Review Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) karya Heni Miranti

Review Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) karya Heni Miranti

Kapan terakhir kali kamu mengekspresikan perasaanmu tanpa takut dihakimi?

Agaknya, banyak di antara kita yang sering menyembunyikan perasaan karena takut dicap sebagai orang yang 'lebay'. Kita cenderung risau terhadap pandangan orang lain, sehingga tak jarang merelakan kebahagiaan kita sendiri.

Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) menurut saya menjadi sebuah ruang aman, terutama bagi kita yang rentan terusik oleh judgment orang lain.

Buah karya Heni Miranti membuka kesempatan bagi pembaca untuk bersikap jujur pada semua insecurity-nya. Membacannya, saya seperti punya kawan seperjuangan untuk mengeluh tanpa takut dinyinyiri. Di sisi lain, saya juga ditemani agar lebih realistis dan berani.

Untuk tahu lebih lanjut isi buku ini, simak ulasan berikut.

Baca Juga: Review Buku Bahagia karena Memberi

Review Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) karya Heni Miranti

Identitas buku

Judul: Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine)
Penerbit: MDP Media
Pengarang: Heni Miranti
Tahun: Juni, 2023
Isi: 104 halaman

Gambaran Umum Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine)

Meski hanya berisi 104 halaman, namun buku ini sarat akan makna. Berikut enam belas tulisan yang termaktub dalam buku terbitan MDP Media ini.

1. Masa Pahit
2. Menenteng Mimpi Dalam Ranjau Ekspektasi
3. Menjadi Asing Atas Diri
4. Ketakutan yang Bermuara
5. Mereka Bisa, Harusnya Aku Juga
6. Hari Ini Sakit, Besok Harus Lebih Baik
7. Ingat Ini Ketika Kamu Merasa Tak Kuat Hidup Lagi
8. Aku Ingin Tahu Apakah Itu Hanya Aku
9. Meragukan Diri Sendiri
10. Ketika Setiap Orang Meninggalkanmu
11. Keluarga yang Sebenarnya
12. Rasa Pahit yang Tidak Pernah Nikmat
13. Biarkan Luka-Liku dan Lara Itu Pergi
14. Prioritas Kita Adalah Bertahan
15. Berjuang dengan Syarat
16. Ini Caraku Memanjakan Diri

Yang Bisa dan Tak Bisa Kita Kendalikan

Henry Manampiring dalam Filosofi Teras berkata, “Dalam hidup, ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada pula yang tidak bisa kita kendalikan”.

Kebanyakan dari kita, hidup dengan memusingkan berbagai hal di luar kuasa kita, ujung-ujungnya akan membuat kita merasa tidak bahagia. Seolah setiap hal di muka bumi ini menyiksa kita tanpa henti.

Selaras dengan pernyataan Henri Manampiring, saya kutip pernyataan pada judul Masa Pahit di buku ini.
Bahagia yang sebenarnya hanya ada dalam pikiran kita. Bagaimana kita mengelola dan menafsirkannya.—ha 14

Pikiran memiliki andil yang besar dalam menentukan arah hidup. Jika kita dapat mengendalikan pikiran kita, maka sebagian dari permasalahan hidup sudah dapat kita selesaikan.

Bukan hanya itu, seperti yang dikatakan penulis, kita bahkan bisa memperoleh kebahagiaan dengan mengelola dan menafsirkan pikiran secara bijaksana.

Pernyataan tersebut berkorelasi dengan tulisan berjudul Ketakutan yang Bermuara. Pada tulisan ini, penulis mengungkapkan banyak kerisauan: pencapaiannya yang dibandingkan dengan pencapaian orang lain, ketakutannya menghadapi risiko, juga rasa ragu penulis akan kemampuan dirinya.

Semua yang dicemaskan penulis, merupakan hal yang berada dalam jangkauan kita. Artinya, permasalahan itu masih bisa kita kendalikan karena kaitannya hanya dengan sudut pandang kita.

Di judul Menentang Mimpi dalam Ranjau Ekspektasi, penulis kembali menyinggung soal pengendalian pikiran, terutama dalam berekspektasi.

Tak jarang, kita merasa putus asa karena kenyataan bertolak belakang dengan harapan. Penulis memberi penegasan tentang alangkah kecilnya jangkauan kita sebagai manusia dibandingkan dengan kuasa Tuhan. Kita bisa saja merencanakan atau mengharapkan sesuatu. Akan tetapi, siapa yang dapat menghindari takdir Tuhan?

Lain halnya dengan judul Ketika Setiap Orang Meninggalkanmu. Kali ini penulis memberitahu kita tentang kehendak seseorang. Keinginan seseorang untuk bersama atau tak bersama kita berada di luar kuasa kita. Kita tak bisa mengendalikan orang lain sesuai kehendak kita.

Setiap manusia tentu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Untuk mencapai kebahagiaan itu, ada baiknya kita fokuskan pikiran pada sesuatu yang mampu kita kendalikan; prasangka, harapan, sikap, dan segala yang bersumber dari kita pribadi.

Kita tak perlu memusingkan hal-hal di luar itu.

That Which Doesn't Kill Us, Makes Us Stronger

Siapa yang tak pernah mendengar quotes dari Nietzsche ini?

Those words are a right thing to define that suffering is good for us and makes us more resilient.

Filosofi Nietzsche itu juga yang saya rasakan saat membaca judul-judul berikut ini.

1. Menjadi Asing Atas Diri
2. Mereka Bisa, Harusnya Aku Juga
3. Hari Ini Sakit, Besok Harus Lebih Baik
4. Ingat Ini Ketika Kamu Merasa Tak Kuat Hidup Lagi
5. Aku Ingin Tahu Apakah Itu Hanya Aku
6. Meragukan Diri Sendiri
7. Keluarga yang Sebenarnya
8. Rasa Pahit yang Tidak Pernah Nikmat
9. Biarkan Luka-Liku dan Lara Itu Pergi
10. Prioritas Kita Adalah Bertahan
11. Berjuang dengan Syarat

Selama ini kita kerap diajari untuk mempersiapkan kesuksesan. Sayangnya, tak banyak yang belajar untuk menghadapi kegagalan dan kesakitan.

In her first book, Heni Miranti how to prepare and compromise with pain. Ini menarik. Pasalnya, rasa kecewa adalah sebuah keniscayaan. Meski begitu, berapa banyak yang mampu menanggung rasa kecewa dengan baik?

Pada judul-judul di atas, pembaca dapat dengan mudah merasakan kekecewaan, bahkan kegusaran penulis akan banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya. Namun, di sisi lain, nuansa optimisme juga terasa kental.

Banyak kalimat penguat dan pengingat bagi pembaca agar senantiasa menghargai kehidupan, sepahit apapun itu.
Hidup memang seperti ini. Terkadang kita diberi luka sampai tawa lenyap seketika. Tidak mungkin tidak akan ada tawa selanjutnya. Pasti ada. --hal.45

Selain Disyukuri, Hidup Juga Perlu Di-sambat-i

Tulisan berjudul Ini Caraku Memanjakan Diri dikemas amat berbeda dari tulisan lainnya. Di tulisan ini, penulis mencurahkan keluh kesahnya. Tak ada kata-kata motivasi. Murni, hanya sebagai pengakuan.

Judul itu terdiri atas tiga bagian yaitu, Hari yang Selalu Ingin Kuubah dengan Riuh Bahagia, Berpacu dengan Waktu, dan Kehancuran yang Sempurna.

Lantas, apakah isi tulisan tersebut melemahkan kekuatan buku ini?

Bagi saya tidak. Mengeluh bukan berarti tak bersyukur. Saya melihat penulis hanya mengambil 'istirahat' dari kesibukannya menguatkan diri.

Sikap itu justru membuat isi buku ini terasa lebih jujur. Tidak ada toxic positivity. Pembaca juga dapat lebih mudah mengasosiasikan pesan penulis pada kondisinya masing-masing.

Jika penulis mencari kawan untuk berbagi keluhan, saya akan menjadi orang pertama mengajukan diri. Selalu berpikir positif memang penting, tapi sebagai manusia, saya pikir tidak apa-apa kalau sesekali kita sambat.

Toh, pada dasarnya, kita tetap meyakini kesulitan ini tidak akan abadi. Sambat hanya bagian dari ekspresi diri: digunakan seperlunya, dihadapi sebaik-baiknya.

Pandangan Reviewer tentang Buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) karya Heni Miranti

Hey, we're sailing the same boat! Kalimat ini ingin sekali saya sampaikan kepada penulis. Semua hal di buku ini pernah menjadi isu-isu krusial dalam quarter life crisis saya.

Ketika itu, saya tak tahu harus berbagi kepada siapa. Segala problematika yang saya miliki terasa amat sepele dibandingkan dengan masalah orang lain. Saya tak cukup percaya diri untuk mengeluh. Perkara-perkara ini masih bisa saya tahan.

Melalui buku ini, penulis menggoyahkan kesombongan saya. Akhirnya, saya tak lagi merasa bersalah jika sesekali mengeluh. Ternyata, mengeluh tak selalu membuat kita lemah, asalkan diimbangi dengan introspeksi diri. Hal tersebut ditunjukkan penulis di setiap tulisan pada buku ini.

Penulis selalu memulai tulisannya dengan permasalahan tertentu. Tak jarang, ia sedikit mengeluh. Akan tetapi, setengah tulisan selanjutnya berisi refleksi penulis disertai kalimat motivasi diri.

Saya teringat kata-kata Raditya Dika, “Saat kita ngambil isu yang personal, justru lebih banyak orang yang relate sama kita”.

Pandangan ini juga yang menurut saya cocok menggambarkan buku Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine). Tema personal yang diangkat penulis, saya yakin akan menjangkau lebih banyak orang.

Ada hal yang lebih istimewa lagi di buku karya Heni Miranti ini. Dua bagian buku dikhususkan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk diri sendiri.

Sungguh cerdik. Penulis membiarkan pembaca mencurahkan pikirannya dengan menjawab pertanyaan tersebut. Dengan demikian, pembaca akan semakin merasa terkoneksi pada isu life crisis yang diusung penulis.

Kalau kamu butuh teman duduk yang siap memasang telinga bagi setiap keluhanmu, buku ini bagus kamu miliki. Sebab, ia menjelma penasihat yang lugas dan tidak menye-menye.

Jangan berharap akan dimanjakan hanya karena kamu punya segudang kesedihan. Kita justru disadarkan bahwa satu-satunya jalan mudah untuk setiap kesulitan adalah tidak menyerah.

Baca Juga: Review Novel Love Will Set You Free

Wawancara dengan Heni Miranti

Reviewer: Buku ini banyak menceritakan tentang rasa sakit, luka, dan problematika life crisis lainnya. Adakah alasan khusus Kak Heni mengangkat topik tersebut? Saya baca di kata pengantar, Kakak juga melakukan sebuah riset dengan mengajukan pertanyaan tentang “Definisi Bahagia”. Apakah ini ada kaitannya juga dengan keputusan Kakak memilih topik untuk buku ini?

Heni: Alasan khusus, pastinya ada. Terlebih lagi dengan setelah melakukan riset mengenai definisi bahagia, bahkan ada juga beberapa yang tidak saya tuliskan, itu pun semakin membuat saya sangat tertarik untuk melanjutkan menulis naskahnya sebagai pemberitahuan pada orang-orang di luaran sana yang masih merasa sendiri, tertekan, susah untuk menjadi tenang terhadap pikirannya sendiri.

Reviewer
: Saya terkesan banget sama bagian Aku Tidak Baik-Baik Saja dan Waktu yang Tepat untuk Menangis yang berisi pertanyaan reflektif buat diri sendiri. Dari mana Kakak mendapatkan ide tersebut? Apa alasan kedua bagian itu harus ada di buku ini?

Heni:  Ide itu pastinya saya dapatkan dari pengalaman, dimana saya sendiri memerlukan pertanyaan seperti demikian untuk diri saya agar merasa memiliki akses untuk meluapkan isi kepala yang membebani pikiran dan perasaan.

Kenapa dua bagian itu harus ada di buku ini?

Jawabannya karena saya tahu bahwa bukan hanya saya yang menginginkan hal tersebut, pastinya saya merasa bahwa saya tidak sendiri. Begitu juga dengan pembaca nantinya yang ada kemungkinan akan berpikir pula bahwa ia tidak sendiri. 

Reviewer: Ada satu judul yang membuat saya penasaran yaitu “Ini Caraku Memanjakan Diri”. Di bagian bawah judul tersebut, ada kata “mengeluh”. Apa sih hubungan antara memanjakan diri dengan mengeluh yang dimaksud oleh Kak Heni? Jujur, ini sudut pandang yang unik.

Heni: Untuk saya pribadi dan pandangan saya, sebetulnya memanjakan diri paling banyak dan mudah dilakukan adalah dengan cara mengeluh (meluapkan) semua kejadian yang dilalui, dari yang menyesakkan, membuat diri menjadi kurang nyaman di kehidupan.

Jadi semuanya tidak melulu harus keluar seperti yang di masa kini banyak sekali dilakukan orang-orang di luaran sana. Karena, luapan dari apa yang sudah menumpuk di kepala, akan lebih mudah tercurah ketika kita banyak berkomunikasi dengan baik  terhadap diri sendiri, entah itu dengan cara menulisnya, atau bisa juga berbicara sendiri dan bahkan bercerita bersama orang terpercaya.

Reviewer: Dari semua pesan yang ada di buku ini, cerita mana yang menjadi turning point Kakak untuk berdamai dengan semua rasa sakit yang Kakak alami? Bisa diceritakan detail dan alasannya?

Heni: Bagian "Biarkan Lika-Liku Luka dan Lara Itu Pergi" adalah salah satu bagian penting untuk diri saya belajar mendalami sebuah ketenangan yang begitu inginnya saya didapati. Menjadi pengingat juga akan respon seperti apa yang harus dilakukan ketika berbagai kejadian datang secara bersamaan atau tidak sesuai keinginan. 

Reviewer: Apa pesan yang ingin Kakak Sampaikan kepada pembaca yang saat ini mungkin sedang mengalami life crisis dengan segala problematikanya?

Heni: Jika tidak ada telinga untuk mendengarkan keluhmu, masih ada ruang sepi di bagian hati yang dikhususkan untuk merawat sakitmu hingga sembuh. 

Jadi, bertahanlah, kuatkan hati dan tenangkan pikiran. Kamu tidak sendiri. Hanya saja, waktu yang belum mengizinkan untuk bertemu dengan orang-orang baik yang paham akan maumu tanpa obrolan panjang tentang kisahmu.

-

Penulis Hold On and Stay Calm (Everything Will Be Fine) dapat kamu sapa melalui laman Instagram @henimiranti_.

Reviewer: Lupy Agustina

Artikel Selanjutnya Postingan Selanjutnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url