Review Buku Purakarasa karya Ayub Rohede
Jujur, dari beberapa buku antologi puisi yang pernah saya baca, buku Purakarasa karya Ayub Rohede paling pecah!
Buku ini ngena banget di hati saya. Bahkan, untuk mereviewnya saja, saya sampai bingung. Harus mulai dari mana coba? Dan bagaimana cara menjelaskan perasaan puas saya kepada Anda?
Buku antologi puisi ini bukan sekadar buku antologi puisi biasa. Purakarasa mengemas karya-karya yang tercipta atas rasa. Sehingga, penulis berhasil membuat pembaca menangkap rasa melalui diksi-diksi dan fotografinya.
Saya yakin, pembaca lain akan terbesit hal yang sama dengan saya, lalu mengernyitkan dahi begitu tahu betapa uniknya buku ini sebagai tanda haru dan turut bangga.
Begitu kurang lebih respon saya (selaku pembaca) ketika pertama kali membaca lembar pengantar prakata pada buku ini. Diksi-diksi pada puisi Mas Ayub seolah menjadi ruh fotografi untuk berbagi cerita dan rasa.
Saya juga yakin, para pembaca mustahil memalingkan pandangan ketika membuka lembaran buku ini, bahkan secara acak sekalipun.
Four your information, buku ini merupakan karya pertama penulis dari kumpulan puisi yang ia rawat cukup lama. Bahkan, saya menemukan satu puisi dengan catatan titimangsa 10 tahun lalu. Tepatnya pada 2013.
Oke, prolog dicukupkan begitu saja. Untuk memahami betapa petcahnya buku ini, silakan simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Vanesha: Saya penasaran untuk menyelaraskan fotografi dan puisi-puisi Mas Ayub. Mas Ayub sengajakah membuat puisi ini sesuai dengan suasana di fotografi ataukah secara kebetulan saja fotografi yang diambil itulah yang disesuaikan dengan puisi- puisi Mas Ayub?
Buku ini ngena banget di hati saya. Bahkan, untuk mereviewnya saja, saya sampai bingung. Harus mulai dari mana coba? Dan bagaimana cara menjelaskan perasaan puas saya kepada Anda?
Buku antologi puisi ini bukan sekadar buku antologi puisi biasa. Purakarasa mengemas karya-karya yang tercipta atas rasa. Sehingga, penulis berhasil membuat pembaca menangkap rasa melalui diksi-diksi dan fotografinya.
Saya yakin, pembaca lain akan terbesit hal yang sama dengan saya, lalu mengernyitkan dahi begitu tahu betapa uniknya buku ini sebagai tanda haru dan turut bangga.
Begitu kurang lebih respon saya (selaku pembaca) ketika pertama kali membaca lembar pengantar prakata pada buku ini. Diksi-diksi pada puisi Mas Ayub seolah menjadi ruh fotografi untuk berbagi cerita dan rasa.
Saya juga yakin, para pembaca mustahil memalingkan pandangan ketika membuka lembaran buku ini, bahkan secara acak sekalipun.
Four your information, buku ini merupakan karya pertama penulis dari kumpulan puisi yang ia rawat cukup lama. Bahkan, saya menemukan satu puisi dengan catatan titimangsa 10 tahun lalu. Tepatnya pada 2013.
Oke, prolog dicukupkan begitu saja. Untuk memahami betapa petcahnya buku ini, silakan simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Baca Juga: Review Buku ARUM: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu
Judul : Purakarasa
Penulis : Ayub Rohede
Penerbit : Pena Borneo
Isi : xv + 242 hlm
Tahun Terbit : Oktober 2020
Kategori : Senandika (Puisi, Prosa + Fotografi)
Entah apa tujuan penata desain membuat sampul buku seperti itu. Yang jelas, saya merasakan ‘rasa’ yang berbeda saat memandangi buku ini.
Warna dominan hitam ibarat rasa yang begitu dalam disimpan rapat, kemudian rasa itu terbuka perlahan, dan sedikit lega apabila dirasa. Begitulah perspektif saya terhadap gambar jendela yang terbuka, yang seolah jendela tersebut sedang berbicara.
Sementara itu, langit yang indah dengan beberapa awan menggambarkan keluasan perasaan. Tentang sebuah penerimaan dan kedamaian yang dirasakan dalam batin. Begitulah kiranya perasaan saya saat pertama kali memandangi buku Purakarasa ini.
Selain itu, saya juga merasakan hangatnya sosok penulis melalui kalimat pendek pada sampul buku “Purakarasa: Kau puraka, aku rasa. Sengaja tak diberi spasi, menyatu sepasang kaki dalam rangka meninggalkan jejak, tanpa ada lagi jarak”.
Kalimat pendek tersebut seolah-olah menyambut pembaca buku untuk lebih dekat memahami rasa. Ya, rasa yang akan disampaikan melalui bait-bait puisi dan fotografi. Dan, saya merasakan betul hal itu.
Sebagai pembaca, saya menikmati kurang lebih 160 puisi dan 56 potret fotografi dalam waktu tiga hari. Dan perlu dicatat, saya tidak merasa suntuk membaca bait demi bait puisi dalam buku ini.
Gaya bahasa dan penempatan variasi puisi berhasil menciptakan suasana hati dan membangkitkan beragam emosi pembaca.
Sesekali, saya sengaja menelaah kembali potret fotografi ketika menemukan puisi yang menghidupkan gambar. Itulah sebabnya, saya tidak merasa jenuh ketika membaca puisi-puisi dalam buku Purakarasa.
Bagaimana tidak, mulai dari tema spiritual, nasionalisme, patriotisme, sosial, humanity, budaya, hingga romance dapat dijadikan menu pelengkap untuk membangkitkan beragam emosi pembaca.
Dilengkapi juga dengan keterangan tempat serta titimangsa pembuatan puisi, lebih dari itu dikemas dengan beberapa potret fotografi.
Review Buku Purakarasa karya Ayub Rohede (Puisi, Prosa + Fotografi)
Deskripsi BukuJudul : Purakarasa
Penulis : Ayub Rohede
Penerbit : Pena Borneo
Isi : xv + 242 hlm
Tahun Terbit : Oktober 2020
Kategori : Senandika (Puisi, Prosa + Fotografi)
Desain Sampul Minimalis, tapi Sarat akan Makna
Sampul buku Purakarasa simple saja. Hanya dengan warna dasar hitam, dan mengilustrasikan dua buah jendela terbuka, lalu di hadapan jendela terdapat langit disertai beberapa awan.Entah apa tujuan penata desain membuat sampul buku seperti itu. Yang jelas, saya merasakan ‘rasa’ yang berbeda saat memandangi buku ini.
Warna dominan hitam ibarat rasa yang begitu dalam disimpan rapat, kemudian rasa itu terbuka perlahan, dan sedikit lega apabila dirasa. Begitulah perspektif saya terhadap gambar jendela yang terbuka, yang seolah jendela tersebut sedang berbicara.
Sementara itu, langit yang indah dengan beberapa awan menggambarkan keluasan perasaan. Tentang sebuah penerimaan dan kedamaian yang dirasakan dalam batin. Begitulah kiranya perasaan saya saat pertama kali memandangi buku Purakarasa ini.
Selain itu, saya juga merasakan hangatnya sosok penulis melalui kalimat pendek pada sampul buku “Purakarasa: Kau puraka, aku rasa. Sengaja tak diberi spasi, menyatu sepasang kaki dalam rangka meninggalkan jejak, tanpa ada lagi jarak”.
Kalimat pendek tersebut seolah-olah menyambut pembaca buku untuk lebih dekat memahami rasa. Ya, rasa yang akan disampaikan melalui bait-bait puisi dan fotografi. Dan, saya merasakan betul hal itu.
Pembaca Tidak akan Merasa Bosan Membaca Buku Ini
Siapapun Anda yang suka bosan ketika membaca buku kumpulan puisi, melalui buku Purakarasa, Anda tidak akan jenuh.Sebagai pembaca, saya menikmati kurang lebih 160 puisi dan 56 potret fotografi dalam waktu tiga hari. Dan perlu dicatat, saya tidak merasa suntuk membaca bait demi bait puisi dalam buku ini.
Gaya bahasa dan penempatan variasi puisi berhasil menciptakan suasana hati dan membangkitkan beragam emosi pembaca.
Sesekali, saya sengaja menelaah kembali potret fotografi ketika menemukan puisi yang menghidupkan gambar. Itulah sebabnya, saya tidak merasa jenuh ketika membaca puisi-puisi dalam buku Purakarasa.
Puisi yang Dipadukan dengan Fotografi dalam Buku Ini Mampu Membangkitkan beragam Emosi Pembaca
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya merasakan betul perubahan emosi pada diri saya saat membaca buku Purakarasa. Ditemani diksi-diksi dan suasana fotografi, ini nampak nyata sekali jika saya rasa.Bagaimana tidak, mulai dari tema spiritual, nasionalisme, patriotisme, sosial, humanity, budaya, hingga romance dapat dijadikan menu pelengkap untuk membangkitkan beragam emosi pembaca.
Dilengkapi juga dengan keterangan tempat serta titimangsa pembuatan puisi, lebih dari itu dikemas dengan beberapa potret fotografi.
Dengan konsep buku seperti itu, penulis berhasil membawa jiwa dan rasa saya ke tempat dimana potret-potret fotografi tersebut diambil.
Baca Juga: Review Novel Psychebook karya Imel Rebecca
Purakarasa Menularkan Spirit Positif dan Memuat Pesan Moral untuk Pembaca
Hal yang saya garis bawahi dari hadirnya buku ini adalah ia menularkan spirit positif. Melalui diksi-diksi, penulis berbagi rasa untuk belajar memahami perasaan orang lain. Salah satunya puisi berjudul “Kalender” di halaman 151.Sebagai pembaca, saya seolah dibawa ke masa 98-an. Tentang kisah penantian seorang ibu yang sudah beruban, menanti kepulangan putranya yang tak kunjung kembali ke tempat pulang.
Tahun demi tahun, ibu itu tidak pernah mengganti kalender usang bertuliskan 1998. Dan di setiap akhir bulan Juni, ibu itu akan membalut dirinya dengan bendera Merah-Putih sembari dengan lirih menyanyikan lagu Ibu Pertiwi.
Meskipun Mas Ayub Rohede membuat buku puisi ini di tahun 2020, tapi ia sukses membuat pembaca untuk dapat memposisikan diri sebagai seorang ibu yang menantikan kepulangan putranya di tahun 98-an.
Selain itu, puisi berjudul “Dua Sisi” di halaman 140 juga turut membawa saya hanyut dalam rasa duka. Puisi yang ditulis di Yogyakarta pada 2018, memberikan pembelajaran akan sebuah penerimaan, tentang bagaimana keharusan untuk berlapang dada.
Saya tidak ingin memaparkan berapa banyak pesan moral yang saya dapati melalui buku puisi ini. Pokoknya, Anda harus bertanya kepada penulis, apakah buku ini masih ada? Jika masih, belilah.
Catatan pribadi saya melalui kehadiran buku ini, yakni mengkritik tanpa harus menghakimi, bertutur jujur tanpa harus melukai, lalu memotivasi, dan refleksi diri.
Saya juga turut berterima kasih kepada kota Solo, Yogyakarta, dan Wonogiri, sebagai tempat lahir dari puisi-puisi Mas Ayub.
Sebelum ke sesi wawancara, saya ingin menyampaikan satu catatan tentang buku ini. Sebagai pembaca, saya begitu ingin menandai puisi favorit saya tanpa harus melipat lembar buku atau mencoret-coretnya.
Jujur saja, saya geregetan ingin menandai puisi favorit saya pada buku ini. Saya berharap, kedepannya penulis bisa mencantumkan kode urutan pada puisi-puisinya. Saya akan senang mengingat puisi favorit saya dengan cara demikian.
Sebagai catatan tambahan, berikut adalah judul-judul puisi favorit saya di buku ini: “Aku adalah” hal 8, “Perihal ingin” hal 13, “Negeri Tanpa Nama” hal 25, “Gandrung” hal 66, “Klandestin” hal 78, “Saujana” hal 127, “Insomnia” hal 131, “Eka” hal 198.
Tahun demi tahun, ibu itu tidak pernah mengganti kalender usang bertuliskan 1998. Dan di setiap akhir bulan Juni, ibu itu akan membalut dirinya dengan bendera Merah-Putih sembari dengan lirih menyanyikan lagu Ibu Pertiwi.
Meskipun Mas Ayub Rohede membuat buku puisi ini di tahun 2020, tapi ia sukses membuat pembaca untuk dapat memposisikan diri sebagai seorang ibu yang menantikan kepulangan putranya di tahun 98-an.
Selain itu, puisi berjudul “Dua Sisi” di halaman 140 juga turut membawa saya hanyut dalam rasa duka. Puisi yang ditulis di Yogyakarta pada 2018, memberikan pembelajaran akan sebuah penerimaan, tentang bagaimana keharusan untuk berlapang dada.
Lebih Lanjut Perasaan Saya saat Membaca Buku Purakarasa
Ketika membaca seluruh puisi dan mengamati potret-potret fotografi dalam buku Purakarasa, saya seolah diajak berdialog. Sesekali, perasaan saya tertampar oleh pesan moral yang disampaikan penulis.Saya tidak ingin memaparkan berapa banyak pesan moral yang saya dapati melalui buku puisi ini. Pokoknya, Anda harus bertanya kepada penulis, apakah buku ini masih ada? Jika masih, belilah.
Catatan pribadi saya melalui kehadiran buku ini, yakni mengkritik tanpa harus menghakimi, bertutur jujur tanpa harus melukai, lalu memotivasi, dan refleksi diri.
Saya juga turut berterima kasih kepada kota Solo, Yogyakarta, dan Wonogiri, sebagai tempat lahir dari puisi-puisi Mas Ayub.
Sebelum ke sesi wawancara, saya ingin menyampaikan satu catatan tentang buku ini. Sebagai pembaca, saya begitu ingin menandai puisi favorit saya tanpa harus melipat lembar buku atau mencoret-coretnya.
Jujur saja, saya geregetan ingin menandai puisi favorit saya pada buku ini. Saya berharap, kedepannya penulis bisa mencantumkan kode urutan pada puisi-puisinya. Saya akan senang mengingat puisi favorit saya dengan cara demikian.
Sebagai catatan tambahan, berikut adalah judul-judul puisi favorit saya di buku ini: “Aku adalah” hal 8, “Perihal ingin” hal 13, “Negeri Tanpa Nama” hal 25, “Gandrung” hal 66, “Klandestin” hal 78, “Saujana” hal 127, “Insomnia” hal 131, “Eka” hal 198.
Wawancara Kami dengan Ayub Rohede
Vanesha: Dari berbagai macam puisi yang Mas Ayub buat, apakah semuanya diambil dari kisah nyata?Ayub Rohede: Tidak. Ada beberapa puisi yang memang menceritakan pengalaman pribadi, tanpa punya maksud menjadikan buku ini sebagai "ruang curhat", hanya saja ingin mengabadikannya sebagai pengingat dan kenangan.
Sisanya terinspirasi dari banyak hal. Keresahan berdasarkan isu sosial, budaya, politik, agama, maupun fenomena atau peristiwa berkesan. Beberapa juga terinspirasi dari kisah nyata orang lain.
Vanesha: Mas, buku ini mengemas karya unik yang baru pertama kali saya baca. Lantas, inspirasi apa yang melatarbelakangi Mas Ayub menuliskan puisi-puisi dan fotografi seperti itu? Boleh diceritakan?
Vanesha: Mas, buku ini mengemas karya unik yang baru pertama kali saya baca. Lantas, inspirasi apa yang melatarbelakangi Mas Ayub menuliskan puisi-puisi dan fotografi seperti itu? Boleh diceritakan?
Ayub Rohede: Ide menggabungkan fotografi dalam buku ini tidak terpikirkan sebelumnya. Ide itu muncul ketika proses menulis sudah 90%.
Saya memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai fotografer, dan saya sering terkesan dengan karya-karya mereka. Saya pikir, foto bisa menjadi "bumbu" pelengkap yang membuat buku ini menjadi lebih semarak.
Lagipula, buku ini saya tulis di masa-masa pandemi di mana saat itu semua orang dipaksa untuk "berdiam diri" demi bertahan hidup.
Tapi, yakali ngga ngapa-ngapain? Gabut dan takut, justru memicu saya untuk mencari tempat pelarian. Menulis, itu jawabannya. Saya mengajak 3 teman saya untuk sama-sama melahirkan sesuatu. Biar lebih berasa monumental aja sih, hehe. Pandemi tidak benar-benar membatasi dalam berkreasi.
Vanesha: Saya penasaran untuk menyelaraskan fotografi dan puisi-puisi Mas Ayub. Mas Ayub sengajakah membuat puisi ini sesuai dengan suasana di fotografi ataukah secara kebetulan saja fotografi yang diambil itulah yang disesuaikan dengan puisi- puisi Mas Ayub?
Ayub Rohede: Tidak sepenuhnya, ya. Karena ini hanya tentang kolaborasi saja sih, tidak harus memaksakan "foto A adalah representasi dari puisi B" ataupun sebaliknya.
Pembaca bisa bebas menikmati atau meresapi puisi dan foto dengan rasa atau pesan yang berbeda. Pembaca bebas menginterpretasikannya, kok. Mau dicocok-cocokin juga boleh. Hehe. Itulah Purakarasa.
Vanesha: Mas ayub mengkategorikan kumpulan puisi menjadi empat bagian, ditandai dengan kata “Menduga-Menanggung-Menyebrangi-Mencecap” adakah maksud dan tujuan tertentu Mas Ayub mengkategorikan puisi-puisi itu? Dan kenapa tidak dikategorikan sesuai urutan titimangsa pembuatan puisi?
Vanesha: Mas ayub mengkategorikan kumpulan puisi menjadi empat bagian, ditandai dengan kata “Menduga-Menanggung-Menyebrangi-Mencecap” adakah maksud dan tujuan tertentu Mas Ayub mengkategorikan puisi-puisi itu? Dan kenapa tidak dikategorikan sesuai urutan titimangsa pembuatan puisi?
Ayub Rohede: Menurut saya proses kreatif membuat karya itu tidak ada rumus pakemnya ya. Abstrak, tapi ada fasenya untuk menajamkan karya itu secara spesifik. Kenapa tidak menggunakan titimangsa? Jawabannya, ya karena tidak ingin aja.
Selain itu, 85% puisi adalah tulisan baru yang benar-benar ditulis saat itu (tahun 2020). Gapnya cukup jauh dengan puisi-puisi yang lama.
Pun, yang terpikir saat itu ya seabstrak itu aja sih. Kalau ditanya mengenai pembagian buku tersebut, jujur saya juga bingung alasannya kenapa. Sederhananya, itu hanya semacam linimasa memproses rasa versi saya.
Ah, ternyata agak susah untuk menjelaskan ya hehe. Saya kembalikan saja ke interpretasi pembaca.
Vanesha: Mengapa memaksimalkan penerbit indie? Adakah rencana untuk membuat buku selanjutnya?
Vanesha: Mengapa memaksimalkan penerbit indie? Adakah rencana untuk membuat buku selanjutnya?
Ayub Rohede: Purakarasa adalah project "iseng" di awal memulainya. Tidak pernah punya cita-cita membuat buku sebelumnya. Semuanya muncul begitu tiba-tiba. Pun tidak terlalu memikirkan ini harus jadi project berorientasi komersil secara pribadi.
Jalur indie adalah jalur yang sangat terbuka, merdeka, dan ramah untuk dijangkau. Bagi penulis "bocah" seperti saya, tidak ada jalur yang lebih mudah, murah, ramah selain jalur indie. Sekali lagi saya menyukai "kolaborasi".
Meskipun penerbit indie juga harus profit, tapi lebih dari itu ini juga bicara tentang bertumbuh bersama dan bertahan.
Bagi saya, Puisi adalah karya sastra yang memiliki tempat istimewa di hati saya. Saya bisa berkaca, bahkan bisa "sembuh" hanya dengan menulis dan membaca puisi.
Puisi bukan hanya tentang keindahan diksi, melainkan juga sebagai penanda jaman maupun generasi yang akan abadi. Jadi, tentu saya masih ingin menulis lagi sebagai syarat memperpanjang "umur".
Nah, siapapun Anda yang juga ingin menikmati suara fotografi melalui diksi-diksi puisi antologi Purakarasa, segeralah untuk menyapa penulis melalui akun Instagram @ayubrohede.
Reviewer : Siti Sunduz
Penutup
Untuk penutup ulasan buku ini, saya meminjam ungkapan kawan saya dari Jepara yang kerap ia tuturkan ketika merasa takjub. Kerenn sak polle, turut bahagia dan bangga sampe ubun-ubun!Nah, siapapun Anda yang juga ingin menikmati suara fotografi melalui diksi-diksi puisi antologi Purakarasa, segeralah untuk menyapa penulis melalui akun Instagram @ayubrohede.
Reviewer : Siti Sunduz