Review Buku Setelah Hujan Kemarin karya Fetri Ramadhani

Review Buku Setelah Hujan Kemarin karya Fetri Ramadhani

Ketika buku Setelah Hujan Kemarin hadir di tengah meeting, buku yang ditulis Fetri Ramadhani ini langsung jadi incaran Tim Penulis Garut. Baru ngelirik blurb-nya saja, kami sudah terpikat untuk membaca buku ini.

Saya, sebagai reviewer, serasa punya golden tiket untuk langsung membaca buku terbitan Ellunar Publisher ini. Dan hal ini tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Buku ini pun mengalir tulus begitu saja saat saya baca. Hingga dalam kurun waktu satu hari, saya sudah mengkhatamkannya.

Rasanya, saya belum kenyang larut dalam ‘rasa’ pada setiap bagian tulisan, saking relate-nya dengan apa yang saya alami dan rasakan dalam waktu dekat ini. Mulai dari bagian prakata sampai lembar akhir, saya menikmati buku ini dengan atensi penuh. Ia tidak membosankan. Ia dikemas dengan gaya penulisan diary, juga dilengkapi diksi-diksi puisi serta quotes.

Untuk mengenal buku Setelah Hujan Kemarin lebih jauh, simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Review Buku LDR 'Lelah Dihajar Revisi'

Review Buku Setelah Hujan Kemarin karya Fetri Ramadhani

Identitas Buku

Judul Buku: Setelah Hujan Kemarin
Penulis: Fetri Ramadhani
Isi: 168 halaman
Penerbit: Ellunar Publisher
Tahun Terbit: Februari, 2023

Buku ini mengajarkan bahwa menyerah bukan sebuah pilihan

Sebelumnya, saya turut bangga dan mengucapkan selamat kepada Kak Fetri yang memilih tidak menyerah atas segala tantangan hidupnya. Hingga pada akhirnya, buku ini bisa hadir di tangan pembaca.

Pada bagian prakata, saya menemukan catatan sebagai pesan kehidupan.

“Makin digenggam, luka hati semakin lebam”. (hal. II).

Ya, saya setuju dengan statement itu. Sepintas, saya membayangkan bunga mawar. Menjaga bunga mawar tidak dengan menggenggam erat tangkainya. Namun membiarkannya tumbuh dengan dekapan alam. Bila ego kita ingin memiliki mawar seutuhnya dengan menggenggam erat, risikonya tangan kita yang akan dipenuhi luka.

Begitupun dengan luka. Cara menyembuhkan luka hati bukan dengan menghindari kenyataan maupun menjauhi sumber luka tersebut. Biarkan diri kita tumbuh sesuai alur kehidupan. Ada tangis karena luka, dan ada tangis karena bahagia. Biarlah! Biarkan diri kita mengekspresikan segala rasa, dan itu wajar.

Mengingat-ngingat peristiwa yang menjadi penyebab luka memang memerlukan keberanian besar. Namun, bukan berarti kita terus menghindari luka dengan membuang jauh ingatan tersebut.

Cara pertama agar berdamai dengan diri atas segala peristiwa yang menjadi penyebab luka, adalah dengan menerimanya. Menerima bahwa setiap orang pasti akan mengalami masa bahagia, sekaligus duka.

Hadirnya buku Setelah Hujan Kemarin menjadi prestasi serta apresiasi yang berharga pada diri atas segala hal yang sudah berhasil dilalui. Hal ini pun diperkuat oleh pernyataan Kak Fetri pada bagian prolog.

“Tidak banyak yang bisa kulakukan saat itu. Selain melewatinya sembari menyadarkan diri dengan sebuah penerimaan.”

Buku Setelah Hujan Kemarin = Ketulusan, Keberanian, dan Kejujuran

Kak Fetri menulis buku ini tidak dalam waktu yang singkat. Saya menemukan titi mangsa di beberapa tulisan yang dibuat pada 2015.

Kak Fetri begitu apik memelihara tulisan-tulisannya yang mewakili rasa bertahun-tahun. Saya melihat ini sebagai bentuk ketulusan, keberanian, dan kejujuran. Maka dari itu, saya turut mengapresiasi Kak Fetri atas hadirnya buku yang istimewa ini.

Buku Setelah Hujan Kemarin terbagi menjadi 3 bagian. Saya mengkategorikan bagian-bagian tersebut sebagai pembagian waktu dalam kehidupan.

Baca Juga: Review Buku Oleh-Oleh dari Kyoto

Bab 1 - Seseorang di Masa Lalu (Merepresentasikan Masa Lampau)

Pada bagian ini, Kak Fetri menceritakan usahanya untuk bangkit dari luka yang cukup dalam. Luka yang juga sama-sama dibuat oleh orang yang mencipta kebahagiaannya. Tentu hal ini tidak mudah, kita bahkan tidak akan pernah berpikir sama sekali jika orang yang menjadi alasan kita bahagia, juga akan menjadi pencipta luka yang dalam.

Saya mendukung penuh atas apa yang dilakukan oleh Kak Fetri terhadap orang di masa lalunya. Kalau boleh saya katakan, saya akan berbahagia dan bersyukur hubungan penulis buku ini telah usai dengan orang tersebut, meskipun memang sangat tidak mudah.

Setelah membaca bagian pertama, rasanya saya ingin memeluk jauh penulis. Saya turut kesal saja.

Sebagai perempuan, kita harus mampu dan berdaya dengan mengendalikan rasa serta logika kita. Diri kita terlalu berharga apabila terus meratapi orang yang tidak layak dijadikan teman hidup kita.

Bab 2 - Di Balik Senyuman Ibu (Menunjukkan Masa Kini)

Pada bagian ini, Kak Fetri menceritakan perjuangan ibunda beserta keluarga untuk sembuh dari rasa sakit tumor rahang yang diderita, hingga pada akhirnya Yang Maha Kuasa memberikan kasih sayang-Nya dengan menjemput Sang ibunda.

Saya mengapresiasi Kak Fetri yang berani menuturkan kejujuran mengenai kekecewaan keluarganya terkait pelayanan kesehatan dari seorang dokter. Dokter yang seharusnya menenangkan pasien, lalu memberikan dukungan penuh kepada pasien agar memiliki semangat untuk sembuh dan hidup, malah menjadi penyebab keruntuhan segala harapan.

Saya turut kesal kepada Dokter tersebut. Saya yakin, apa yang dialami Kak Fetri, juga pasti pernah dialami oleh orang-orang di luar sana. Banyak malah.

Ketika membaca halaman 79 “Ternyata Seburuk Itu”, saya sampai tidak kuat menahan bendungan tangisan. Kak Fetri menyampaikan kekecewaannya kepada pelayanan kesehatan, juga penguatan kepada keluarga atas apa yang tengah dihadapinya.

Berikut adalah catatannya:

“Aku menemukan manusia-manusia sempurna, tetapi tidak punya nurani. Ibu yang tidak berdaya dibiarkan makin menderita. Ibu yang tidak lagi punya kekuatan disia-siakan. Seolah-olah kehadiran kami di rumah sakit ini hanya menanti keajaiban atau bahkan kematian.”

“... Aku sadar, aku tidak punya kuasa apa-apa. Kami bertahan, dan selalu menahan kesakitan.”

“...Terima kasih Tuan Puan Terhormat, yang sudah membiarkan kami menikmati luka ini.”

Pada bagian ini, Kak Fetri menceritakan bagaimana seharusnya kita mengalirkan cinta dan kasih kepada orang tersayang, meskipun sudah berbeda alam. Yakni dengan tetap teguh dan hidup, lalu senantiasa mengalirkan cinta dan memeluk orang tersayang dengan doa-doa terbaik setiap waktu. Meskipun awalnya sulit menerima kenyataan, namun itulah yang harus kita lakukan.

Bab 3 - Perjalanan Menemukan Seseorang yang Baru (Mengilustrasikan Masa Depan)

Hari kemarin adalah sejarah, hari ini adalah tantangan, dan hari esok adalah rahasia. Begitulah runtutan cerita yang disampaikan Kak Fetri dalam buku Setelah Hujan Kemarin.

Pada bagian ini menjadi bab terakhir. Akhirnya happy ending juga. Segala kesabaran, segala keikhlasan, dan segala yang diupayakan ternyata berbuah manis di waktu yang tepat. Saking larutnya dalam cerita, saya turut bersyukur atas kebahagiaan yang diceritakan penulis pada bagian ini.

Benar-benar kejutan yang begitu indah skenario Tuhan ini. Cita-cita, cinta, dan keluarga, lengkap sudah dirasakan oleh penulis melalui hadirnya seseorang sebagai pendamping hidup yang dipilihkan Tuhan.

Sudut Pandang Reviewer Terhadap Buku ini

Pada akhirnya, saya menyepakati semangat Tim Penulis Garut yang ingin membaca buku ini. Buku Setelah Hujan Kemarin memang istimewa. Dari judul saja terdapat filosofi hujan.

“Ada banyak kebaikan yang bisa kita dekap dalam hujan. Sebab hujan tidak selamanya deras. Meski seringkali menghilangkan bekas, hujan tidak selamanya membuat runtuh. Bahkan ada sesuatu yang baru mulai tumbuh. Hujan tidak selamanya membuat langit kelam. Seringkali menghadirkan pelangi yang menghiasi alam.”

Overall, saya ingin sekali mengenal penulis lebih jauh. Sayangnya, pada bagian profil penulis, Kak Fetri tidak menjelaskan tentang dirinya.

Untuk itu, mari lanjut ke sesi wawancara. Mengapa penulis menyembunyikan profilnya?

Wawancara Kami dengan Fetri Ramadhani

Reviewer: Sebelumnya, saya ucapkan selamat kepada kakak yang memilih tidak menyerah hingga pada akhirnya saya bisa memeluk buku ini. Di bagian Prakata, kakak menyampaikan bahwa proses penulisan buku ini tidak sebentar. Bahkan saya juga menemukan titimangsa tulisan di buku tercatat tahun 2015. Kalau boleh bercerita, adakah kendala maupun tantangan yang membuat penulisan buku ini tidak sebentar?

Fetri Ramadhani: Memang untuk menjadi sebuah buku, prosesnya panjang karena saya waktu itu dilema, apakah ini patut dibukukan yang mungkin akan dikonsumsi pembaca atau hanya jadi koleksi pribadi.

Reviewer: Saya mengkhatamkan buku ini dalam beberapa hari, namun saya masih merasa buku ini masih ada usia kehidupan lanjutannya. Mengingat buku ini sepertinya diangkat dari sebuah pengalaman. Apakah ada niatan kakak meneruskan kisahnya di buku berikutnya?

Fetri Ramadhani: Sebagian besar tulisan di buku ini adalah pengalaman pribadi. Dan jujur, diangkat dari buku diary saya. Sejak kecil, saya memang hobi menulis. Puisi, cerita, dan lainnya. Tapi sepertinya jika ingin menulis karya lagi, saya ingin dengan genre yang berbeda.

Reviewer: Saya memandang buku ini sebagai tulisan kejujuran dan ketulusan dari sebuah rasa. Saya penasaran, apa yang melatarbelakangi kakak menuliskan buku ini. Boleh diceritakan?

Fetri Ramadhani: Seperti pernyataan saya sebelumnya, waktu itu saya dilema untuk membukukan tulisan saya. Karena saya kurang percaya diri dan terkadang merasa ini privasi saya, kok diceritakan sih ke orang-orang. Hehe

Tapi setelah banyak membaca, buku-buku yang bergenre sama, akhirnya saya tertantang untuk melanjutkan dan menuntaskan buku ini. Waktu itu saya sering baca buku karya Bang Boy Candra, Kak Tia Setiawati, Genta Keswara, dll. 

Saya merasa dapat power lagi. Sepertinya sayang sekali, tulisan yang sudah dirangkum akan dibuang begitu saja. Ditambah lagi ada pertanyaan-pertanyaan dari beberapa orang terdekat, teman-teman sesama penulis, dan orang-orang yang pernah baca tulisan saya. Kapan nih buku keduanya launching. Dan juga support dari suami saya, yang bilang, lanjutkan saja bukunya, biarpun itu pengalaman, kan sudah berlalu. Jadikan karya saja, semoga bisa bermanfaat bagi orang lain ketika membaca.

Reviewer: Kembali ke pernyataan di prakata, bolehkah kakak ceritakan motivasi apa yang membuat kakak pada akhirnya berani memilih untuk menuntaskan buku ini?

Fetri Ramadhani: Saya lanjut menuntaskan buku ini setelah saya berhasil mengendalikan diri dari kegalauan tingkat tinggi. Sakitnya tuh disini. Haha. Ya, namanya sakit, tentu butuh waktu untuk pemulihan. Tidak mudah.

Motivasi pertama, saya ingin pengalaman buruk saya tidak terjadi pada orang lain. Meski pun akan terjadi juga, setidaknya mereka tidak merasa sendiri, dan bisa bangkit lagi. Biasanya orang yang galau diam-diam suka nyari teman. Suka nyari tulisan-tulisan yang sama dengan kisah hidupnya. Mana tahu ketemu tulisan saya. Mudah mudahan bisa menginspirasi.

Selanjutnya, saya ingin tulisan saya ini tersimpan rapi dalam buku. Setidaknya untuk koleksi pribadi, jika benar tidak layak untuk dikonsumsi pembaca.

Saya tidak bercita-cita jadi penulis besar, karena saya tahu betul tulisan saya hanya sedikit, dan amatiran. Tapi saya lebih senang membaca tulisan di dalam buku, daripada di caption-caption galau di media sosial. Itulah salah satu sebab saya ingin menuntaskan buku ini.

Reviewer: Begitu saya selesai membaca buku ini, jujur saya masih bolak-balik lembar buku, nyari bagian profil penulis atau bionarasi penulis atau semacamnya. Tapi sayangnya saya enggak sama sekali menemukannya di buku ini. Apakah kakak sengaja membuat buku ini demikian? Padahal, biasanya penulis pasti menceritakan tentang dirinya.

Fetri Ramadhani:  Betul. Saya kalau lagi baca buku, kadang buku belum kelar, saya malah penasaran sama penulis dan latarbelakangnya. Tapi di buku ini, sengaja tidak dicantumkan halaman profil penulis.

Reviewer: Terakhir, ngmong-ngomong, apa yang menjadi alasan kakak menerbitkan buku di penerbit indie?

Fetri Ramadhani: Saya pilih penerbit Indie karena waktu itu saya tidak berambisi untuk menjual karya ini. Target saya waktu itu, pokoknya bukunya terbit dulu. Kalau penerbit mayor, prosedurnya kan lumayan banyak ya, seleksi pun memakan waktu. Kita pun kadang dibuat penasaran berbulan-bulan lamanya.

-

Penulis buku Setelah Hujan Kemarin dapat kamu sapa melalui Instagram @fetriramadhani.

Reviewer: Siti Sunduz

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url