Review Buku “ARUM: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu” karya Septian Eko Saputra

Review Buku “ARUM: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu” karya Septian Eko Saputra

Sejatinya, kisah asmara tak selalu menampilkan keindahan. Layaknya bunga, ada masanya ia tumbuh, mekar, dan layu. Begitu pula dengan buku “Arum: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu” karya Septian Eko Saputra.

Melalui judul, penulis seolah memberi sinyal bahwa buku ini tentang perjalanan kisah kasih yang menemui titik jemunya.

Kendati sudah terbaca alur kisahnya yang naik turun, tapi saya jamin pembaca akan dibuat speechless dengan sederet kisah yang disajikan. Terlebih, gaya penulis dalam menginterpretasikan love language-nya sangat apik dan puitis.

Ditinjau dari point of view sebagai perempuan, to be honest saya merasa iri dengan Arum. Di tengah fenomena trust issue yang marak akhir-akhir ini, bagaimana bisa ia dicintai sebegitu dalamnya oleh seorang lelaki?

Baik, untuk mengetahui gambaran buku dan tanggapan saya sebagai reviewer, simak ulasannya berikut ini.

Baca Juga: Review Buku Antologi Puisi Jejak Aksara

Review Buku “ARUM: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu”

Deskripsi Buku

Judul : Arum (Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu)
Penulis : Septian Eko Saputra
ISBN : 978-623-385-384-2
Penerbit : Ellunar Publisher
Isi : 148 halaman
Tahun Terbit : Juni 2023
Jenis/Kategori : Nonfiksi

Sesuai judulnya, buku ini dikemas dalam tiga bagian, yaitu tumbuh, mekar, dan layu. Pada bagian pertama dan kedua, masing-masing terdiri dari tujuh judul. Sedangkan bagian ketiga menampilkan tiga belas judul.

Sementara itu, buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama. Dengan demikian, penulis kelahiran 1996 ini seolah memposisikan diri sebagai tokoh sentral.

Gambaran Bagian 1: Tumbuh

Bermula dari perkenalan singkat, seorang lelaki terpikat pada perempuan bernama Arum. Seperti jatuh hati pada umumnya, tentu dunia terasa lebih indah. Melalui kalimat puitis yang disajikan, pembaca akan turut merasakan betapa bahagianya si tokoh utama.

Kebahagiaan semakin meruah tatkala sang pujaan hati menerima perasaannya. Hingga pada bulan Februari, dua sejoli mulai menapaki kisah baru.

Terkesan simple, namun saya benar-benar dibuat takjub dengan cara penulis mendeskripsikan kisahnya. Saya seolah membaca puisi dan novel dalam waktu yang bersamaan.

Baik, saya bubuhkan contoh kalimat yang benar-benar membuat siapapun terkesima.

Kau adalah pemeran utama yang kusanjung di hadapan Tuhan – halaman 21

Bila dahulu kesedihan menggerogoti jiwamu dengan liar dan buas, kini akulah yang akan membuatmu tertawa lepas. – halaman 30

By the way, bagian pertama ini terdiri dari tujuh sub bagian diantaranya: 1) pada mulanya adalah temu; 2) sang poros waktu berpendar; 3) bila kau tiada sudi menerima; 4) Februari kala cerita; 5) kecewa mampu kutahan; 6) dalam tatap dan terpejam; 7) tempat di mana tiada seorangpun selain kita.

Gambaran Bagian 2: Mekar

Pada bagian kedua, tokoh utama berupaya untuk merawat cintanya hingga mekar. Ia semakin menambatkan hatinya pada sang kekasih, seolah ia telah menjadi pusat semestanya.

Sebagaimana yang dituliskan dalam halaman 46, “Setiap kali kau menghabiskan waktu di dekatku, setiap kali kepalamu rebah pada pangkuanku, setiap kali aku memanggilmu kekasih, perasaanku ikut tumbuh dan aku makin dalam menggantungkan harapanku padamu.”

Menariknya, pada penghujung bagian ini, penulis membubuhkan beberapa romansa, dimulai dari kisah Raden Abimanyu hingga Petruk.

Raden Abimanyu yang mengalami nasib tragis sebab mencintai perempuan selain istrinya.

Ekalaya yang tetap mempertahankan hubungan, sekeras apapun perjuangannya.

Gatotkaca yang dianggap setengah dewa berkat kekuatannya. Namun malah menjadi lelaki yang tak berdaya di hadapan Dewi Pregiwa, serta hampir mengakhiri hidupnya.

Petruk yang kisahnya berakhir indah, tetapi dalam prosesnya terdapat penolakan dan pengorbanan.

Bagian “Mekar” terdiri dari tujuh sub bagian diantaranya: 1) sebab aku mencintaimu; 2) aku ingin pada aku; 3) kisah yang pendek usianya; 4) kau hadir sebab hidup terlalu berisik; 5) menjadi terbaiknya aku; 6) karya seni abadi; 7) legenda dan dongeng berisi cinta.

Gambaran Bagian 3: Layu

Dalam suatu hubungan, tentu akan menemui titik jemu. Saat langkah tak lagi selaras, ada kalanya sejoli ini saling memberi batas. Entah ekspektasi sang lelaki yang kian meninggi, atau memang sang perempuan yang mulai menunjukkan sifat aslinya. Keduanya keukeuh pada pendirian masing-masing.

Saya menyorot sebuah kalimat yang mampu merepresentasikan kisah ini “Sifat posesifku membuatmu jenuh. Hingga kenyamanan justru kau dapatkan dari lelaki yang bukan aku. Maaf tali pikiranku yang pendek mudah tersulut emosi acapkali mengantarkan kita berada di ambang perpisahan”.

Saya yakin, perasaan pembaca akan lebih diobrak-abrik tatkala menemui kalimat, “Menjadi asing telah menghantui hubungan kita. Perasaan kita menjadi hambar. Kita berkontemplasi dan membutuhkan meditasi diri. Mungkin satu-satunya kebahagiaan bagi kita berdua dapat ditemukan lewat perpisahan.”

Seusai membaca kalimat itu, saya memberi jeda beberapa menit sebelum melanjutkan. Tentu butuh waktu dan kesiapan mental yang cukup untuk membaca halaman berikutnya. Ya, saya tahu ending-nya akan “layu”, tapi mengapa harus semenyakitkan ini?

Benar saja, di halaman berikutnya saya menemukan kalimat yang tak kalah pedih.

Pernahkah kau membayangkan bagaimana menjadi aku? Lelaki yang hidup dalam bayang-bayang luka di masa lalu … Seseorang yang terlalu sibuk memapah jiwanya yang terluka, hingga enggan lagi pintu hatinya terbuka. – halaman 103

Walau sudah habis semua resahku untuk memintamu bertahan, walau bercucuran rintik peluhku mengejar, walau berderai air mata meminta kau menetap, hubungan ini telah menemui perpisahan. – halaman 105

Namun, seiring berjalannya waktu, sang tokoh utama mulai berdamai dengan diri sendiri. Menurutnya, meskipun dengan cara yang menyakitkan, ternyata perpisahan mengantarkan pada banyak pelajaran hidup yang selama ini tidak disadari.

Mencintai seseorang berarti telah siap untuk mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Mau tidak mau, begitulah adanya. Ia yakin, akan datang suatu masa di mana ia akan berteman dengan kenangan itu, seolah-olah pilu tidak pernah ia rasakan.

Bagian pamungkas ini terdiri dari tiga belas sub bagian diantaranya: 1) porak-poranda dibakar api; 2) sesuatu yang tidak ada padaku; 3) kita harus membahagiakan satu sama lain; 4) merayakan keheningan; 5) memeluk kegagalan; 6) bagaimana kita nanti?; 7) kita telah diambang perpisahan; 8) mengantarkan kita pada hal baik; 9) di balik puing-puing doa; 10) kini dan dahulu, hubungan ini hanya tentang aku; 11) kepada lelaki yang kini bersamamu; 12) hingga luka tak lagi kita rasa; 13) kau menjadi apapun yang kusentuh.

Baca Juga: Review Novel Psychebook karya Imel Rebecca

Ulasan Setelah Membaca Buku Arum: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu

Sepeninjauan saya, buku ini disusun secara sistematis, sehingga alur ceritanya jelas. Hal ini bisa dilihat dari pembagian kisahnya yang terdiri dari tiga bagian besar, yakni Tumbuh, Mekar, dan Layu.

Menariknya, gaya penulisan dinilai sangat unik, sampai-sampai saya merasa sedang membaca puisi dan novel dalam satu waktu.

Selain feel-nya lebih dapet, gaya puitis ini malah menambah insight baru kepada pembaca, sehingga dapat memperkaya kosakata.

Sementara itu, dilihat dari point of view saya sebagai seorang perempuan, penulis sangat jujur mengemas kisahnya. Hal-hal yang disinggung dalam buku ini memang relate dengan kehidupan.

Let’s say, di balik sikap manisnya perempuan, terkadang ia menjadi sosok yang keras kepala dan ingin dimengerti. Selain itu, jangan batasi langkahnya, karena perempuan tidak ingin dikekang.

Kendati demikian, saya malah turut merasakan kekecewaan mendalam. Memang, perempuan itu makhluk yang unpredictable, ya?

Buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi di setiap lembar akhir cerita. Hal ini memberi kekuatan visual tersendiri. Namun, barangkali boleh mengomentari—sebagai orang yang awam terhadap desain visual—alangkah lebih baik jika ilustrasi dapat relevan dengan kisah yang disajikan.

I mean, saya cukup kesulitan menemukan benang merah antara tulisan dan self-portrait yang tertera.

Overall, saya benar-benar menikmati kisah yang disajikan di buku ini. Penulis sangat cerdas mengemas kisah memilukan ini menjadi sebuah karya yang indah.

By the way, seusai buku ini rampung dibaca, isi kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan “Kok ada ya penulis yang sekeren ini? Ini latihan nulisnya gimana ya?”

O ya, terlepas dari itu semua, bahkan untuk siapapun yang mengalami hal serupa, semoga lekas diberi kebahagiaan yang tak terkira.

Mari belajarlah untuk lebih mencintai diri sendiri, sebelum benar-benar melabuhkan diri pada sang pujaan hati.

Wawancara Kami dengan Septian Eko Saputra

Vanesha: For make sure saja Mas, melihat untaian cerita yang dideskripsikan secara mendetail, apakah memang terinspirasi dari kisah pribadi Mas Septian?

Septian Eko Saputra: Iya benar Mbak, ini pengalaman pribadi yang aku alami semasa kuliah. Waktu itu ngejalin hubungan di awal tahun 2017 sampai pertengahan 2018.

Vanesha: Apakah ada alasan khusus menyisipkan ilustrasi di setiap halaman akhir kisah?

Septian Eko Saputra: Tidak ada alasan khusus sebenarnya Mbak, ilustrasinya hanya sebagai pemanis buku. Setidaknya kalau ada pembaca yang butuh penggambaran karakter Arum, mereka bisa membayangkannya dari ilustrasi yang dilampirkan.

Vanesha: Pada bagian “Legenda dan Dongeng Berisi Cinta”, disinggung kisah Raden Abimanyu hingga Petruk. Hal apa yang menginspirasi Mas Septian sehingga mengadopsi kisah-kisah tersebut dan menuangkannya ke dalam tulisan ini?

Septian Eko Saputra: Awalnya terinspirasi dari kisah pewayangan Mbak, beberapa kisahnya juga seliweran di media sosial, akhirnya aku mendalami beberapa bagian cerita yang dirasa cukup menggambarkan hubungan aku dulu. 

Seperti cerita Abimanyu, karakternya mewakili mantanku yang tidak sepenuhnya mengakui hubungan kami ke orang lain, yaaa walaupun dia & Abimanyu beda gender sih.

Karakter Abimanyu tetap aku pertahankan, karena dari cerita itu pun aku punya komitmen untuk gak jadi pengkhianat.

Untuk cerita Ekalaya & Petruk, aku berharap kalau aku pun bisa jadi laki-laki yang berjuang mempertahankan hubungan atau cintanya gitu, Mbak.

Kalau cerita Gatotkaca itu untuk perumpamaan kalau ngak ada satu pun lelaki yang kuat menghadapi patah hati.

Alasan lainnya kenapa mengangkat dongeng dan legenda, karena kisahnya sulit dilupakan & punya banyak pelajaran yang bisa diambil, Mbak.

Vanesha: Buku ini sangat kaya dengan diksi, serta dikemas dengan cara yang apik. Selama menulis, Mas Septian pernah mengalami writer’s block? Lalu bagaimana menyikapinya?

Septian Eko Saputra: Hahaha ini naskahnya udah lama banget aku tulis Mbak, jadi di waktu itu keliatannya kaya patah hati banget, padahal mah biasa aja.

Sering banget writer’s block, Mbak. Karena ini dari pengalaman pribadi, aku ingat kejadiannya, tapi sulit untuk dituangkan ke naskah. Biasanya aku kasih waktu ke diri sendiri untuk lebih tenang, membaca buku-buku serupa. Terus juga karena aku tergabung di komunitas film pendek, menonton film juga salah satu cara aku mencari inspirasi.

Vanesha: Saya benar-benar menyukai cara Mas Septian merangkai kata hingga membentuk sebuah tulisan yang indah. Kedepannya, apakah ada rencana untuk membuat buku yang serupa?

Septian Eko Saputra: Ada niat untuk bikin buku nonfiksi lagi sih Mbak, masih tentang percintaan, tapi bukan lagi tentang patah hati. Belum tahu kapan Mbak, progressnya masih sampai buka ms word aja.

-

Untuk membeli buku ARUM dan menyapa penulis, silakan berkunjung ke akun Instagram penulis melalui @septianekosaputra.

Sekian.

Reviewer: Fitri Ayu Febrianti

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url