Review Buku Antologi Senandika Aksara Pena karya Zulkasim Achmad Abu Umairo

Review Buku Antologi Senandika Aksara Pena karya Zulkasim Achmad Abu Umairo

Buku Senandika Aksara Pena karya Zulkasim Achmad Abu Umairo merupakan buku antologi puisi ketiga yang saya review. Dalam buku ini, penulis mempersembahkan karyanya untuk para bidadarinya, yaitu ibunda tersayang, istri tercinta, dan putrinya.

Sebagai perempuan, saya tersentuh membaca halaman persembahan penulis. Ia begitu menghargai kehadiran sosok perempuan. Dan jujur, saya terkesiap ketika pertama kali membaca prakata dan pengantar buku. Sebab, saya menemukan catatan yang berunsur filsafat.

Dalam catatan tersebut, penulis mengajak pembaca untuk memikirkan beberapa hal mendasar terkait hidup, kehidupan, dan hakikat diri sebagai manusia. Seperti, untuk apa diri hidup? Kemanakah diri setelah hidup? Mengapa manusia harus hidup dengan cinta? Untuk apa ada cinta? Dan lain sebagainya.

Bisa-bisanya karya sastra puisi yang seharusnya dapat dinikmati sembari duduk, ngopi, dan bersantai, malah menyajikan nilai-nilai filsafat pada awal tulisan.

Penasaran gambaran buku ini seperti apa?

Simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Review Novel Gemini: Everlasting Iris

Review Buku Antologi Senandika Aksara Pena karya Zulkasim Achmad Abu Umairo

Deskripsi Buku

Judul: Senandika Aksara Pena
Penulis: Zulkasim Ahmad Abu Umairo
Tebal: 200 halaman
Ukuran: 14,8cm x 21cm
ISBN: 978-623-5433-94-3

Buku Tidak Terkesan Monoton

Buku ini dibagi menjadi empat bagian, empat rasa, dan empat tema. Kamu dapat membaca kumpulan puisi Senandika Aksara Pena berdasar ‘sreknya’ hati. Dan, tentu saja, buku ini tidak terkesan monoton atau membosankan.

Bagian 1 - Untaian Cinta

Bagian pertama terdiri dari 36 puisi seputar cinta. Saya dibawa terbang membaca diksi-diksi yang terdapat dalam buku ini. Saya turut tertawa dan tersenyum simpul ketika menemukan diksi-diksi yang menggambarkan perasaan dengan penuh cinta. Namun, sesekali hati saya ikut teriris. Lagi dan lagi, disebabkan karena diksi-diksi yang digunakan penulis berisi ‘ruh’ dengan berbagai rasa.

Bagian 2 - Intuisi Hikmah Ilahiah

Pada bagian kedua, kurang lebih terdapat 53 puisi. Bagian ini merupakan kumpulan puisi favorit saya. Diksi-diksi penulis mengandung unsur spiritual. Saya dibikin sejuk dengan petuah dan pesan moral di balik diksi-diksi tersebut. Ternyata bisa juga, ya, dakwah dengan bait puisi.

Beberapa puisi yang saya tandai pada bagian ini antara lain: Dalam genggaman-Nya (hal 65), Karena-Nya (hal 74), dan Bertasbih dalam diksi (hal 83).

Bagian 3 - Nilai Perjuangan Hidup dan Diksi Kebangsaan

Setidaknya, ada sekitar 50 puisi yang mampu membakar api semangat juang di bagian ketiga ini. Di lain sisi, saya pun menemukan beberapa diksi yang menyentuh seputar kemanusiaan.

Jika perasaan kamu turut lirih membaca puisi-puisi pada bagian ini, itu tandanya naluri kemanusiaan kamu bisa dikatakan baik-baik saja. Bocah Nelangsa (hal 92), Tangisan kaum proletar (hal 103), Energi dari keterbatasan (hal 108), dan Melawan kemustahilan (hal 110) adalah puisi-puisi yang luar biasa hebat.

Bagian 4 - Pena Literat

Pada bagian keempat berisi 12 puisi seputar pena dan literasi. By the way, ini bukan sembarang pena atau bukan sekadar literasi membaca dan menulis aksara. Namun, ini tentang realitas pena dalam kehidupan, serta bagaimana kita membaca sebuah kenyataan dalam hidup dengan rasa. Dalam artian, pena dan literasi yang disampaikan penulis lebih kepada kontekstual, bukan cuma tekstual.

Baca Juga: Review Novel Living on the 'G'-Spot

Buku Ini Memiliki 3 Penyangga Kekuatan yang Sarat dengan Hikmah

Setelah membaca seluruh puisi karya Zulkasim Achmad Abu Umairo, saya menemukan 3 penyangga kekuatan. Mulai dari cinta, kemanusiaan, dan spiritual.

Melalui buku ini juga, saya teringat pada pepatah lama mengenai hakikat manusia, hidup, dan juga cinta. Homo homini lupus - Homo homini socius. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, dan manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya.

Kedua ilustrasi hakikat manusia itu benar adanya. Lewat buku inilah, kita diajak bercermin. Sudahkah kita menjadi manusia yang betul-betul manusia? Dan jawabannya hanya bertolak ukur pada satu hal, sudahkah kita memanusiakan manusia yang seutuhnya?

Menjawab Pertanyaan Mendasar tentang Hidup dan Cinta

Pada halaman pengantar, ada pertanyaan mendasar tentang cinta. Maka, izinkan saya untuk menjawab pertanyaan tersebut berdasar perspektif saya.

Bagi saya, adanya manusia hidup di dunia ini justru sebagai bukti atas pernyataan cinta kepada-Nya. Setelah hidup, maka yang kita tuju adalah kehidupan bersama Sang Pemberi Hakikat Cinta. Untuk itu, sebaiknya, ketika berbuat sesuatu, harus atas dasar cinta.

Barangkali, itulah ulasan buku antologi puisi Senandika Aksara Pena. Penulis buku ini dapat kamu sapa melalui Instagram @zulkasimachmad.

Wawancara dengan Zulkasim Achamd Abu Umairo

Vanesha: Mas Zul, mas kan punya minat dan potensi besar di bidang kepenulisan sejak kecil. Tapi kok ambil kuliah di eksak? Tapi jujur, salut juga sih apapun bidang keilmuan yang mas ambil tidak menjadi alasan mas berhenti di bidang menulis, khususnya sastra puisi ini. Bisa mas zul ceritakan kok bisa begitu?

Zulkasim: Kalau kita belajar tentang ilmuwan-ilmuwan masa lampau sebelum Masehi seperti Socrates, Aristoteles, Plato Archimedes, dan filsuf-filsuf Yunani Kuno; kita akan mengetahui bahwa semua belajar ilmu lintas bidang. Apa saja mereka pelajari.

Pada masa keemasan Islam, filsuf-filsuf Islam seperti Jalaludin Ar-Rumi dan Imam Al-Ghazali. Mereka juga mempelajari semua bidang ilmu termasuk sastra dan salah satu karya sastra adalah Puisi. Jujur, saya terinspirasi dari mereka berdua.

Vanesha: Oh gitu, lalu sebetulnya ada dua puisi yang bikin saya nangis. Bukan karena apa-apa, kapasitas rasa dan otak saya belum sampe. Judul puisinya Ine Mbupu Ata Zawo Seeru (hal 99), dan Tabu, Tak Tahu (hal 75). Bisakah mas ceritakan kedua puisi tersebut? Saya gak bisa nahan kepo.

Zulkasim: Ine Mbupu Ata Zawo Seru merupakan puisi sosio-kultural dengan menggunakan bahasa Ende. Puisi ini menceritakan tentang seorang wanita tua renta yang hidup sebatang kara. Sedangkan Tahu, Tidak Tahu berisikan makna filosofis pertanyaan bagi kita selaku individu. Who am I? Tahu, Tidak Tahu bermakna Pencaharian akan kebenaran hakiki

Wanita itu berusaha kuat untuk struggle dengan kehidupannya sembari mengharapkan pertolongan dari Allah SWT melalui tangan-tangan manusia yang dermawan

Vanesha: Kemudian Mas, dilihat-lihat, tema puisi ini begitu sesuai dengan kategori bagian-bagian dalam buku. Dari sekian puisi di tahun 2022 itu Mas memang mengonsep bukunya demikian kah?

Zulkasim: Untuk menghasilkan karya yang layak diterbitkan. Saya memiliki konsultan yakni seorang teman saya. Beliau salah satu dosen di STKIP Muhammadiyah Kalabahi di Kab. Alor, Prop. NTT. Namanya Bpk. Rahmad Nasir, S.Pd.,M.Pd. Beliau-lah yang menyunting buku saya dan membagi menjadi empat bagian sebelum saya serahkan kepada penerbit.

Vanesha: Waaaa cukup lucky ya punya konsultan sekaligus temen sendiri, hhehe. Lalu Mas, kenapa memilih penerbit indie untuk menerbitkan antologi puisi ini?

Zulkasim: Saya menyadari sebagai penulis pemula tentu ketika saya menawarkan karya saya untuk diterbitkan kepada penerbit Mayor maka akan begitu banyak antrian dan seleksi yang super ketat maka dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunggu.

Oleh karena itu, karena saya ingin karya saya secepatnya diterbitkan maka saya bekerja sama dengan penerbit indie yang berkualitas. Inshaa Allah, kedepannya saya akan mencoba menghubungi dan bekerja sama dengan penerbit mayor.

Reviewer: Siti Sunduz

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url