Review Novel Living on the 'G'-Spot karya Henari

Review Novel Living on the 'G'-Spot karya Henari

Sampai sekarang masih ingat, dua tahun lalu, saya pernah ngobrol dengan seorang acquisition editor. Dia bilang, salah satu kriteria naskah novel yang dicarinya adalah naskah yang, ketika pengarang mengawali cerita dibuka dengan sesuatu yang mengejutkan. Misal pembunuhan, penembakan, atau KDRT.

Cerita novel yang diawali dengan sesuatu yang mengagetkan bisa bikin pembaca penasaran. Dan bahkan, rata-rata, pembaca kerap menilai, bakal seru atau tidak sebuah novel justru dilihat dulu dari awalan cerita atau bab pertama.

Ketika dia menemukan naskah novel dengan kriteria tersebut, praktis dipertimbangkan katanya. Dan bagi saya, penilaian dia, logis memang. Sebab, saya pun begitu. Saya bisa dengan mudah menilai novel akan seru atau tidak ditilik dari bab pertama dulu.

Begitu pun saat membaca novel Living on the ‘G’-Spot. Gampang bagi saya untuk memandang bahwa novel ini pasti menarik. Sebab, dari bab pertama saja, sudah dibuka dengan aksi yang menegangkan. Coba perhatikan kalimat berikut:

“Di ranjang, diriku terbaring terikat tanpa pakaian.”

“Pikiranku sibuk mencari jawab tentang siapa sebenarnya orang-orang yang berdiri di sekitar.”

“Oh, tidak! Ikatan ini begitu kuat! Belenggu pada dua tanganku dikaitkan di dua tiang kepala ranjang. Ditambah belitan kuat pada sepasang kakiku yang menjulur ke arah berlawanan, sungguh tak memungkinkanku bergerak bebas”.

Silakan, apa yang kamu bayangkan?

Seseorang yang sedang disekap di dalam kamar, kah?

Baca Juga: Review Novel Gemini: Everlasting Iris

Review Novel Living on the ‘G’-Spot karya Henari

Deskripsi Buku

Judul: Living on the 'G'-Spot
Subjudul: Kitab Main Lelaki
Penulis: Henari
ISBN: 978-623-483-131-3
Cetakan Pertama: Mei, 2023
14 x 20 cm
softcover
338 hal.
Est. berat: 350 gram

Dia yang terbaring terikat tanpa pakaian di ranjang, panggilannya Goru. Nama aslinya Suwarna Syahril. Nama yang jelek memang, tapi saya akui, kedudukannya hebat; Sekretaris Jenderal LINGKAR! Lingkaran LSM Indonesia untuk Pengurangan Dampak Buruk Narkoba.

Kehebatan Goru bukan hanya dari kedudukannya saja. Namun, hebat juga dalam menarik hati perempuan. Anti, dosen cakep (tapi polos!) di Fakultas Kesehatan Masyarakat tergila-gila kepadanya. Bahkan Bulan, yang seharusnya fokus membantu membalaskan sakit hati Anti, hampir berciuman dengan bapak-bapak berambut panjang dan berperut buncit tersebut.

Saya yakin, pertanyaan muncul di benak kamu, lantas kenapa kedua tangan Goru dibelenggu lalu dikaitkan di dua tiang kepala ranjang?

Benang Merah Novel Living on the ‘G’-Spot

Cerita di dalam novel ini dilatarbelakangi balas dendam.

Jadi, empat tahun lalu, Goru ke rumah Anti. Goru sendiri yang ingin berkenalan dengan orang tua Anti. Wanita yang memiliki ayah seorang mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer itu menyetujui keinginan Goru.

Singkat cerita, setelah berkenalan dengan orang tua Anti, Goru menyimpan keinginan untuk balas dendam. Gimana nggak balas dendam coba, Goru dihina. Keberadaannya nggak dianggap sama sekali oleh Papanya Anti.

Namun, jika saya telisik, wajar sih Goru dihina. Sebab, dia tidak menyesuaikan selera Papanya Anti yang notabennya suka kalau Anti jalan sama cowok yang berpenampilan necis, sepatu kulit berkilat, dan berambut rapi.

Berhubung penampilan Goru apa adanya, rambutnya keukeuh nggak mau dicukur rapi, bahkan menolak pakai wig, maka terjadi penghinaan.

Empat tahun berlalu, setelah CLBK, Goru mengusulkan ide kepada Anti. Ide yang menurut Goru terbilang brilian, dengan tujuan agar ayahnya Anti merestuinya. Namun, ide itulah yang justru menjadi musibah besar bagi Goru, bahkan balas dendamnya malah jadi bumerang.

Masih dengan pertanyaan yang sama, mengapa Goru terbaring terikat tanpa pakaian di ranjang dalam sebuah kamar???

Kenalan Dulu sama Perempuan Bernama Bulan

Setidaknya, kamu sudah tahu sekilas gambaran Goru dan Anti. Maka, mari berkenalan dengan Bulan, perempuan yang hampir berciuman dengan Goru.

Bulan ini seorang peneliti. Namun lebih banyak bekerja di belakang meja, hanya tukang merumuskan konsep penelitian saja.

Dia kemudian memutuskan menjadi peneliti lepas di Pusat Penelitian Kesehatan, Universitas Nusantara (PPKUN) Fakultas Kesehatan Masyarakat. Dan kali ini, Bulan tidak bekerja di belakang meja lagi, dia langsung menyelami objek penelitian sebagai koordinator lapangan.

Sampai sini, apakah kamu ngeuh tidak koneksi antara Bulan, Anti, dan Goru akan seperti apa?

Saya rasa, jelas bahwa Bulan bakal bertemu dengan Anti (dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat). Sekaligus juga dia pasti berjumpa dengan Goru (kekasih Anti yang menjabat sebagai Sekretaris Lingkaran LSM Indonesia untuk Pengurangan Dampak Buruk Narkoba).

Koneksi ketiganya dari mana? 

Pekerjaan mereka sama-sama berhubungan dengan dunia kesehatan. Sesederhana itu. Dan pada akhirnya, mereka bertemu. Saling berkenalan satu sama lain.

Dalam novel ini, tokoh Bulan krusial banget. Wanita inilah yang menceritakan informasi tentang Anti dengan sangat detail.

Kembali ke Benang Merah, Menjawab Berbagai Pertanyaan

Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sengaja saya kumpulkan dan ingin saya jawab sendiri. Ini hanya semacam bentuk kekesalan saya aja. Baik itu kepada Goru, Anti, bahkan kepada Bulan sekali pun.

Pertanyaan pertama: Apa ide brilian Goru untuk mendapatkan restu Papanya Anti?

Sebenarnya ide Goru tidak brilian, tapi kurang ajar! Goblok memang Pak Suwarna ini.

Meskipun penulis tidak terus terang, tapi saya yakin bahwa ide Goru adalah sengaja menghamili Anti. Praktis kalau Anti hamil mah, ayahnya pasti menikahkan anak satu-satunya itu dengan Goru.

Pertanyaan kedua: Apa bentuk balas dendam Goru kepada Papanya Anti?

Goru punya rekaman video saat ngeseks dengan Anti. Dia ingin membalas harga dirinya yang sudah diinjak-injak oleh Papanya Anti lewat rekaman video tersebut. Namun, Anti sendiri juga bego. Sebab, perempuan polos inilah yang lebih dulu minta direkam saat mereka bercinta.

Pertanyaan ketiga: Mengapa Anti dicap wanita yang polos, padahal di lingkungan kerjanya tampak kalem?

Ini pertanyaan menarik!

Melalui jurnal penelitian Bulan, dijelaskan bahwa sejak kecil Anti merasa mendapatkan pengekangan dari orang tuanya. Papanya Anti, sebagai seorang perwira TNI AD menganut didikan keras untuk anak perempuan satu-satunya itu. Anti dilarang berpacaran selama sekolah atau kuliah. Jika ada teman pria yang mendekati Anti, siap-siap saja kena sanksi.

Selesai dari masa-masa kuliah, Anti jadi liar. Bangor. Makanya, tidak terhitung berapa kali dia berhubungan seksual dengan Goru.

Pertanyaan keempat: Mengapa Bulan ingin membantu membalaskan sakit hatinya Anti kepada Goru?

Ya karena Anti hamil, terus si Goru menghilang. Tapi lebih parahnya lagi adalah Goru merusak badan, perut, darah, hati, dan pikiran Anti.

Sebagai laki-laki, saya sendiri kesal sama Goru. Apalagi Bulan, sesama perempuan.

Pertanyaan terakhir: Kenapa Bulan sempat mau berciuman dengan Goru?

Ini pertanyaan konyol. Bahkan, saya juga heran. Tapi Bulan bilang, lelaki chubby berambut panjang itu...

Ah! Dari pujian itu saja sudah geli membacanya. Untung Bulan tidak jadi berciuman dengan Pak Suwarna si Poligini itu!

Kasus Kekerasan Seksual, Penyelewengan Dana, dan Diincar Petinggi Militer

Kenapa kedua tangan Goru dibelenggu lalu dikaitkan di dua tiang kepala ranjang?

Mengapa Goru terbaring terikat tanpa pakaian di ranjang dalam sebuah kamar???

Ya jawabannya ini. Goru terjerat kasus kekerasan seksual dan penyelewengan dana. Dia pun jadi incaran petinggi militer lantaran video tak senonohnya itu dengan Anti.

Panduan Membaca Novel Living on the 'G'-Spot 

Halaman 1 - 6: Hari ini; pada awal cerita, seperti yang sudah saya sampaikan, novel ini akan membuat kamu penasaran karena dibuka dengan adegan yang mengejutkan.

Halaman 7 - 180: Cerita terjadi pada tahun lalu (alur mundur); kamu bakal mengetahui jurnal penelitian Bulan, CLBK-nya Goru dan Anti, Modal CLBK mereka, lalu disuguhi adegan di mana Goru dihina oleh Papanya Anti.

Halaman 181 - 322: Cerita terjadi pada tahun ini (alur maju); pembaca dikenalkan oleh penulis mengenai sosok Isma, disisipkan juga riset penulis tentang Sumatera Utara, Istana Maimun, Komunitas Motor Siantar, serangan mendadak kepada Goru, selaksa tikaman, dipertemukan dengan seorang petinggi militer itu, hingga bentuk kerjasama Bulan dan Isma yang unik, dan ya, Anti menang!

Pujian Reviewer untuk Penulis

Sebagai pembaca, jelas saya tahu seluruh bagian novel Living on the 'G'-Spot. Mulai dari awal cerita hingga ending. Namun, dalam ulasan ini, saya hanya sekilas saja memberikan gambaran kepada calon pembaca,

Nah, jujur, di samping isi cerita novel yang berbobot banget, saya ingin memberi beberapa pujian untuk penulis.

Pertama, gaya penulisan. Terlihat bahwa novel ini bukan ditulis oleh pengarang yang baru menerbitkan buku. Tapi sudah berpengalaman. Membaca novel ini, bawaanya enak aja gitu. Dan gaya penulisan novel ini sebenarnya bisa dijadikan contoh untuk pengarang-pengarang muda.

Kedua, teknik bercerita. Pengarang pandai mengolahnya. Misal, lagi seru-serunya mengamati kisah antartokoh, lalu cerita diarahkan ke petualangan yang nyaris membuat saya bosan. Seperti membahas komunitas motor, Istana Maimun, dan lain-lain. Tapi beberapa halaman kemudian, langsung disajikan dengan kisah serangan mendadak kepada Goru. Gila!

Ketiga, menjiwai. Terutama POV Goru. By the way, penulis novel ini seorang perempuan. Tapi ia menjiwai sekali menjadi laki-laki yang menyebalkan. Penulis sukses menciptakan karakter Goru yang bikin saya risi! Sumpah! Risi!

Akan tetapi, ada beberapa hal yang saya sayangkan. Contoh, mengapa novel ini diterbitkan di penerbit indie, dan mengapa kasus penyelewengan dana Goru tidak seintens kasus kekerasan seksual.

Mari masuk ke sesi wawancara saja untuk mengetahui tanggapan penulis.

Wawancara Mendalam dengan Mbak Henny Purnama Sari (Henari)

Ridwansyah: "Novel ini terlalu lama dipublikasikan". Kalimat tersebut terletak di ucapan terima kasih. Lantas, apa yang membuat lama? Sesulit apa, Mbak? Risetnya atau gimana?

Henari: Lama risetnya memang. Terutama yang masuk ke kalangan komunitas LSM-nya di Jakarta. Selain karena riset, juga karena waktu menuliskan novel ini terpotong dengan berbagai kesibukan lain. Seperti mengaktifkan organisasi berbasis komunitas fiksi @fiximix dengan berbagai programnya. Dan juga kerja-kerja freelance.

Ridwansyah: Oke, next. Saya ingin bilang gini, Mbak Hena ini menyadari tidak kalau novel Mbak ini bagus. Mulai dari gaya penulisan, pengambilan konflik novel, latar belakang tokoh (contoh karakter Anti deh, saya jadi paham mengapa wanita ini polos. Dan itu dijelaskan dengan baik hingga saya ngangguk-ngangguk paham).

Lantas, kenapa sih Mbak memilih penerbit indie? Padahal jika naskah dikirimkan ke penerbit mayor, potensi ditermanya besar. Nah ini yang bikin saya penasaran ketika baca novel yang bagus.

Henari: Soal mayor-indie, terus terang, kalo indie ini saya baru merasakan juga.  Dulu karya pertama saya 'diurus' penerbit mayor. Gagas Media. Buku pertama itu dulu diterima oleh 3 penerbit mayor. Termasuk Gramedia, saya pilih Gagas karena Gramed waktu itu bagian marketing-nya terlalu rempong. Kalo redaksinya sih udah oke, udah ngeditin segala,

Terus, semakin ke sini, peta perbukuann dan penerbitan Indo berubah pesat.  Menerbitkan dengan penerbit mayor harus mau nunggu lama sekali 6 bulanan, atau harus nulis yang lagi trend dan laku. Kebanyakan mereka takut nerbitin tema-tema terkait seks.

Ridwansyah: Oke. Saya berdiskusi dengan teman di grup. Kami feeling aja, terlebih mencari tahu tentang penulis, yakin buku Mbak Hena sebelumnya pasti pernah ada yang terbit mayor.

Kami bisa memahami mana gaya penulisan yang masih awam dan sudah berpengalaman. Maka dari itu munculah pertanyaan 'kenapa memilih penerbit indie'. Dan, setelah dijelaskan panjang-lebar gini, sangat memuaskan dan dapat insight baru juga dari jawaban Mbak.

Kita masuk ke bahasan selanjutnya. Jadi, saya ingin menyampaikan, entah kenapa, saya lebih suka novel ini apabila fokus membahas kasus kekerasan seksual saja. Ini pandangan saya. Nah, saya bingung, letak kasus penyelewangan dananya kenapa nggak seintens penjelasan kasus kekerasan seksual?

Untuk pembahasan ini, apakah Mbak sebagai penulis tidak merasa begitu? Atau mungkin ada sanggahan? Kita diskusi santey aja...hehe...soalnya agak greget sama kasus penyelewengan dana nggak ketangkep.

Henari: Wah, terima kasih udah kasih tahu soal ini. Saya juga butuh pandangan dari pembaca dan pengamat juga, kan.  

Sebetulnya, Goru ini hanya terseret kasus penyelewengan dana yang dilakukan relasinya di sebuat direktorat di Kemenkes. Jadi tokoh utamanya, ya relasinya. Hanya novel ini tidak menceritakan seluruh hal yang dilakukan sang relasi.  Tetapi novel ini hanya menceritakan apa yang Goru lakukan saja.

Apa yang dilakukan Goru sebetulnya bisnis kecil, tapi nggak boleh sebetulnya. Dia mencari-cari celah agar bisa meraup cuan meski 'recehan' dengan memanfaatkan aksesnya ke teman yang kerja di Kemenkes.  Dia tetap pegang filosofi, sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit

Ridwansyah: Saya terbuai pada blurb "dua kasus berat". Secara, kalau kasus kekerasan seksual, kasus ini bener-bener intens. Bagi Goru, seks di atas segalanya. Lalu dibumbui dengan kisah asmara bersama Anti, suka ngehotel bareng, adanya rekaman video, dll. Jelasss gitu...tapi pas bagian penyelewangan dana, saya mikirnya 'angka'. Tapi itu tidak selalu disebut. Sehingga nggak ketangkep.

Berarti terseret, ya.

Henari: Kawan si Goru melakukan penyelewengan dana dengan salah satunya memberikan akses ke Goru agar bisa membelanjakan kebutuhan obat ARV untuk jangka waktu tertentu. Di sini dia udah ada korupnya. Sementara itu, Goru pun malah menjual ARV-ARV yang harusnya gratis itu. Tapi di daerah yang kesulitan dapat ARV, Goru dapat pasarnya.

Btw, kejadian macam ini lebih bisa terjadi beberapa tahun lalu. Gak tahu kalo sekarang, ya.

Ridwansyah: Next...ini pertanyaan klise sih, tapi saya penasaran betul. Terlepas riset tadi, sebenarnya tokoh Goru pure fiktif atau nyata (diambil dari pengalaman seseorang atau pengalaman wanita yang pernah diperlakukan oleh lelaki seperti Goru)?

Henari: ðŸ˜‚😂 pada penasaran emang...Tokoh²-tokoh di novel ini semua fiktif.  Hanya..., terinspirasi dari yang nyata, karena kan saya masuk ke kantong² para aktivis LSM ini. Masuk ke komunitas-komunitas mereka, berinteraksi bersama mereka, ikut konferensi yang mereka hadiri, dsb. Kalo ceritanya itu udah mixed, ya. Antara fiksi dan nyata dan fiksi lagi. Mixed banget!

Ridwansyah: Terakhir, kalau fiktif, bagaimana bisa penulis masuk ke dalam diri laki-laki seperti Goru? Orang seperti Goru di kehidupan nyata (ini terkait kesukaan dia soal seks, ya), nggak sedikit. Kita kesampingkan dulu kehebatan Mbak menceritakan tentang Goru, tapi ini lebih kepada karakter Goru itu sendiri bisa sedetail itu dijelaskan, gimana? Praktis, pasti erat kaitannya dengan pengalaman seseorang gitu.

Saya cowok, tampaknya saya akan kesulitan menulis karakter cewek pada novel. Tapi di novel Mbak ini, seolah ada si Gorunya di dekat Mbak.

Henari: Alhamdulillah, jadi bener-bener kerasa bener ya, cowoknya si tokoh utama?

Kalo soal ini memang soal kemampuan masuk ke dalam diri karakter yang kita ciptakan. Sehingga dia hidup. Saya nggak mau karakter saya cuma jadi wayang. Itu akan terasa sekali oleh pembaca. Semua tipe karakter selalu saya usahakan bisa memasukinya. Menjadi diri mereka, merasakan apa yang mereka rasakan.

Ridwansyah: Jadi Goru bukan orang yang pernah memperlakukan, amit-amit, teman Mbak misal? Pure fikfit aja?

Henari: 😂😂😂😂 Intinya, ada atau tidak orangnya, saya selalu usahakan bisa masuk menjadi diri orang tersebut

-

Penulis novel Living on the 'G'-Spot dapat kamu sapa melalui Instagram @henaristory.

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url