Review Novel Zamzam karya Zakiya Nurbaiti Umar

Review Novel Zamzam karya Zakiya Nurbaiti Umar

Membaca judul novelnya saja, secara spontan saya ditarik untuk terjun ke dalam imajinasi cerita. Penulis pandai betul mengambil nama bermakna kompleks untuk diabadikan melalui karyanya: Zamzam tak pernah berubah rasa.

Novel setebal 164 halaman ini berhasil saya nikmati dalam waktu dua hari. Ada banyak pembelajaran yang saya dapati melalui kisah yang dituliskan Zakiya dalam novel ini.

Saya seolah dibawa ke wisata masa depan dengan suguhan cerita suka-duka dalam berumah tangga, dan bagaimana rute memelihara anugerah rasa.

Memang betul bahwa sebuah rasa adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Indah. Namun, tidak semua rasa benar-benar menjadi anugerah di tangan mereka yang tak mampu mengolahnya.

Untuk mengenal lebih dekat novel Zamzam tak pernah berubah rasa, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Buku Setelah Hujan Kemarin

Review Novel Zamzam tak pernah berubah rasa karya Zakiya Nurbaiti Umar

Identitas Buku

Judul: Zamzam tak pernah berubah rasa
Penerbit: Bara Pustaka
Penulis: Zakiya Nurbaiti Umar
Terbit: Juni 2023
Tebal: viii + 164 halaman
Kategori: Novel Romance Islami

Gambaran Umum Novel Zamzam tak pernah berubah rasa

Novel ini mengisahkan dua insan yang saling memelihara rasa, tanpa saling memberitahukannya sebelum waktu yang tepat datang. Sebut saja Kafiya dan Mas Nukha (alias Muhammad Abdar Fathannukha). Sebagai pembaca, saya sudah jatuh hati begitu membaca lembar pertama.

Pada bagian prolog, Zakiya meramu rangkaian kata yang menyejukkan hati kaum adam. Saya yakin, para lelaki yang membaca bagian ini akan merasa beruntung jika memiliki calon teman hidup seperti Kafiya.

Begitupun sebaliknya, bagian ini memiliki catatan yang perlu dipahami perempuan tentang bagaimana memelihara anugerah rasa dengan keadaan sadar. Katakanlah rasa boleh terus mengalir, namun logika juga tetap harus berjalan.

Pada bagian ini pun, saya menggarisbawahi sebuah catatan. Boleh-boleh saja kita menyematkan nama seseorang dalam doa sepertiga malam hanya sebatas menitipkannya kepada Tuhan Yang Maha Menjaga. Namun, kita juga harus meminta kepada Tuhan agar memberi keluasan hati dan keikhlasan jika takdir yang terbaik, ternyata bukan dirinya yang senantiasa kita sebut dalam doa.

Saya menikmati alur cerita novel ini yang tercover menjadi 17 chapter. Dari 17 chapter, Zakiya menyematkan beberapa pesan di setiap lembar akhir sebagai penguat cerita.

Konflik dan Tantangan dalam Rumah Tangga

Cerita romance Islami ini bukan soal menye-menye, bucin, galau, atau keindahan-keindahan rasa ketika sedang menikmati cinta. Namun, penulis kelahiran 2005 ini sukses menyajikan kisah pahit-manis maupun suka-duka dalam rumah tangga.

Sebagaimana tangga di rumah yang ketika semakin banyak anak tangga kita lalui, semakin tinggi pula posisi pijakan kaki kita. Pun dengan chapter-chapter dalam novel ini, banyak sekali konflik serta tantangan dalam rumah tangga. Selesai pada masalah satu, datang masalah kedua. Begitu seterusnya. Masalah pun tentu bisa saja datang dari keluarga sendiri, pasangan, atau bahkan dari diri sendiri.

Meskipun saya belum berumah tangga, tapi saya cukup terbawa imajinasi bagaimana kenyataan dalam kehidupan rumah tangga lewat novel ini. Penulis benar-benar mampu membuat saya larut dalam cerita dari pengalaman tokoh utama.

Novel Zamzam tak pernah berubah rasa mengajarkan bahwa cinta tidaklah cukup untuk mempertahankan keberlangsungan rumah tangga. Namun, cinta diperlukan keimanan, kepercayaan, komunikasi (bukan introgasi atau intimidasi), serta kesalingan untuk bisa bersinergi menjalani hidup bersama.

Masyarakat dan Stereotype-nya

Zakiya cukup melek pada realitas sosial. Contohnya pertanyaan “kapan”, baik itu kapan nikah, kapan punya anak, kapan lulus kuliah, maupun kapan kerja yang memang membudaya di kalangan masyarakat kita, itu dibahas olehnya.

Saya memandang bahwa novel Zamzam tak pernah berubah rasa bukan hanya sebagai karya, tapi sekaligus juga kritik terhadap realitas sosial. Pada beberapa chapter, penulis kerap menyuguhkan sudut pandang dari pihak yang terluka batin atas pertanyaan “kapan”.

Hal ini tentu menjadi renungan bagi kita dan perlu disepakati bersama. Bahwa pertanyaan “kapan” tidak perlu ditanyakan apabila nantinya menyebabkan hati orang lain terluka, terintimidasi, bahkan terzalimi. Inilah norma, aturan tidak tertulis yang menjadi nilai etika, namun jarang kita sadari.

Baca Juga: Review Buku Objectives karya Einsteine Veliyanka

Tokoh-Tokoh yang Memeriahkan Novel Zamzam tak pernah berubah rasa

Kafiya Humaira Haseena: Tokoh Utama
Ayu: Sahabat Kafiya
Aisyah: Ibu Kafiya
Yahya: Ayah Kafiya
Dzul: Kakak Kafiya
Zahira: Istri Zul (Kakak ipar Kafiya)
Harun: Kakak Kafiya
Ana: Istri Harun (Kakak ipar Kafiya)
Reyhan: Anak Harun & Ana
Muhammad Abdar Fathannukha (Nukha): Suami Kafiya, sahabat Kafiya sejak kecil
Haru: Sahabat Nukha
Afri: Ayah Nukha
Fara: Ibu Nukha
Reza: Teman Nukha
Hasnia: Tetangga Kafiya & Nukha di Pesantren
Hasan: Putera Hasnia
Renata: Teman Organisasi Nukha
Rafa: Putra Kafiya & Nukha

Sudut Pandang Reviewer terhadap Novel Zamzam tak pernah berubah rasa

Secara keseluruhan, saya benar-benar mendapatkan banyak pembelajaran mengenai konflik serta integrasi dalam rumah tangga melalui kisah Kafiya, Nukha, serta keluarga keduanya. Selain itu, saya suka sama kritik sosialnya.

Saya sangat mengapresiasi penulis yang telah mengilustrasikan fenomena sosial masyarakat dan stereotype-nya kepada perempuan. Dimana perempuan dituntut sempurna dan hanya akan dianggap sempurna jika telah memberikan keturunan dari rahimnya.

Jika lama belum dikaruniai anak, pihak perempuanlah yang selalu dipertanyakan kesehatannya dan kenormalan hormonnya. Padahal, berbicara soal rumah tangga, tidak mungkin semuanya tentang perempuan, kan? Ada pihak laki-laki juga yang perlu berikhtiar.

Saya ingin menggarisbawahi dan menegaskan, bahwa derajat keberadaan perempuan tidak ditentukan dari keberhasilannya memberikan keturunan dari rahimnya. Anak adalah pemberian Allah kepada keluarga.

Jika ada orang yang masih menyalahkan atau menyudutkan perempuan karena belum memberikan keturunan, secara tidak langsung, dapat saya katakan bahwa orang tersebut sudah menyalahkan kehendak Allah. Ia tidak meyakini qada dan qadar sebagai bagian dari rukun Iman.

Jadi, mari sama-sama menciptakan ruang aman dan nyaman melalui silaturahmi yang sehat. Tidak toxic mengajukan pertanyaan “kapan” everytime and everywhere.

Wawancara Kami dengan Zakiya Nurbaiti Umar

Reviewer: Zamzam tak pernah berubah rasa. Judul yang menarik. Saya memaknai kisah realitas sumur zamzam sebagai kisah ketauhidan, keikhlasan, juga hakikat cinta. Bolehkah Mbak menceritakan mengapa mengambil judul novel dengan nama kisah ini? Dan apa sih yang melatarbelakangi Mbak menulis novel ini?

Zakiya: Awalnya saya menulis novel ini karena gemas melihat orang-orang yang secara terang-terangan berpacaran, bahkan memamerkannya di sosmed atau semacamnya. Orang di sekeliling saya pun ada yang begitu dan saya merasa risih, tapi saya berusaha mencari cara yang tepat untuk menasehati.

Terciptalah novel ini dengan maksud bahwa "ternyata ada yang dari dulu menahan dan berhasil, mereka tetap bahagia atau mungkin lebih bahagia di kemudian hari walau tanpa mengalami masa pacaran".

Alasan kedua, adalah karena saya ingin mengekspresikan emosi saya yang mengalami cinta dalam diam. Yang saya bahkan tidak tahu rupa dia sekarang seperti apa, hidupnya bagaimana, sehat atau tidak, apa yang disukainya. Jujur, saya pernah mencarinya di Instagram, tapi tidak membuahkan hasil. Penantian saya persis seperti Kafiya menanti Nukha pada kisah Zamzam ini.

Alasan saya memilih "Zamzam" sebagai judul adalah karena saya suka filosofinya. Saya kebetulan suka sekali mengulik sesuatu sampai ke dalam-dalam. Saya melihat ada kecocokan antara kisah yang saya buat dan Zamzam dalam hakikat.

Reviewer: Alur cerita novel ini menyentuh hati, apakah diangkat dari pengalaman pribadi? Boleh tolong ceritakan, Mbak?

Zakiya: Hanya lima persen dari novel ini yang nyata. Kalau tidak salah di bagian halaman 50-an itu ada yang nyata. Selebihnya tidak, karena saya belum menikah. Saya hanya ingin saja. Tapi, saya yakin, menikah bukan masalah keinginan saja, tapi juga kesiapan.

Sama seperti yang saya gambarkan di kisah ini. Kafiya dan Nukha masih sangat muda, tapi mereka memutuskan menikah. Dan saya juga ingin mengatakan pada semua pembaca bahwa menikah itu nggak gampang, menikah bukan soal seneng-seneng aja, tapi pasti setiap hari ada aja masalah yang membuat hati capek. Apalagi kalau masih muda dan mental belum sepenuhnya pas (dalam beberapa kasus) menikah justru bisa jadi masalah karena saling egois.

Kalau pengalaman yang lain, mungkin adalah saat saya mendapatkan penolakan menjadi MC di sebuah acara karena saya berlatih istiqomah menggunakan cadar. Saya mendapatkan tatapan aneh dan terkesan membuat risih orang-orang.

Tapi saya meyakini tidak seperti itu. Saya ingin membuka mata orang-orang yang masih idealis dan cenderung merasa paling benar bahwa cadar itu bukan identik dengan teroris. Bukan hal yang perlu diperdebatkan karena (mungkin) sampai kapanpun tidak ada titik temu.

Daripada sibuk membicarakan apa hukumnya, akan lebih indah jika membiarkan mereka yang memutuskan untuk bercadar melaksanakannya jika memang mereka yakin dengan itu, mereka lebih terjaga dan lebih dekat dengan Allah.

Dalam novel Zamzam juga ada adegan dimana Kafiya bertemu dengan para preman yang tidak suka dengan wanita bercadar. Kafiya mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari mereka. Jadi mungkin ada beberapa yang nyat, tapi hanya sebagian kecil saja atau terinspirasi dari kisah nyata saya sehari-hari.

Reviewer: Dari penyusunan novel ini, bisakah Mbak ceritakan bagaimana riset latar, penokohan, serta berapa lama penulisan naskahnya? Mengingat di usia Mbak yakni kelahiran 2005 sudah berhasil menciptakan karya yang menggambarkan bagaimana ujian, tantangan, kehidupan I dalam rumah tangga.

Zakiya: Tentu saja ada beberapa riset yang saya lakukan. Saya memang masih terbilang muda untuk hal-hal berbau pernikahan. Jika ditanya ingin menikah atau tidak, saya akan menjawab iya dengan lantang. Tapi ketika ditanya siap atau tidak, saya akan menjawab tidak.

Oleh karena itu, saya sangat suka menulis, saya suka hal-hal baru yang belum pernah saya riset dan saya lakukan, tentu riset karena untuk keperluan novel. Misalkan, saya ingin menikah di usia muda dengan sukses, mental yang mumpuni, tidak egois atau keanak-anakan. Jadi saya riset tentang menikah. Bagaimana sebenarnya pernikahan itu terjadi, mengapa orang menikah, dan sebagainya.

Saya suka membaca artikel atau buku yang berhubungan dengan menikah di usia muda atau yang penting tentang pernikahan. Jadi di samping saya menulis, di sisi lain saya juga belajar tentang apa itu menikah. Saya sering berbincang dengan teman dan terutama guru tentang pernikahan.

Banyak dari mereka membimbing saya, bahwa yang namanya pernikahan adalah seumur hidup. Andai kata saya sudah berhasil selama ini menahan untuk tidak berpacaran, maka saya pasti akan mendapatkan orang yang setimpal (insyaallah), jika saya ingin pernikahan saya yang (semoga) di usia muda ini bahagia, saya harus menemukan dulu apa itu bahagia dan mengetahui apa saja yang terjadi di pernikahan dan mengatasinya.

Poinnya adalah hasil dari percakapan saya dan guru saya yang membuahkan karya ini, riset yang saya lakukan tidak terlalu banyak, tapi efektif.

Reviewer: Novel ini bukanlah karya pertama Mbak yaaa, kalau boleh berbagi cerita, tantangan apa yang Mbak dapati untuk merampungkan naskah ini dibanding karya-karya Mbak sebelumnya?

Zakiya: Novel ini saya selesaikan kira-kira dalam waktu dua atau tiga bulan. Novel lain biasanya lebih lama dari itu, bisa sampai setengah tahun. Tapi mungkin karena saya memang menyukai topik yang saya ambil, dan saya menulis ketika lulus SMA dimana saya tidak sedang sibuk, jadi bisa dibilang saya sangat lancar dalam menggarap karya ini.

Tantangan lain adalah bagaimana saya membuat karya yang tidak hanya memasukkan imajinasi di dalamnya. Misalkan, saya sering membaca buku yang alurnya sangat template dan sudah banyak buku yang mengangkat tema itu. Di akhir buku, saya akan bertanya "Terus saya dapat apa setelah membaca ini? Pengin jadi pacarnya geng motor? Pengin hamil di luar nikah? Pengin broken home?"

Jadi, saya sudah lelah dengan kisah seperti itu. Saya memutuskan untuk menulis buku yang kiranya imajinasi masuk, tapi pesan juga ada. Misalnya setelah membaca novel Zamzam, orang jadi berubah pikirannya seperti "Oh jadi nikah itu nggak selamanya enak ya, ada nggak enaknya." Atau "Oh, jadi orang yang nggak pernah pacaran ternyata bisa sukses di pernikahannya?"

Reviewer: Untuk kedepannya, adakah naskah baru yang akan coming soon?

Zakiya: Ada dua naskah yang sedang saya garap. Yaitu antologi puisi tentang rindu (masih tentang dia yang saya ceritakan sedikit tadi) dan yang satunya lagi, saya ingin angkat kisah pernikahan part 2 tapi bukan sequel.

Kalau zamzam ini, saya angkat soal menikah muda, yang coming soon ini saya angkat tema poligami dan seberapa dekat kematian itu. Ada dari teman saya yang menyarankan untuk membuat part 2 Zamzam semacam spin off-nya, yaitu dari sudut pandang Renata. Tapi belum saya mulai, insyaallah kalau ada inspirasi, saya akan mulai menulis lagi.

Reviewer: Sepertinya tokoh Mas Nukha ini menjadi sosok calon imam idaman bagi kaum hawa, hihi. Kalau boleh bercerita, apakah sosok Mas Nukha ini memang kriterianya Mbak banget? Sampai-sampai diabadikan dalam dalam tokoh cerita yang menyejukkan hati ini?

Zakiya: Iya memang Mas Nukha itu idaman sekali, hehe. Siapa yang tidak mau menjadi Kafiya versi nyata coba??

Saya adalah penulis yang memasukan ruh dalam tokoh. Jadi memang benar Mas Nukha adalah suami ideal untuk saya. Dia yang tadi saya ceritakan, saya harap dia seperti Nukha. Tapi kalau tidak, ya gapapa. Kalau kita bukan jodoh, ya gapapa, tapi novelnya akan saya hanguskan kala sudah menikah 😆

Intinya, saya harap kalau suatu saat kita berjodoh, saya mau kasih tunjuk dia kalau saya beneran nunggu dia. Btw, cerita yang sampai belasan tahun itu beneran, Kak. Saya nggak berhubungan sama dia, udah 12 tahun. Emang kita ketemu waktu masih bocil 😆 Tapi nggak tahu, setiap ayahnya ke rumah dan cerita soal anaknya, saya jadi suka. Suka lewat ceritanya.

-

Penulis novel Zamzam dapat kamu sapa melalui Instagram @bait.ikya.

Reviewer : Siti Sunduz

BACA JUGA: Review Novel On the Land of Sorrow
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url