munajat dan Cinta
10). Allah Telah Menyiapkan Segalanya
11). Terimakasih Tuhan Telah Mematahkan Hatiku
12). Jika Nanti Seseorang Menemukanku di Dunia
13). Jika Nanti Tak Kutemukan di Dunia.

Baca Juga: Review Buku PSBB

Pandangan Reviewer tentang Buku Buku Amba dan Sang Rasa (Jika Aku Tak Menemukannya) karya Ugik

Membaca memoar kontemplatif Amba dan Sang Rasa mesti dibaca secara perlahan. Pasalnya, konten buku yang patut menjadi renungan pembaca diperkuat dengan perumpamaan-perumpamaan penulis. 

Dari sekian banyak perumpamaan yang digunakan oleh penulis, ada sebuah kalimat yang amat membekas di pikiran saya.
Bentangan samudera layaknya sanubari manusia, tentang palungnya tak ada yang mampu menerka –hal.88
Saya tahu, kalimat tersebut mungkin bukanlah quotes terbaik dalam buku Amba dan Sang Rasa. Meski begitu, kalimat itulah yang justru membuat saya ikut merenung lebih dalam di sepanjang cerita si ‘Aku’.

Pilihan penulis untuk mengasosiasikan kata ‘samudera’ dengan ‘sanubari’ terasa begitu mendalam. Samudera dan segala isinya, hingga kini masih menjadi misteri. Tak ada yang benar-benar tahu seberapa dalam ia, atau seberapa banyak ikan-ikan yang hidup di dalamnya.

Hal yang sama berlaku untuk hati manusia. Hati manusia bukanlah buku terbuka yang mudah dibaca. Bahkan hati kita sendiri. Jika hendak memahami kebijaksanaan hidup, kita harus punya keberanian untuk menyelam ke dalam hati masing-masing.

Kisah si ‘aku’ dalam karya Ugik merupakan kisah yang dialami oleh banyak perempuan. Bukankah kita tidak asing dengan kisah perempuan jatuh cinta, tetapi memilih untuk tak bersama karena saat itu cinta bukanlah prioritas utama?

Akan tetapi, penulis tak membiarkan kisah biasa itu berakhir begitu saja. Amba dan Sang Rasa mengupas kulit terdalam peristiwa.

Kemasan kisah si 'aku' amat sarat dengan nuansa sufistik. Saya tidak merasakan kisah roman yang picisan atau dangkal. Justru, sebaliknya, peristiwa jatuh cinta dan patah hati si 'aku' mengantarkan pembaca untuk lebih memahami diri dan Sang Pencipta.

Buku ini terasa seperti surat dari seorang sahabat lama. Saya menyimak rangkuman kisah yang bertahun-tahun tak ia ceritakan. Hal ini membuat saya memberikan empati kepada si 'aku' meski tak pernah mengalami kejadian yang sama. Penulis bercerita dengan lembut dan penuh keyakinan.

Saya rasa, Amba dan Sang Rasa akan cocok dimiliki sebagai teman baik. Si 'aku' dapat menjadi sahabat yang senantiasa mengingatkan kita kepada kebaikan. Ia tak memberikan penghakiman. Ia justru memberikan kita waktu untuk beristirahat dari keriuhan yang terngiang dalam kepala.

What a heart warming book!

Wawancara dengan Ugik

Reviewer: Halo Kak Ugik! Kakak mengungkapkan bahwa buku Amba dan Sang Rasa merupakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini kenapa? Terus, setelah buku ini terbit, apakah kakak ketagihan untuk menulis buku lagi misal? Dengan genre yang sama, atau berbeda mungkin?

Ugik: Panjang kak ceritanya, hhh. 

Jadi, bisa dibilang, saya ini tipe orang yang sangat susah untuk deep talk ke siapapun. Background keluarga membuat saya kehilangan kepercayaan kepada siapapun. Saking seringnya mendem perasaan sendiri, jadi berdampak di mental health saya.

Saya jadi cenderung minderan, gampang insecure, ngerasa nggak bisa ngapa-ngapain, gampang iri sama pencapaian orang lain, bahkan sampai pernah kejadian self harming. Sampai di suatu titik, saya sadar kalau mental health saya sedang tidak baik-baik saja, dan butuh penanganan dari yang ahli di bidangnya.

Singkat cerita, psikolog itu ngasih saran kepada saya agar punya sarana untuk menumpahkan isi di kepala saya yang nggak pernah bisa saya ungkapin ke siapapun. Dia nyaranin saya bikin coretan kecil semacam diary setiap kali saya ngerasa sedang tidak baik-baik saja.

Oleh karena saya seneng baca, jadi pas psikolog ngasih saran itu, saya langsung bilang “Gimana kalo bikin buku?”. Jadi, menjadi penulis bisa dibilang bukan sesuatu yang saya cita-citakan dari kecil, tapi lebih ke sesuatu yang saya temukan beriringan dengan pengalaman-pengalaman hidup yang saya alami, dan jujur setelah dijalani ternyata menulis sangat-sangat membantu untuk proses penyembuhan mental saya.

Entah kenapa, setelah membuat tulisan (termasuk quotes di Instagram saya), perasaan saya jadi lebih legaan.  Saya juga seperti menemukan value tersendiri dari dalam diri saya “Ternyata, saya bisa nulis ya”.  Kedepan, ada rencana bikin buku lagi Kak, genre masih sama di seputaran non fiksi (memoar), cuma mungkin topiknya saja yang berbeda.

Reviewer: Wah! Menulis memang terapi yang gratis sekalii, ya. Saya doakan, semoga karir penulisan Kak Ugik dimudahkan terus, ya. Nggak nyangka ngedenger background kakak seperti itu, huhu. 

Next, di bagian 'Sapaku Untukmu' Kak Ugik mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah ikut andil dalam perjalanan menulis. Apakah orang tersebut merupakan sosok yang menginspirasi kakak di dalam buku ini? Mengapa orang itu begitu istimewa?

Ugik: Di bagian itu sebetulnya lebih saya tujukan kepada pembaca, entah siapapun itu, baik seseorang yang sudah/belum mengenal saya.

Pada intinya, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah berbaik hati dan bersedia meluangkan waktu untuk ikut andil, serta menjadi saksi dari beberapa catatan-catatan kecil, kumpulan kisah perjalanan saya di buku pertama saya ini.

Reviewer: Okay, Kak..Next...

Kami perhatikan, bab keempat pada buku ini merupakan bab yang paling panjang dibanding bab lainnya. Adakah alasan khusus kakak membuatnya demikian?

Ugik: Tidak ada alasan khusus sih, mengalir aja 😊

Reviewer: Terakhir, ada alasan khusus nggak nerbitin buku via penerbit indie? Apakah ini semacam goal kayak yang penting terbit aja dulu, nggak mikirin kayak ke penerbit mayor, dll.

O, ya, terakhir lagi ini mah. Kakak tipikal orang yang suka gabung komunitas menulis-menulis gitu, kah? Atau lebih ke sendirian aja gitu? Misal ini bisa nulis juga otodidak, atau belajar dari orang lain?

Ugik: Bisa dibilang gitu kak, goalnya pengin buku terbit dulu, jujur nggak mikirin buku bakal laku/nggak, tujuan saya nulis itu setidaknya saya pengin buku itu bisa jadi pengingat buat diri saya sendiri dan syukur-syukur bisa bermanfaat kalau ada orang lain yang berkenan membacanya.

Sampai sekarang ini, saya belum pernah ikut komunitas kepenulisan apapun sih. Kayak gitu bisa dibilang otodidak kali, ya😆. Tapi goals kedepan juga pengen bisa nerbitin buku di penerbit mayor kok, Kak!

-

Penulis buku Amba dan Sang Rasa dapat kamu sapa melalui Instagram @petalsgarden_.

Reviewer: Lupy Agustina

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url