Review Buku Kembara Tiga Benua karya Hanan Nugroho
Dua tahun lalu, hampir tiap orang terpaksa tinggal di rumah akibat COVID-19. Bagi orang yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, kehidupan sehari-hari menjadi jungkir balik dan tidak karuan. Sehingga, saat berada di dalam rumah, kadang tidak berbuat apa-apa.
Namun, berbeda dengan Hanan Nugroho. Ia bilang, buku Kembara Tiga Benua tidak mungkin terwujud jika COVID-19 tidak muncul, atau saat work from home tidak menjadi kebiasaan baru. Justru dengan keluangan waktu di rumah, ia menulis. Sehingga, bukunya terbit.
Buku yang ditulis oleh laki-laki lulusan Institut Teknologi Bandung itu berisi tujuh tulisan luar biasa—setidaknya menurut pandangan saya sebagai pembaca—dengan latar belakang kejadian di tiga benua; Eropa, Amerika, dan Asia. Atau tepatnya di negara Perancis, Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, Jepang, dan Indonesia.
Perlu digarisbawahi bahwa, buku Kembara Tiga Benua bukan menjelaskan gairah perjalanan wisata penulis ke negara-negara tersebut untuk mencari tempat-tempat baru yang indah. Tapi lebih kepada sikap rasionalnya. Dan, ke negara manapun penulis pergi, ia kerap memikirkan keluarga, juga negara asalnya.
Ah! Apakah kamu penasaran gambaran isi buku ini seperti apa?
Simak ulasan berikut ini.
Baca Juga: Review Novel Karsa Semesta
Review Buku Kembara Tiga Benua karya Hanan Nugroho
Deskripsi BukuJudul : Kembara Tig Dunia
Penulis : Hanan Nugroho
ISBN : 978-623-5515-37-3
Penerbit : One Peach Media
Isi : 262 Halaman
Tahun Terbit : November 2021
Cetakan : Pertama
Jenis/Kategori : Memoar
Buku bergenre memoar ini diawali dengan tulisan pertama yang diberi judul “Cinta Antara Paris dan Jakarta”.
Penulis mengatakan bahwa, pada bulan-bulan pertama saja ia menikmati keindahan arsitektur Kota Paris. Namun, keindahan yang terus-menerus ditemui jadi tampak luntur keindahannya. Terlebih lagi, tanpa Alina (istri penulis) dan juga kedua anaknya, kehidupan penulis di Ibu Kota Perancis terasa hambar. Tidak menggairahkan.
Selain itu, penulis juga merasakan degradasi perasaan. Banyak kebiasaan orang Perancis yang bertentangan dengan kehidupannya. Seperti, saat bertemu atau berpisah selalu cipika-cipiki. Atau kebiasaan berpesta-pesta dan menenggak wine hingga mabuk di akhir Minggu.
Satu insight baru yang saya dapat dari penulis bicara tentang Perancis adalah ternyata negara ini menjunjung tinggi sekularisme. Artinya, memisahkan agama dari urusan-urusan negara. Dan katakanlah masyarakatnya merasa tidak perlu beragama.
Bayangkan saja dibalik keindahan Kota Paris, penulis sangat rasional memandang negara ini. Saya tidak menemukan pernyataan penulis mengajak pembaca untuk ke negara Republik ini. Ia bercerita apa adanya saja berdasar pengalaman.
Catatan pertama diakhiri dengan kerinduan penulis kepada keluarganya. Ia ingin pulang. Ingin bertemu Alina. Ia kangen kedua anak laki-lakinya. Dan ia merasa, ketika kedua anaknya membutuhkan kehadiran seorang bapak, lantas sang bapak kemana?
Tulisan kedua dan ketiga, penulis menceritakan kriteria untuk kuliah anak pertamanya serta membantu mencarikan kampus bagi anak keduanya.
Jujur, saya suka cara pandang penulis kepada kedua anaknya. Contoh, anak pertamanya doyan bermain gim. Namun, penulis sadar, berhubung sudah lama meninggalkan anaknya sehingga untuk apa melarang atau membatasi kegiatan yang disukai anaknya itu?
Lalu, saya semakin suka ketika penulis mengatakan bahwa bermain gim bukan sesuatu yang jelek. Bukan sesuatu yang mesti dilarang. Gim juga bukan sesuatu yang bikin anak malas menekuni pelajaran-pelajaran di sekolah. Justru, bermain gim cukup menyenangkan. Gim tidak sesederhana itu. Ada unsur kreativitas di dalamnya.
Coba, mari kita sepakati, betapa banyak orangtua yang melarang anaknya bermain gim. Namun, cara pandang penulis tidak demikian. Ia mengerti. Bahkan, ia sadar, gim membantu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris anak pertamanya. Dan pada akhirnya, Mas (sebutan penulis ke anak pertama) kuliah di Cyberjaya, Malaysia.
Lain lagi dengan adik (sebutan anak kedua penulis). Penulis hanya senyum-senyum saja saat anak keduanya bertanya tentang universitas mana yang paling top di Malaysia, adik ingin kuliah di situ.
Penulis kemudian tidak semerta-merta merekomendasikan anaknya berkuliah di kampus yang biasa-biasa saja, meski ia sadar kalau anak keduanya itu nilai lapornya memang biasa-biasa. Penulis malah terus membantu mencarikan kampus yang diinginkan anaknya, tanpa paksaan. Cara pandang yang luar biasa, bukan?
Pada akhirnya juga, anak kedua penulis kuliah di Malaysia. Four your information, banyak pula insight-insight baru yang saya temukan tentang kehebatan negara tetangga lewat buku ini.
“Menapak Jejak Love Story”, itu judul tulisan keempat dalam buku Kembara Tiga Benua ini. Dan by the way, ada yang pernah nonton film atau membaca novel Love Story?
Pengin tahu lebih dalam tidak dibalik film atau novel Love Story seperti apa? Melalui buku ini, kamu bakal tahu antusiasmenya dulu kayak gimana, mulai diedarkannya pada hari apa, dan lain-lain.
Pada tulisan keempat, sama halnya seperti tulisan-tulisan sebelumnya. Jelas, saya mendapatkan wawasan baru. Terutama, saya baru tahu alasan mengapa kampus-kampus di Amerika Serikat sangat mementingkan olahraga.
Lanjut ke tulisan berikutnya “Doa di Doha”. Well, saya langsung terkesiap mengetahui kalau Qatar ternyata agak liberal. Penulis menyampaikan, boleh berpakaian tidak tertutup rapat di negara ini. Berbeda dengan Arab yang lebih puritan.
Maksud dari doa di Doha, yakni penulis berdoa agar Indonesia dimudahkan menuju kesejahteraan. Mengingat, Qatar merupakan negara yang bernasib baik. Kekayaan gas buminya luar biasa. Pendapatan per kapitanya paling besar di dunia. Warga sana tidak perlu kerja keras lagi seperti di negara kita.
Pada tulisan ini, penulis berbincang dengan beberapa orang Indonesia yang bekerja di Qatar. Banyak hikmah yang dapat dipetik oleh penulis. Pun bagi saya juga sebagai pembaca.
Masuk ke negara yang paling disenangi penulis; Jepang. Tulisan tentang negara Sakura ini diberi judul “Nadien di Neraka Beppu”.
Lewat tulisan ini, penulis membagikan kisahnya saat berwisata ke “neraka” (jigoku), mengenalkan kampus Nadien, lalu ke Zufuin, kampung onsen (Yufuin), dan masih banyak lagi. Cerita dikemas dengan sangat apik. Sampai-sampai, rasanya saya ingin sekali ke Jepang. Aduh!
Buku Kembara Tiga Benua diakhiri dengan judul tulisan “Tenaga Kerja Indonesia”. Di bagian ini, penulis berkenalan dengan Fuadi—dan empat temannya—yang hendak kembali ke tanah air. Mereka ngobrol banyak hal. Mulai dari cara kerja orang Jepang, hingga godaan selama kerja di Negara Matahari Terbit tersebut.
Terus terang saja, saya baru tahu ternyata orang Jepang suka sama tenaga kerja asal Indonesia. Kata penulis, TKI kita sopan, kerja keras, dan disiplin. Oleh karena itu, penulis bersemangat sekali ingin menambah saham untuk perusahaan pengiriman TKI asuhan Pak Handoyo.
Baca Juga: Review Novel Rayendra
Perasaan Saya setelah Membaca Buku Kembara Tiga Benua
To be honest, awalnya saya agak malas untuk membaca buku Kembara Tiga Benua. Sebab, buku ini ditulis oleh penulis yang usianya sangat jauh dengan saya. Takutnya, gaya penulisan dalam buku ini terlalu berat untuk saya baca.Namun, setelah membaca beberapa halaman, ternyata tulisan-tulisan Pak Hanan enak dibaca. Malahan mah, saya duduk anteng di halaman rumah. Dan hanya butuh tiga hari saja untuk mengkhatamkan buku ini.
Nah, perasaan saya usai membaca buku Kembara Tiga Benua tentu senang bukan main. Biasanya untuk mengetahui kondisi negara-negara luar, saya dapati dari novel fiksi atau YouTube. Tapi melalui buku ini, justru secara langsung berdasar pengalaman penulis. Sehingga, feel-nya dapet banget!
Saya lalu penasaran, berhubung di dalam “Kata Pengantar” Pak Hanan mengatakan buku ini bersifat faksi (gabungan fakta dan fiksi), lantas kefiksian-nya dari mana? Padahal, saya rasa, buku ini pure dari pengalaman pribadi penulis.
Mari masuk ke sesi wawancara untuk memahami lebih lanjut tentang buku Kembara Tiga Benua.
Wawancara dengan Hanan Nugroho
Vanesha: Pada ‘Kata Pengantar’, disampaikan oleh penulis bahwa buku ini bersifat faksi (fakta dan fiksi). Tapi, setelah saya membaca buku ini, fiksinya sebelah mana ya, Mas? Saya pikir ini bener-bener berdasar pengalaman penulis. Saya tidak dapat mencari perbedaannya.Hanan Nugroho: Fiksinya memang lebih kepada "kembang-kembangnya" pada ilustrasi.
Vanesha: Bagaimana tanggapan kedua anak laki-laki Mas saat buku ini terbit? Dan, kenapa nama mereka tidak ditulis?
Hanan Nugroho: Mereka "diam" saja. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri. Cuma komentar, "Bapak nulis ya?".
"Alina" itu juga bukan nama Ibu mereka. Saya mulai menulis itu setelah malam-malam dengar lagu "Aline".
Vanesha: Boleh diceritakan kepada kami tentang Kelompok Golden Age ini apa? Di mana? Dan semacam apa?
Hanan Nugroho: Golden Age ini kelompok "karolot". Ada teman yang bikin kelompok ini dengan anak muda dari SIP Publishing, Purwokerto. Saya diajak gabung, dan awalnya menolak, karena "males euy, teu tiasa nulis sastra ...". Tapi diajak terus, dan saya ikut. Bikin cerpen satu. Diterima. Lalu saya bikin terus, seminggu satu. Dikumpulkan jadi buku "Kembara ... " itu.
Kelompok Golden Age tampaknya tidak semua kemudian (masih) aktif nulis. Beberapa masih—rata-rata—rata mereka penulis lama.
Vanesha: Lalu Bagaimana Mas Hanan dapat mengingat ingatan atas peristiwa atau kejadian saat berada di ketiga benua itu, apakah dicatat dalam secarik kertas dulu, lalu mulai menuliskannya?
Hanan Nugroho: Garis besar saya ingat. Dulu pernah punya "catatan" (tapi hilang). Beberapa hal, misalnya tentang kehidupan di Amerika atau Jepang, saya paham persis, karena cukup lama tinggal di sana. Beberapa detail saya pelajari (lagi) dari Google.
Vanesha: Negara mana yang paling bikin Mas Hanan senang banget tinggal di sana? Saya pengen pilih satu negara saja untuk catatan review. Selain Indonesia, ya.
Hanan Nugroho: Belakangan saya lebih memilih Jepang, karena ada banyak peluang untuk anak-anak muda kita ke sana. Jepang rapi, efisien, modern, alamnya bagus, dan makanannya enak. Amerika juga bagus dan hebat, tapi jaraknya jauh.
Penutup
Penulis buku Kembara Tiga Benua dapat kamu sapa melalui Instagram @hanannugroho68.Okay, semoga ulasan ini bermanfaat.
Sekian.
BACA JUGA: Review Buku Antologi Puisi