Review Buku The Power for MERANTAU karya Rivan Efendi

Review Buku The Power for MERANTAU karya Rivan Efendi


Membaca buku The Power for MERANTAU karya Rivan Efendi mengingatkan saya ke tahun 2017. Tahun dimana untuk pertama kalinya saya merantau ke Madura.

Benar kata Rivan, tinggal di perantauan akan membuat kita bersikeras untuk bertahan hidup. Bahkan, produktivitas lebih menyala. Dan boleh dibilang, dengan merantau, kedekatan kepada Allah pun lebih terasa.

Sampai detik ini, salah satu manfaat yang saya rasakan setelah merantau adalah hadirnya rasa rindu dari orang-orang baru yang saya temui di Madura. Pun sebaliknya, saya pun merindukan mereka juga.

Jujur, merantau dapat membuat kita bahagia. Dan merantau, tidak semenyeramkan itu sebenarnya.

Buku The Power for MERANTAU jika saya ringkas pada bagian “Pergi untuk Kembali”, Rivan bersemangat mengajak pembaca untuk come on! Mumpung masih muda, merantaulah! Dan ini dapat dibuktikan dari berbagai pesan yang ia sampaikan dalam sub judul “Mari Keluar dari Zona Nyaman!” & “Muda Cuma Sekali”.

Pembuktian ajakan merantau kepada pembaca semakin lengkap dengan diceritakannya kisah Rasulullah SAW dan orang-orang hebat yang melakukan perantauan. Mulai dari Imam Syafi'i, Bob Sadino, Sundar Pichai, Putra Siregar, hingga William Tanuwijaya.

Pertanyaannya, apakah buku ini hanya sekadar ajakan untuk merantau saja?

Untuk memahami lebih dalam buku yang ditulis oleh penulis asal Aceh Utara ini, silakan simak ulasan berikut ini.

Baca Juga: Review Novel Isabel Storm karya Imel Rebecca

Review Buku The Power for MERANTAU karya Rivan Efendi

Deskripsi Buku

Judul : The Power for MERANTAU
Penulis : Rivan Efendi
ISBN : 978-623-5287-29-4
Penerbit : Jejak Pustaka
Isi : 138 halaman
Tahun Terbit : Maret 2022
Jenis/Kategori : Non-Fiksi

Buku ini dikemas dalam empat bagian. Pada bagian pertama, visi penulis hanya tertuju pada ajakan merantau kepada pembaca.

Saya belum menemukan pengalaman penulis saat merantau seperti apa. Penulis hanya sekilas saja bercerita bahwa dirinya seorang perantau dari Aceh ke Yogyakarta. Alasan yang melatarbelakangi penulis merantau pun karena pendidikan.

Sementara itu, pada bagian kedua “Start”, penulis bercerita tentang orang tuanya, tentang pengalaman mondok di luar kota di usianya yang relatif muda, bahkan boleh dibilang masih kanak-kanak.

Lalu penulis bercerita juga pengalaman membingungkan antara memilih pendidikan atau karir. Hingga puncaknya menceritakan keresahan penulis yang merasa tidak cocok dengan program studi yang dipilihnya.

Ekspektasi saya di bagian kedua ini, saya pikir penulis bakal segera menceritakan pengalaman merantaunya selama di Yogyakarta. Sebab, momen dan cerita merantaunya lah yang saya tunggu-tunggu.

Bayangkan saja orang Aceh merantau ke Pulau Jawa. Rasanya seru apabila penulis segera menceritakan perbedaan kultur, makanan, dan perbedaan karakter orang Aceh dengan orang Jawa.

Sebagai tipikal pembaca yang tidak suka basa-basi, saya sangat menunggu cerita pengalaman penulis saat merantau. Dan pada bagian ketiga “Hidup di Negeri Orang”, baru lah saya mulai fokus membaca buku ini dan tidak ingin satu halaman pun terlewati. Sebab, ekspektasi saya mulai terpenuhi.

Di bagian ketiga lah, Rivan bercerita bahwa selama di Yogyakarta, ia mengalami sedikit kesulitan. Terutama dalam berinteraksi dengan masyarakat Jogja. Namun, lambat laun ia mampu membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan gaya dan etika masyarakat sana.

Selain itu, saya cukup empati saat Rivan bilang kalau dirinya sering mengisi perut hanya dengan nasi yang dicampuri minyak goreng dan garam. Alasan saya merasa cukup empati karena pengalaman penulis, tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya selama di Madura.

Akan tetapi, saya pun setuju atas apa yang Rivan bilang, bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuan hamba-hambaNya. Dengan meyakini firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 286 itu, praktis menjalani hidup di perantauan pun dienjoyin aja.

Masuk ke bagian empat “Bertahan”, Rivan berterus terang sempat bersedih. Sebab, ia tidak termasuk ke dalam daftar peserta yang diterima di kampus yang diidam-idamkannya. Tapi, ia tidak menyerah. Sehingga, setelah mengikuti seleksi yang ketiga kalinya, ia dinyatakan lulus.

Arti ‘bertahan’ pada bagian akhir buku ini pun dapat saya simpulkan bahwa, kita mesti tetap berjuang walau banyak rintangan. Sebab menyerah, kadang berujung pada penyesalan.

Sisi Menarik Buku The Power for MERANTAU

Isi Buku Dilengkapi dengan Berbagai Macam Tips yang Masuk Akal

Buku ini bukan hanya sekadar menceritakan latar belakang penulis merantau, namun diisi juga dengan tips-tips yang masuk akal.

Saya beberapa kali membaca buku yang dilengkapi dengan berbagai macam tips, tapi tips-tips yang dibagikan oleh penulis kebanyakan klise. Sedangkan Rivan tidak demikian. Berhubung berangkat dari pengalaman, sehingga semua tips yang ia share terbilang masuk akal.

Contoh, Rivan berbagi tips soal kebutuhan bulanan saat merantau agar uang tidak dihabiskan dengan sia-sia, seperti penuhi kebutuhan dulu, bukan keinginan. Lalu list semua kebutuhan bulanan, usahakan menabung, dan cari pemasukan untuk menambah uang saku, misal bekerja sebagai part time contohnya.

Buku Sangat Relatable bagi Pembaca yang Sudah Pernah Merantau

Jujur, alasan saya ingin mereview buku The Power for MERANTAU karena saya sendiri pun pernah merantau. Sehingga, saya yakin, buku ini bakal relate bagi saya. Dan terbukti, saat membaca buku ini, faktanya memang sangat relatable.

Contoh, Rivan mengatakan bahwa, beratnya merantau hanya pada permulaannya saja. Ini benar! Saat saya merantau ke Madura, saya kesulitan berbaur dengan masyarakat sana. Baik itu dari segi budaya, komunikasi, dan ah! Banyak perbedaan sekali dengan lingkungan hidup di Kabupaten Garut.

Tapi, berhubung saya menjalankan peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, maka lambat laun masyarakat Madura menghormati kehadiran saya.

Intinya, sebagai perantau, kita mesti menghormati adat istiadat kota orang. Maka, impact-nya, mereka pun akan menghormati kita juga.

Buku Termasuk Jenis ‘Panduan’ bagi Orang yang Ingin Merantau

Jika saya simpulkan dari bagian “Pergi untuk Kembali” dan “Bertahan”, buku The Power for MERANTAU isinya beragam. Mulai dari alasan penulis merantau, cerita penulis di perantauan, hingga berbagi macam tips.

Dengan konsep penulisan buku seperti itu, maka buku ini termasuk jenis buku panduan, khususnya bagi kamu yang ingin merantau.

Selain itu, kamu dapat meniru juga sosok Rivan Efendi yang setelah merantau, ia menulis buku. Artinya, jika kamu merantau, tentu nanti bakal banyak cerita-cerita hidup yang kamu dapatkan. Sehingga, tulislah. Lalu terbitkan. Dan bagikan pengalaman hidup kamu selama di perantauan kepada banyak orang.

Baca Juga: Review Buku Purakarasa karya Ayub Rohede

Wawancara Kami dengan Rivan Efendi

Ridwansyah: Ini berhubung judul bukunya The Power for MERANTAU, jadi seolah mengindikasikan kekuatan untuk merantau. Bukan kekuatan dari merantau. Lantas, kekuatan Mas Rivan merantau hanya karena pendidikan dan kesukaan merantau dari kecil saja (kebiasaan) atau ada hal lain dari itu?

Rivan Efendi: Maksud dari judul buku tersebut adalah "Kekuatan untuk para perantau dan yang akan merantau" karena isinya tips dan trik yang dapat dilakukan oleh mereka saat di tanah rantau. Selain dua hal itu, yang membuat saya nyaman di tanah rantau karena banyaknya hal-hal baru yang positif dan bisa jadi tak saya dapatkan jika saya tak merantau.

Ridwansyah: Mas merasa tidak kalau buku Mas nggak terlalu banyak menceritakan pengalaman Mas merantau dari Aceh ke Yogya. Kenapa tidak membahas lebih dalam situasi kota Yogya, kulturnya, orang-orangnya, saya membaca justru cerita merantau Mas hanya sekilas saja? Kenapa demikian, ya?

Rivan Efendi: Hal tersebut tentunya sangat saya sadari, karena tujuan utama dari buku tersebut adalah untuk membangun kepercayaan & kekuatan untuk para generasi muda agar berani merantau. Sehingga, saya mencoba untuk mencantumkan berbagai penggalan para tokoh yang juga membuat saya terinspirasi.

Ridwansyah
: Saya berani mengatakan bahwa, pengalaman Mas Rivan merantau ke Jogja terbilang luar biasa. Sampai makan pun pernah sama nasi yang dicampuri dengan minyak goreng dan garam. Intinya, kesukaan Mas terhadap aktivitas merantau salut lah.

Nah, pertanyaan saya, apa sih yang ada di kepala Mas Rivan ketika mendengar "kampung halaman". Apakah iya kampung halaman hanya sebagai tempat untuk istirahat saja? Lalu bergegas merantau lagi. Atau adakah masa di mana sudah saatnya nggak perlu merantau lagi, tapi perlu berkontribusi di tempat tinggal sendiri.

Rivan Efendi: Saat ini, ketika saya mendengar kampung halaman yang terbesit di benak saya daerah yang harus sesegera mungkin saya tolong (dari berbagai bentuk ketertinggalan). Namun, saat ini saya masih belum memiliki kekuatan dan belum tahu bagaimana cara terbaik untuk mengatasinya.

Ridwansyah: Di perantauan, Mas Rivan mendapatkan skill baru kayak desain grafis, video editing, & public speaking. Ketiganya katakanlah dapat membantu kebutuhan hidup. Lantas, dari mana Mas Rivan dapat skill menulis? Boleh diceritakan pengalaman menulis Mas kepada kami?

Rivan Efendi: Untuk kemampuan menulis, alhamdulillah awal saya mendapatkan saat ikut-ikut nimbrung di forum-forum keilmuan yang non-formal, yang biasanya sering diselenggarakan oleh para mahasiswa aktivis. Yang mana mereka sering mengirimkan karya tulis di berbagai media, sehingga membuat saya tertarik dan meminta izin untuk ikut belajar bersama mereka.

Penutup

Untuk menutup ulasan buku ini, saya ambil saja dari pernyataan penulis, bahwa sejauh apapun merantau, jangan lupakan kampung halaman. Jangan jadi Malin Kundang yang lupa tempat asalnya. Maka dari itu, kita harus tetap pulang meski sebagai tempat peristirahatan saja.

Penulis buku The Power for MERANTAU dapat kamu sapa melalui Instagram @rivan_efendii.

Sekian.

BACA JUGA: Review Novel Empat Jiwa Dalam Dekapan Gunung Iswara
Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url